UNDANGAN RESMI MENIKAH



Mohon Doa, Bimbingan dan Nasehat untuk kedua mempelai
(h3ru dan N41L!)



Mohon Doa, Bimbingan dan Nasehat untuk kedua mempelai
(h3ru dan N41L!)

Read more

UNJUK RASA LAPINDO


Unjuk Rasa Para Buruh
Oleh Zul Akrial

Pernahkah anda membaca atau mendengar berita tentang terjadinya unjuk rasa pengusaha terhadap buruh, atau dalam kehidupan kenegaraan, penguasa (pemerintah) berunjuk rasa kepada rakyatnya ? Saya pribadi belum pernah mendengar berita tentang hal tersebut. Yang sering dan lazim terjadi adalah sebaliknya, para buruhlah yang justru melakukan unjuk rasa terhadap majikan atau pengusaha. Bolehkah pengusaha berunjuk rasa kepada buruhnya ? Atau dalam bahasa akademis, adakah hak pengusaha untuk berunjuk rasa terhadap buruhnya ? Kalau memang ada peraturan perundang-undangan yang memberikan hak kepada pengusaha untuk berunjuk rasa, mengapa hak ini tidak pernah digunakan ? Nah inilah persoalannya.
Jika dilihat dari praktek penyelenggaraan unjuk rasa yang terjadi dalam kehidupan keseharian, maka kita dapat menyimpulkan, bahwa hak untuk berunjuk rasa itu “seolah-olah” hanya monopoli buruh. Artinya, hanya buruhlah yang dibolehkan untuk melakukan aksi unjuk rasa. Hak monopoli ini, jika kita cermati secara faktual memang ada benarnya walaupun secara normatif belum tentu benar.
Kalau keberadaan unjuk rasa ini secara yuridis diposisikan sebagai suatu “hak”, tentu saja hukumnya adalah sunat. Artinya, boleh digunakan dan boleh pula tidak digunakan. Kalau dilihat dari sudut pandang ini, maka boleh jadi pengusaha tidak berkeinginan mempergunakan haknya untuk berunjuk rasa. Dan sikap tidak mempergunakan hak seperti ini memang tidak dilarang. Berlainan halnya jika unjuk rasa ini diposisikan sebagai suatu kewajiban, maka setiap buruh harus melaksanakannya, jika tidak akan dikenakan sanksi terhadapnya. Dalam tataran syariat Islam, bilamana suatu perbuatan diposisikan/ditetapkan sebagai suatu kewajiban, maka konsekuensinya adalah, jika perbuatan itu tidak dilaksanakan, maka orang tersebut akan berdosa, dan sebaliknya apabila dikerjakan akan memperoleh pahala.
Menurut hemat penulis, kedua belah pihak ¾baik pihak buruh maupun pihak pengusaha¾ sama-sama mempunyai hak untuk menggelar aksi unjuk rasa. Tapi mengapa pengusaha tidak pernah menggunakan haknya untuk berunjuk rasa, hal ini bukanlah merupakan persoalan yang perlu untuk diperdebatkan. Sebagai suatu hak, tidak ada larangan untuk menggunakan hak tersebut, demikian pula halnya juga tidak ada larangan untuk tidak menggunakannya. Inilah konsekuensi dari suatu hak, boleh digunakan, pun juga boleh untuk tidak digunakan.
Persoalan yang menarik untuk dikedepankan adalah, mengapa pihak buruh yang justru sering menggunakan haknya untuk berunjuk rasa ?
Sebelum pembahasan lebih lanjut terhadap persoalan di atas, dipandang perlu terlebih dahulu dipaparkan makna unjuk rasa dalam kehidupan kenegaraan. Secara teoretis, unjuk rasa ¾yakni petisi, protes, demonstrasi dan lain-lain¾ merupakan bentuk partisipasi politik non-konvensional di samping partisipasi konvensional seperti memilih wakil rakyat dalam suatu pemilihan umum, ataupun memilih Presiden secara langsung seperti di Amerika Serikat dan Indonesia.
Di dalam suatu sistem politik yang demokrtais, baik partisipasi politik konvensional maupun non-konvensional, dianggap absah dan mempunyai derajat keberlakuan yang sama. Karena itu, kalau rakyat diperbolehkan atau malah dianjurkan untuk berpartisipasi terhadap pemilihan umum, maka sebagai konsekuensinya adalah, mereka juga tidak boleh dilarang melakukan unjuk rasa.
Keterbukaan Manajemen Keuangan
Tuntutan buruh yang paling sering dikedepankan dalam aksi unjuk rasa adalah berkaitan dengan masalah kesejahteraan: gaji yang kecil yang tidak sesuai dengan UMR (Upah Minimum Regional), uang lembur yang tidak memadai, uang transportasi yang dipotong, uang makan yang terlalu minim, THR (Tunjangan Hari Raya) yang terlambat diberikan, pengurusan Askes yang terlalu birokratis, dan seabrek persoalan lain yang kesemuanya bernuansa pada aspek kesejahteraan.
Salahkah para buruh bilamana ia menuntut peningkatan kesejahteraan dengan cara berunjuk rasa itu ? Kalaulah perusahaan tempat si buruh itu bekerja menerapkan sistem open management, sehingga tercipta transparansi dalam masalah keuangan, penulis yakin bahwa aksi unjuk rasa dari para buruh untuk menuntut peningkatan kesejahteraan, tidak akan terjadi.
Menurut hemat penulis, para buruh mempunyai hak untuk mendapatkan infomasi tentang keadaan keuangan dari perusahaan tempat ia bekerja. Apabila para buruh diberikan data tentang keadaan keuangan ¾data yang dimaksud disini tentu saja data yang akurat bukan rekayasa yaitu berupa data dari hasil audit akuntan publik¾ maka tidak ada alasan bagi para buruh untuk menuntut kenaikan terhadap berbagai bentuk pos kesejahteraan. Dengan keterbukaan keuangan, maka pengusaha akan bisa berkata, “ini lho uang kita yang ada, anda boleh pilih, mau tetap bekerja atau mengundurkan diri. Sebagai manusia berakal, si buruh tentu akan tahu diri. Tidak mungkin para buruh akan mengajukan tuntutan di luar kemampuan keuangan perusahaan. Tapi ketidak-terbukaan soal keuangan inilah yang sering menimbulkan perasaan curiga dari para buruh.
Perlu diingat, bahwa setiap yang tertutup selalu akan mengundang rasa curiga dan rasa ingin tahu orang lain tentang apa yang ada atau yang terkandung dalam ketertutupan itu. Ada banyak cara yang dapat ditempuh untuk mengetahui isi dari sebuah ketertutupan itu, salah satunya adalah melalui aksi unjuk rasa dalam rangka mendobrak sistem ketertutupan, yang pada gilirannya nanti akan ketahuan kebohongan atau kejujuran dari suatu ketertutupan itu.
Realita menunjukan, bahwa pada banyak perusahaan, jika menyangkut masalah keuangan, maka yang diterapkan adalah sistem close management. Semakin tertutup informasi tentang keuangan suatu perusahaan, akan semakin memperbesar rasa curiga para buruh, dan akan semakin membuka peluang terjadinya aksi unjuk rasa.
Ada kecenderungan, bahwa bidang keuangan merupakan bidang yang tertutup dan merupakan rahasia perusahaan, sehingga para buruh dipandang tidak berhak untuk mendapatkan informasi tentang keadaan keuangan perusahaan tempat ia bekerja.
Ketidak-terbukaan soal keuangan dari pihak perusahaan inilah, menurut hemat penulis, yang sering menjadi pemicu terjadinya tindakan bisik-bisik di warung kopi yang dilakukan antar-sesama buruh, yang untuk selanjutnya berkembang dan mencapai klimaks pada satu perasaan senasib dan sepenanggungan diantara para buruh tersebut, lalu membuahkan aksi unjuk rasa.
Jika bertolak dari sudut pandang ketidak-terbukaan soal keuangan dari perusahaan ini, maka tindakan unjuk rasa yang digelar oleh buruh, sesungguhnya tidak dapat dan juga tidak boleh seratus persen kesalahan itu ditimpakan hanya kepada si buruh. Pihak perusahaan sebenarnya juga mempunyai andil sebagai pemicu terjadinya aksi unjuk rasa, karena pihak perusahaan sendiri juga tidak mau terbuka dalam masalah keuangan, dimana sebenarnya para buruh juga mempunyai hak atas informasi (data) tentang keuangan dari perusahaan tempat ia bekerja.
Latar belakang pemikiran bahwa para buruh sebenarnya juga mempunyai hak atas informasi tentang keadaan keuangan perusahaan tempat ia bekerja adalah, seperti diketahui, bahwa para buruh merupakan bagian dari komponen perusahaan yang terlibat langsung secara aktif ikut membesarkan dan memajukan perusahaan tempat ia bekerja, sehingga adalah wajar dan sangat beralasan kalau para buruh, tidak saja dilibatkan dalam hal pekerjaan an sich, tetapi juga mempunyai keterlibatan dalam masalah “hak” atas seluruh informasi dari perusahaan, termasuk di dalamnya hak atas informasi tentang keadaan keuangan perusahaan. Selamat berunjuk rasa semoga sukses.


Unjuk Rasa Para Buruh
Oleh Zul Akrial

Pernahkah anda membaca atau mendengar berita tentang terjadinya unjuk rasa pengusaha terhadap buruh, atau dalam kehidupan kenegaraan, penguasa (pemerintah) berunjuk rasa kepada rakyatnya ? Saya pribadi belum pernah mendengar berita tentang hal tersebut. Yang sering dan lazim terjadi adalah sebaliknya, para buruhlah yang justru melakukan unjuk rasa terhadap majikan atau pengusaha. Bolehkah pengusaha berunjuk rasa kepada buruhnya ? Atau dalam bahasa akademis, adakah hak pengusaha untuk berunjuk rasa terhadap buruhnya ? Kalau memang ada peraturan perundang-undangan yang memberikan hak kepada pengusaha untuk berunjuk rasa, mengapa hak ini tidak pernah digunakan ? Nah inilah persoalannya.
Jika dilihat dari praktek penyelenggaraan unjuk rasa yang terjadi dalam kehidupan keseharian, maka kita dapat menyimpulkan, bahwa hak untuk berunjuk rasa itu “seolah-olah” hanya monopoli buruh. Artinya, hanya buruhlah yang dibolehkan untuk melakukan aksi unjuk rasa. Hak monopoli ini, jika kita cermati secara faktual memang ada benarnya walaupun secara normatif belum tentu benar.
Kalau keberadaan unjuk rasa ini secara yuridis diposisikan sebagai suatu “hak”, tentu saja hukumnya adalah sunat. Artinya, boleh digunakan dan boleh pula tidak digunakan. Kalau dilihat dari sudut pandang ini, maka boleh jadi pengusaha tidak berkeinginan mempergunakan haknya untuk berunjuk rasa. Dan sikap tidak mempergunakan hak seperti ini memang tidak dilarang. Berlainan halnya jika unjuk rasa ini diposisikan sebagai suatu kewajiban, maka setiap buruh harus melaksanakannya, jika tidak akan dikenakan sanksi terhadapnya. Dalam tataran syariat Islam, bilamana suatu perbuatan diposisikan/ditetapkan sebagai suatu kewajiban, maka konsekuensinya adalah, jika perbuatan itu tidak dilaksanakan, maka orang tersebut akan berdosa, dan sebaliknya apabila dikerjakan akan memperoleh pahala.
Menurut hemat penulis, kedua belah pihak ¾baik pihak buruh maupun pihak pengusaha¾ sama-sama mempunyai hak untuk menggelar aksi unjuk rasa. Tapi mengapa pengusaha tidak pernah menggunakan haknya untuk berunjuk rasa, hal ini bukanlah merupakan persoalan yang perlu untuk diperdebatkan. Sebagai suatu hak, tidak ada larangan untuk menggunakan hak tersebut, demikian pula halnya juga tidak ada larangan untuk tidak menggunakannya. Inilah konsekuensi dari suatu hak, boleh digunakan, pun juga boleh untuk tidak digunakan.
Persoalan yang menarik untuk dikedepankan adalah, mengapa pihak buruh yang justru sering menggunakan haknya untuk berunjuk rasa ?
Sebelum pembahasan lebih lanjut terhadap persoalan di atas, dipandang perlu terlebih dahulu dipaparkan makna unjuk rasa dalam kehidupan kenegaraan. Secara teoretis, unjuk rasa ¾yakni petisi, protes, demonstrasi dan lain-lain¾ merupakan bentuk partisipasi politik non-konvensional di samping partisipasi konvensional seperti memilih wakil rakyat dalam suatu pemilihan umum, ataupun memilih Presiden secara langsung seperti di Amerika Serikat dan Indonesia.
Di dalam suatu sistem politik yang demokrtais, baik partisipasi politik konvensional maupun non-konvensional, dianggap absah dan mempunyai derajat keberlakuan yang sama. Karena itu, kalau rakyat diperbolehkan atau malah dianjurkan untuk berpartisipasi terhadap pemilihan umum, maka sebagai konsekuensinya adalah, mereka juga tidak boleh dilarang melakukan unjuk rasa.
Keterbukaan Manajemen Keuangan
Tuntutan buruh yang paling sering dikedepankan dalam aksi unjuk rasa adalah berkaitan dengan masalah kesejahteraan: gaji yang kecil yang tidak sesuai dengan UMR (Upah Minimum Regional), uang lembur yang tidak memadai, uang transportasi yang dipotong, uang makan yang terlalu minim, THR (Tunjangan Hari Raya) yang terlambat diberikan, pengurusan Askes yang terlalu birokratis, dan seabrek persoalan lain yang kesemuanya bernuansa pada aspek kesejahteraan.
Salahkah para buruh bilamana ia menuntut peningkatan kesejahteraan dengan cara berunjuk rasa itu ? Kalaulah perusahaan tempat si buruh itu bekerja menerapkan sistem open management, sehingga tercipta transparansi dalam masalah keuangan, penulis yakin bahwa aksi unjuk rasa dari para buruh untuk menuntut peningkatan kesejahteraan, tidak akan terjadi.
Menurut hemat penulis, para buruh mempunyai hak untuk mendapatkan infomasi tentang keadaan keuangan dari perusahaan tempat ia bekerja. Apabila para buruh diberikan data tentang keadaan keuangan ¾data yang dimaksud disini tentu saja data yang akurat bukan rekayasa yaitu berupa data dari hasil audit akuntan publik¾ maka tidak ada alasan bagi para buruh untuk menuntut kenaikan terhadap berbagai bentuk pos kesejahteraan. Dengan keterbukaan keuangan, maka pengusaha akan bisa berkata, “ini lho uang kita yang ada, anda boleh pilih, mau tetap bekerja atau mengundurkan diri. Sebagai manusia berakal, si buruh tentu akan tahu diri. Tidak mungkin para buruh akan mengajukan tuntutan di luar kemampuan keuangan perusahaan. Tapi ketidak-terbukaan soal keuangan inilah yang sering menimbulkan perasaan curiga dari para buruh.
Perlu diingat, bahwa setiap yang tertutup selalu akan mengundang rasa curiga dan rasa ingin tahu orang lain tentang apa yang ada atau yang terkandung dalam ketertutupan itu. Ada banyak cara yang dapat ditempuh untuk mengetahui isi dari sebuah ketertutupan itu, salah satunya adalah melalui aksi unjuk rasa dalam rangka mendobrak sistem ketertutupan, yang pada gilirannya nanti akan ketahuan kebohongan atau kejujuran dari suatu ketertutupan itu.
Realita menunjukan, bahwa pada banyak perusahaan, jika menyangkut masalah keuangan, maka yang diterapkan adalah sistem close management. Semakin tertutup informasi tentang keuangan suatu perusahaan, akan semakin memperbesar rasa curiga para buruh, dan akan semakin membuka peluang terjadinya aksi unjuk rasa.
Ada kecenderungan, bahwa bidang keuangan merupakan bidang yang tertutup dan merupakan rahasia perusahaan, sehingga para buruh dipandang tidak berhak untuk mendapatkan informasi tentang keadaan keuangan perusahaan tempat ia bekerja.
Ketidak-terbukaan soal keuangan dari pihak perusahaan inilah, menurut hemat penulis, yang sering menjadi pemicu terjadinya tindakan bisik-bisik di warung kopi yang dilakukan antar-sesama buruh, yang untuk selanjutnya berkembang dan mencapai klimaks pada satu perasaan senasib dan sepenanggungan diantara para buruh tersebut, lalu membuahkan aksi unjuk rasa.
Jika bertolak dari sudut pandang ketidak-terbukaan soal keuangan dari perusahaan ini, maka tindakan unjuk rasa yang digelar oleh buruh, sesungguhnya tidak dapat dan juga tidak boleh seratus persen kesalahan itu ditimpakan hanya kepada si buruh. Pihak perusahaan sebenarnya juga mempunyai andil sebagai pemicu terjadinya aksi unjuk rasa, karena pihak perusahaan sendiri juga tidak mau terbuka dalam masalah keuangan, dimana sebenarnya para buruh juga mempunyai hak atas informasi (data) tentang keuangan dari perusahaan tempat ia bekerja.
Latar belakang pemikiran bahwa para buruh sebenarnya juga mempunyai hak atas informasi tentang keadaan keuangan perusahaan tempat ia bekerja adalah, seperti diketahui, bahwa para buruh merupakan bagian dari komponen perusahaan yang terlibat langsung secara aktif ikut membesarkan dan memajukan perusahaan tempat ia bekerja, sehingga adalah wajar dan sangat beralasan kalau para buruh, tidak saja dilibatkan dalam hal pekerjaan an sich, tetapi juga mempunyai keterlibatan dalam masalah “hak” atas seluruh informasi dari perusahaan, termasuk di dalamnya hak atas informasi tentang keadaan keuangan perusahaan. Selamat berunjuk rasa semoga sukses.

Read more
PENEGAKAN HUKUM DAN SANKSI DALAM PERSEKONGKOLAN PENAWARAN TENDER Oleh: A. M. Tri Anggraini
ABSTRAK Persekongkolan tender merupakan kegiatan yang biasa dilakukan oleh para pelaku usaha, dengan cara melakukan kesepakatan-kesepakatan, guna memenangkan tender. Kegiatan tersebut tidak jarang mengakibatkan hambatan bagi pelaku usaha yang tidak terlibat dalam kesepakatan, dan dampak yang lebih jauh dapat mengakibatkan kerugian bagi pihak penyelenggara, karena terdapat ketidak-wajaran mengenai harga. Tulisan ini mengungkap tentang mekanisme bekerjanya persekongkolan tender, serta penegakan hukum dan sanksi dari aspek Hukum Persaingan Usaha. Proses penyelidikan dan pembuktian terhadap persekongkolan tender berdasarkan Undangundang Nomor 5 Tahun 1999 terlalu rumit, karena Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus menggunakan metode Rule of Reason. Penggunaan metode tersebut memaksa KPPU harus membuktikan adanya dampak atas persekongkolan tender, padahal setiap persekongkolan hampir selalu berdampak menghambat dan atau merugikan pelaku usaha yang tidak terlibat. Melalui penelitian normatif dan perbandingan hukum di beberapa negara di Asia, ditemukan suatu kesimpulan, bahwa seharusnya tidak diperlukan pembuktian terhadap dampak persekongkolan. KPPU cukup membuktikan adanya kesepakatan di kalangan pelaku usaha, yang biasanya dilakukan secara lisan. Agar KPPU memiliki legalitas dalam penyelidikan, perlu dilakukan amandemen terhadap ketentuan yang mengatur tentang persekongkolan tender. A. Pengantar Istilah persekongkolan di semua kegiatan masyarakat hampir selalu berkonotasi negatif. Pandangan ini disebabkan, bahwa pada hakekatnya persekongkolan atau konspirasi bertentangan dengan keadilan, karena tidak memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh penawar untuk mendapatkan obyek barang dan/atau jasa yang ditawarkan penyelenggara. Akibat adanya persekongkolan tender, penawar yang mempunyai iktikad baik menjadi terhambat untuk masuk pasar, dan akibat lebih jauh adalah terciptanya harga yang tidak kompetitif. www.legalitas.org www.legalitas.org 2 Persekongkolan penawaran tender (bid rigging) termasuk salah satu perbuatan yang dianggap merugikan negara, karena terdapat unsur manipulasi harga penawaran, dan cenderung menguntungkan pihak yang terlibat dalam persekongkolan. Bahkan di Jepang, persekongkolan penawaran tender dan kartel dianggap merupakan tindakan yang secara serius memberikan pengaruh negatif bagi ekonomi nasional.1 Bid rigging dalam industri konstruksi merupakan salah satu akar penyebab korupsi di kalangan kaum politikus dan pejabat negara. Hal ini akan mengakibatkan kerugian, karena masyarakat pembayar pajak harus membayar beban biaya konstruksi yang tinggi.2 Demikian pula di Indonesia, persekongkolan tender mengakibatkan kegiatan pembangunan yang berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dikeluarkan secara tidak bertanggung jawab, dan pemenang tender yang bersekongkol mendapatkan keuntungan jauh di atas harga normal, namun kerugian tersebut dibebankan kepada masyarakat luas.3 Sehubungan dengan hal itu, pemerintah Indonesia saat ini berusaha mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih, sebagai upaya mewujudkan sistem pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, sehingga menimbulkan kewibawaan di sektor lainnya terutama dalam hal penegakan hukum. Salah satu upaya mewujudkan keinginan tersebut, pemerintah menetapkan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pembentukan peraturan ini bertujuan agar pengadaan barang/jasa instansi Pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien, dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil dan layak bagi semua pihak terkait, sehingga hasilnya dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan 1 Kazuhiko Takeshima (Chairman Fair Trade Commission of Japan), The Lessons from Experience of Antimonopoly Act in Japan and the Future of Competition Laws and Policies in East Asia, disajikan dalam The 2nd East Asia Conference on Competition Law and Policie (Toward Effective Implementation of Competition Policies in East Asia), Bogor, 3-4 Mei 2005. 2 Naoki Okatani, “Regulations on Bid Rigging in Japan, The United States and Europe”, Pacific Rim Law & Policy Journal, March, 1995, h. 251. 3 ”Persekongkolan Tender Pemerintah Kian Parah”, Suara Karya, 17 Oktober 2001. www.legalitas.org www.legalitas.org 3 masyarakat.4 Pasal 10 Keputusan Presiden tersebut menyatakan, bahwa panitia pengadaan wajib dibentuk untuk semua pengadaan dengan nilai di atas Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), artinya bahwa semua pengadaan proyek di atas nilai tersebut harus dilakukan melalui penawaran umum. Ketentuan ini menyebabkan banyaknya proyek-proyek yang harus dilakukan dengan cara melakukan penawaran tender, sehingga makin besar pula kemungkinan terjadinya persekongkolan penawaran tender.5 Mengingat dampak yang ditimbulkan dari tindakan persekongkolan tender sangat signifikan bagi pembagunan ekonomi nasional dan iklim persaingan yang sehat, pengaturan masalah penawaran tender tidak hanya diatur dalam Undangundang tentang Pengadaan Barang dan/Jasa, tetapi juga diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Larangan persekongkolan tender diatur dalam Hukum Persaingan karena secara prinsipial terdapat empat (4) kategori kegiatan yang dilarang, yakni penetapan harga, pembatasan atas produksi atau pasokan (limitation of production or supply), pembagian wilayah pasar, dan persekongkolan tender (bid rigging).6 Pembahasan ini akan menitik-beratkan pada analisis yuridis persekongkolan penawaran tender berdasarkan Hukum Persaingan Usaha, karena berdasarkan laporan yang masuk ke KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), lebih dari separuh laporan tersebut berkaitan erat dengan persekongkolan penawaran tender. Bahkan tidak jarang perkara yang dihadapi oleh KPPU dapat dikategorikan sebagai kasus korupsi yang melibatkan lembaga maupun oknum pemerintah yang mengakibatkan kerugian negara triliunan rupiah. 4 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, bagian “Menimbang”. Lihat pula Pasal 3 tentang Prinsip Dasar Pengadaan Barang/Jasa. 5 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 telah mengalami empat kali perubahan melalui Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2004, kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005, dan kemudian dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005, serta perubahan terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006. 6 Julian Joshua, “Breaking Up the Hard Core: The Prospects for the Proposed Cartel Offence”, Criminal Law Review, 2002, p. 942. www.legalitas.org www.legalitas.org 4 B. Mekanisme Persekongkolan Penawaran Tender Pengertian tender atau lelang diartikan sebagai serangkaian kegiatan untuk menyediakan kebutuhan barang dan/atau jasa yang seimbang dan memenuhi syarat, berdasarkan peraturan tertentu yang ditetapkan oleh pihak terkait. Oleh karena itu, dalam hal ini dikatakan, bahwa tujuan utama pelaksanaan penawaran tender adalah memberikan kesempatan yang seimbang bagi semua penawar, sehingga menghasilkan harga yang paling murah dengan output yang maksimal. Meskipun secara umum diakui, bahwa harga murah bukanlah semata-mata ukuran untuk menentukan kemenangan dalam pengadaan barang dan/jasa, namun melalui mekanisme penawaran tender sedapat mungkin dihindarkan kesempatan untuk melakukan konspirasi di antara para pesaing, atau antara penawar dengan panitia penyelenggara lelang. Konspirasi atau persekongkolan dalam penawaran umum diartikan sebagai bentuk perjanjian kerjasama di antara para penawar yang seharusnya bersaing, dengan tujuan memenangkan peserta tender tertentu. Perjanjian ini dapat dilakukan oleh satu atau lebih peserta lelang yang setuju untuk tidak mengajukan penawaran, atau oleh para peserta lelang yang menyetujui satu peserta dengan harga yang lebih rendah, dan kemudian melakukan penawaran dengan harga di atas harga perusahaan yang direkayasa sebagai pemenang. Kesepakatan semacam ini bertentangan dengan proses pelelangan yang wajar, karena penawaran umum dirancang untuk menciptakan keadilan dan menjamin dihasilkannya harga yang murah dan paling efisien.7 Oleh karena itu, persekongkolan dalam penawaran tender dianggap menghalangi terciptanya persaingan yang sehat di kalangan para penawar yang beriktikad baik untuk melakukan usaha di bidang bersangkutan. Berkaitan dengan hal ini, UNCTAD menetapkan, bahwa “Tender kolusif pada dasarnya bersifat anti persaingan, karena dianggap melanggar tujuan penawaran tender yang sesungguhnya, yaitu mendapatkan 7 R. Shyam Khemani et.al., A Framewok for the Design and Implementation of Competition Law and Policy (Washington DC. And Paris: The World Bank and Organization for Economic Co-operation and Development=OECD, 1999), h. 23. www.legalitas.org www.legalitas.org 5 barang atau jasa dengan harga dan kondisi yang paling menguntungkan pihak penyelenggara.”8 Dalam prakteknya terdapat beberapa mekanisme (metode) beroperasinya persekongkolan penawaran tender, antara lain: 1. Tekanan terhadap penawaran (Bid Suppression), artinya bahwa satu atau lebih penawar setuju untuk menahan diri untuk tidak mengikuti pelelangan, atau menarik penawaran yang telah diajukan sebelumnya, agar penawar lain dapat memenangkan pelelangan itu.9 2. Penawaran yang Saling Melengkapi (Complementary Bidding), yaitu kesepakatan di antara para penawar di mana dua atau lebih penawar setuju terhadap siapa yang akan memenangkan penawaran. Pemenang yang dirancang kemudian mengatakan kepada penawar lain mengenai harga yang direncanakan, sehingga mereka akan melakukan penawaran dengan harga yang lebih tinggi. Sebaliknya, pemenang yang dirancang akan memerintahkan penawar lain untuk menawar di tingkat harga yang ditentukan, sehingga harga penawaran calon pemenang menjadi lebih rendah dari pada pesaing yang lain. Tindakan tersebut menciptakan kesan seolah-olah terdapat persaingan sesungguhnya di antara mereka, sehingga kontraktor yang dirancang berhasil memenangkan tender.10 3. Perputaran Penawaran atau Arisan Tender (Bid Rotation), adalah pola penawaran tender di mana satu dari penawar setuju untuk kembali sebagai penawar yang paling rendah. Dalam hal ini, penawar tender lain (selain pemenang yang sudah ditentukan sebelumnya), secara bersama-sama akan menawar setinggi-tingginya, sebelum sampai pada gilirannya untuk 8 Sacker dan Lohse, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition (GTZ-Katalis Publishing, 2000), h. 313. 9 R. Shyam Khemani et.al., Loc. Cit. 10 Kara L. Haberbush, “Limiting the Government’s Exposure to Bid Rigging Schemes, a Critical Look at the Sealed Bidding Regime”, Public Contract Law Journal, 2000, h. 99. www.legalitas.org www.legalitas.org 6 memenangkan tender. Seringkali perputaran (arisan) ini menetapkan adanya jaminan, bahwa mereka akan mendapat giliran untuk memenangkan tender. Kadangkala dalam beberapa pola semacam ini, terdapat perjanjian untuk mengantisipasi, bahwa penawar yang “kalah” dalam tender akan menjadi subkontraktor bagi pihak yang dimenangkan.11 4. Pembagian Pasar (Market Division), adalah pola penawaran tender yang terdiri dari beberapa cara untuk memenangkan tender melalui pembagian pasar. Melalui metode ini, para penawar dapat merancang wilayah geografis maupun pelanggan tertentu, sehingga jika terdapat kontrak di wilayah tertentu, seluruh penawar sudah mengetahui penawar mana yang akan memenangkan tender.12 Dalam semua pola penawaran tersebut di atas, pemenang tender, atau penawar yang lebih murah, dapat mengamankan kesepakatannya melalui pembayaran langsung terhadap para penawar lainnya. Pembayaran tersebut dapat berujud pembayaran sejumlah uang atau melakukan perjanjian sub-kontraktor dengan penawar yang kalah. Namun demikian, tindakan ini sangat beresiko, karena bagaimanapun juga perjanjian tersebut adalah ilegal. Melalui aktivitas tersebut, kontraktor dapat dianggap menghambat atau melarang sub-kontraktor menjual jasanya secara langsung kepada pemerintah, di mana hal ini bertentangan dengan hukum. Segala macam komisi yang terkandung di dalam transaksi antara kontraktor dan sub-kontraktor dianggap sebagai pelanggaran hukum. Berbagai pola persekongkolan penawaran tender tersebut di atas akan lebih mudah dilakukan dalam kegiatan usaha tertentu yang memiliki fasilitas kartel. Pendapat ini didasarkan pada beberapa alasan, antara lain, pertama, struktur pasar 11 Ibid., h.100. Bandingkan dengan pandangan lain yang membagi pola bid rigging ke dalam jenisjenis berikut: Bid Suppression, Complimentary Bidding, Bid Rotation, dan Subcontracting. Lihat Daniel R. Karon, “Price Fixing, Market Allocation and Bid Rigging Conspiracies: How Counsel Your Clients to Detect Violations and Inform You of Potential Claims”, American Journal of Trial Advocacy, 2001, p. 249. 12 Ibid., h. 100. www.legalitas.org www.legalitas.org 7 kartel menyediakan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan untuk berkomunikasi satu sama lain. Dalam hal ini, terdapat pula kemudahan bagi perusahaan-perusahaan untuk membuat perjanjian, misalnya di mana industri-industri memiliki fasilitas melakukan pertemuan melalui asosiasi, dan memiliki sebuah forum yang dapat dipakai untuk menutupi kegiatan pertemuan mereka. Pemerintah kadangkala memberikan fasilitas tersebut melalui pertemuan pra lelang (prebid meetings). Kedua, pasar bersifat sedemikian rupa sehingga perusahaan-perusahaan dapat mendeteksi kegagalan dalam mematuhi suatu kesepakatan, karena ketidak-patuhan dianggap sebagai penipuan. Cara yang paling sederhana bagi perusahaan untuk mendeteksi adanya penipuan adalah dengan menghadiri pembukaan lelang. Sebagian besar lelang umumnya bersifat terbuka bagi publik, sehingga para pihak yang bersaing dapat mengetahui jika terdapat anggota konspirasi yang ternyata memberikan penawaran harga lebih rendah dari pada harga yang telah disepakati sebelumnya. Kemampuan untuk mendeteksi adanya penipuan itu cukup penting guna mendeteksi keberhasilan suatu kartel. Segala hal yang memudahkan untuk mendeteksi secara cepat adanya perusahaan yang menipu akan dapat meningkatkan wibawa kartel. Ketiga, kartel harus dapat menghukum perusahaan yang melakukan penipuan. Sebagai contoh misalnya, sebuah perusahaan yang melakukan penipuan akan dipecat keanggotaannya dalam kartel, sehingga para anggota kartel dapat melakukan penawaran yang lebih rendah dari anggota yang dikeluarkan guna menghukum atau membangkrutkan perusahaan yang melakukan penipuan tersebut. Cara lainnya adalah, para anggota kartel dapat mempengaruhi para sub-kontraktor dan para pemasok agar menolak untuk bertransaksi dengan perusahaan penipu, agar perusahaan tersebut tidak mampu memenuhi kewajiban dalam perjanjian. Keempat, perjanjian lebih mudah untuk dilanggar jika kesepakatan tersebut hanya menyangkut satu masalah tertentu, misalnya mengenai harga. Jika undangan lelang mengandung berbagai macam faktor selain harga, maka kartel harus dapat meyakinkan para anggotanya untuk menyepakati keseragaman faktor-faktor tersebut. www.legalitas.org www.legalitas.org 8 Jika tidak, maka pemenang yang dirancang, yang menawar dengan harga terendah, dapat dikalahkan penawar lain didasarkan atas faktor-faktor lain selain harga, misalnya mutu atau kualitas barang dan/atau jasa yang ditawarkan. Dari uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan peraturan yang menjamin keterbukaan dan keadilan, artinya bahwa tender harus dilakukan secara umum, persyaratan yang jelas dan tidak bersifat diskriminatif terhadap para penawar. Berkaitan dengan hal ini, diperlukan juga kejujuran pihak penyelenggara dalam melakukan pelelangan, sehingga tidak terjadi konspirasi antara panitia dan penawar. Demikian pula perlu pencegahan ikut sertanya kartel dalam suatu penawaran, karena hal ini berakibat pelelangan tidak akan berjalan secara wajar dan adil. C. Pengaturan Persekongkolan Penawaran Tender di Beberapa Negara Asia Uraian di atas menunjukkan, bahwa dampak persekongkolan tender mengakibatkan kerugian yang signifikan, baik terhadap pelaku usaha pesaing maupun kepada masyarakat secara luas. Oleh karena itu, hampir semua negara menganggap perlu melarang tegas aktivitas tersebut. Bahkan, sudah sejak lama menganggap perjanjian di antara para penawar untuk tidak bersaing sebagai tindakan curang (fraudulent).13 Namun demikian, dalam perkembangannya tidak mudah bagi lembaga pengawas persaingan maupun pengadilan untuk menetapkan aktivitas tertentu sebagai persekongkolan tender (bid rigging). Larangan persekongkolan tender diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1999. Istilah persekongkolan atau konspirasi usaha diartikan sebagai “bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.”14 Pemahaman ini agak berbeda dengan pengertian persekongkolan tender dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 22 yang menyatakan, bahwa “pelaku usaha dilarang 13 Robert E. Connolly, “Do Schemes to Rig Bids and/or Fix Prices Constitute Fraud?”, Practising Law Institute, 1992, p. 499. 14 Lihat Pasal 1 angka 8 UU Nomor 5 Tahun 1999. www.legalitas.org www.legalitas.org 9 bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” Perbedaan tersebut adalah, bahwa Pasal 22 mencantumkan adanya pihak lain selain pelaku usaha dalam persekongkolan. Berdasarkan ketentuan Pasal 22 tersebut, dapat dikatakan bahwa ketentuan tentang persekongkolan tender terdiri atas beberapa unsur, yakni unsur pelaku usaha15, bersekongkol, adanya pihak lain, mengatur dan menentukan pemenang tender, serta persaingan usaha tidak sehat. Istilah “pelaku usaha” diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999.16 Adapun istilah “bersekongkol” diartikan sebagai kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan peserta tender tertentu.17 Di samping itu, unsur “bersekongkol” dapat pula berupa: 1. kerjasama antara dua pihak atau lebih; 2. secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian dokumen dengan peserta lainnya; 3. membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan; 4. menciptakan persaingan semu; 5. menyetujui dan atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan; 6. tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu; 15 Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. 16 Pasal 1 angka 4 UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. 17 Pedoman KPPU tehadap Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender, h. 8. www.legalitas.org www.legalitas.org 10 7. pemberian kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender atau pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti tender, dengan cara melawan hukum.18 Kerjasama antara dua pihak atau lebih dengan diam-diam biasanya dilakukan secara lisan, sehingga membutuhkan pengalaman dari lembaga pengawas persaingan guna membuktikan adanya kesepakatan yang dilakukan secara diam-diam. Dalam penawaran tender yang dikuasai oleh kartel akan semakin mempersulit upaya penyelidikan ini, kecuali terdapat anggota yang “berkhianat” membongkar adanya persekongkolan tersebut. Adanya unsur “pihak lain” menunjukkan bahwa persekongkolan selalu melibatkan lebih dari satu pelaku usaha. Pengertian pihak lain dalam hal ini meliputi para pihak yang terlibat, baik secara horisontal maupun vertikal dalam proses penawaran tender. Pola pertama adalah persekongkolan horisontal, yakni tindakan kerjasama yang dilakukan oleh para penawar tender, misalnya mengupayakan agar salah satu pihak ditentukan sebagai pemenang dengan cara bertukar informasi harga serta menaikkan atau menurunkan harga penawaran. Dalam kerjasama semacam ini, pihak yang kalah diperjanjikan akan mendapatkan sub kontraktor dari pihak yang menang. Sebagai contoh persekongkolan horisontal adalah kasus yang melibatkan beberapa perusahaan yang beroperasi di bidang pengadaan jasa konstruksi minyak bumi. Perkara ini berawal dari penawaran tender pengadaan pipa casing dan tubing yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dengan menetapkan persyaratan baru, sehingga tidak semua peserta tender yang biasanya dapat ikut serta dalam penawaran memenuhi persyaratan.19 Persyaratan tersebut antara lain mengharuskan para penawar (bidders) memiliki semua items, yang terdiri dari high grade dan low grade, padahal tidak semua penawar memiliki kedua fasilitas tersebut, sehingga penawar yang 18 Lihat Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender oleh KPPU, 2005, hal. 8. 19 Putusan Nomor 01/KPPU-L/2000 tentang Persekongkolan Penawaran Tender Pengadaan Pipa Casing dan Tubing. www.legalitas.org www.legalitas.org 11 memenuhi persyaratan hanya mengarah pada dua perusahaan besar, meskipun pada akhirnya salah satu dari kedua perusahaan mengundurkan diri sebagai penawar. Berkaitan dengan hal ini, perusahaan minyak bumi sebagai pelaksana tender (PTCPI) mengemukakan alasan, bahwa persyaratan itu merupakan kebijakan untuk melakukan efisiensi secara menyeluruh, guna menekan tingkat persediaan (inventory level), biaya pengadaan (procurement cost), dan lamanya pengadaan (cycle time) barang. Proses penawaran tersebut tetap dilaksanakan, karena pihak yang tidak memiliki fasilitas lengkap tetap dapat melakukan penawaran dengan persyaratan, bahwa mereka harus mendapatkan supporting letter dari perusahaan yang memenuhi persyaratan lengkap. Namun adanya persyaratan ini dimanfaatkan oleh mereka untuk melakukan kerjasama, dengan cara melakukan pertemuan rahasia dengan agenda saling bertukar informasi, yakni di satu sisi penawar harus menunjukkan harga penawaran agar mendapatkan supporting letter dari penawar yang memiliki fasilitas lengkap. Tindakan ini bertentangan dengan Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, yakni ketentuan tentang persekongkolan, sehingga KPPU memerintahkan PTCPI untuk menghentikan kegiatan tersebut. Pola yang kedua adalah persekongkolan tender secara vertikal, artinya bahwa kerjasama tersebut dilakukan antara penawar dengan panitia pelaksana tender. Dalam hal ini, biasanya panitia memberikan berbagai kemudahan atas persyaratanpersyaratan bagi seorang penawar, sehingga dia dapat memenangkan penawaran tersebut. Kasus seperti ini pernah terjadi dalam perkara penawaran tender pengadaan sapi bakalan kereman yang dilaksanakan Dinas Peternakan Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Perkara mengenai pengadaan sapi bakalan kereman impor yang melibatkan Koperasi Pribumi Indonesia (KOPI), didasarkan pada Putusan Nomor 7/KPPULI/ 2001 adalah bermula dari pengumuman tender secara terbuka di berbagai media massa oleh panitia penyelenggara. Sejak awal pendaftaran sampai diputuskannya pemenang tender, panitia telah mengisyaratkan bahwa proyek tersebut dimenangkan oleh KOPI. Rekayasa tersebut terlihat dari beberapa cara, antara lain membolehkan www.legalitas.org www.legalitas.org 12 KOPI mengikuti pelelangan meskipun tidak memiliki Tanda Daftar Rekanan (TDR), tidak memenuhi persyaratan administratif maupun syarat lainnya, seperti pengalaman impor sapi dari Australia, dan keterlambatan kehadiran KOPI pada saat berlangsungnya penawaran. Meskipun tidak memenuhi persyaratan tersebut, KOPI bersama-sama dengan Pejabat Dinas Peternakan dan beberapa anggota DPRD melakukan perjalanan ke Australia, untuk melakukan survey atas kondisi sapi yang akan diimpor ke Indonesia. Pada akhirnya, panitia menunjuk KOPI sebagai pelaksana dari proyek pengadaan sapi impor tersebut, meskipun koperasi tersebut tidak memenuhi persyaratan RKS (Rencana Kerja dan Syarat-syarat) pada penawaran lelang terdahulu, seperti pemilikan kandang berkapasitas 5000 ekor sapi, pengalaman impor sapi dan sebagainya. Penunjukan ini dilakukan hanya berdasarkan rapat di antara panitia lelang, Satuan Petugas (Satgas), dan Kepala Dinas Peternakan. Mereka melakukan penunjukan langsung melalui Negosiasi Harga dan Teknis, yang isinya antara lain mengesampingkan persyaratan administrasi maupun teknis. Semua fakta yang disertai dengan bukti-bukti yang mendukung di atas mengarah pada terjadinya persekongkolan yang didasarkan Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pola ketiga adalah persekongkolan horisontal dan vertikal, yakni persekongkolan antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam proses tender, misalnya tender fiktif yang melibatkan panitia, pemberi pekerjaan, dan pelaku usaha yang melakukan penawaran secara tertutup. Sebagai contoh jenis tender ini adalah Tender Proyek Multi Years di Riau.20 Dugaan bermula dari adanya penawaran tender proyek multi years yang terdiri dari 9 paket pekerjaan, oleh Pemerintah di Bidang Prasarana Jalan Propinsi Riau dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2004. Panitia memfasilitasi bidder tertentu 20 Putusan Perkara Nomor 06/KPPU-I/2005 tentang Persekongkolan Tender Proyek Multi Years di Riau. www.legalitas.org www.legalitas.org 13 dengan cara mengundurkan waktu pengembalian dokumen penawaran, serta memfasilitasi para bidder lainnya untuk melakukan kerja sama semu dengan cara mengundurkan waktu pengembalian dokumen prakualifikasi. Atas beberapa kegiatan yang dilakukan panitia tender, pejabat yang bersangkutan dengan beberapa bidder dikenakan Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999. Mengingat dampak yang ditimbulkan atas adanya persekongkolan tender sangat signifikan, beberapa negara menganggap perlu mengatur tindakan tersebut dalam undang-undang. Sebagai contoh adalah Vietnam, yang mengatur tindakan terlarang dalam The Competition Law No. 27 Tahun 2004. Larangan mengenai persekongkolan tender diatur dalam Chapter II, Section 1, Article 8 (8) tentang “Competition Restriction Agreement” yang menyatakan, “convining to enable one or all of the parties of the agreement to win bids for supply of goods or provision of services”. Demikian juga Thailand, mengatur larangan persekongkolan tender dalam Thailand Competition Act, B. E. 2542 (1999), Chapter III tentang Anti Monopoly, Section 27 (4) yang menyatakan: “Any business operator shall not enter into an agreement with another business operator to do any act amounting to monopoly, reduction of competition or restriction of competition in the market of any particular goods or any particular service in any of the following manners: fixing an agreement or condition in a collusive manner in order to enable one party to win bid or a tender for the sale of goods or services or to prevent the other party from competing in a bid or tender for the sale of goods or services.”21 Adapun pengaturan bid rigging di Jepang terdapat dalam the Japanese Antimonopoly Act (the AMA) Article 2 (6), yang mendefinisikan: “unreasonable restraint of trade as used in this Act shall mean such business activities, by which any enterpreuneur, by contract, agreement or any other 21 Sakda Thanicul, “Competition Law in Thailand: a Preliminary Analysis”, Washington University Global Studies Law Review, 2002, p. 178. www.legalitas.org www.legalitas.org 14 concerted actions, irrespective of its names, with other entrepreneurs, mutually restrict or conduct their business activities in such a manner as to fix, maintain, or increase prices, or to limit production, technology, products, facilities, or customers or suppliers, thereby causing, contrary to the public interest, a substantial restraint of competition in any particular field of trade”. Istilah concerted action diartikan sebagai implied agreements (perjanjian terselubung) atau komunikasi yang saling menguntungkan di antara para pihak. Maksud dari perjanjian terselubung (diam-diam) tersebut dapat dibuktikan dengan bukti-bukti yang secara tidak langsung menunjukkan adanya perjanjian. Berkaitan dengan hal ini, JFTC menemukan concerted action sebagai perjanjian penetapan harga dalam tender minyak. Pengadilan Tinggi Tokyo menguatkan putusan JFTC, yang menyatakan bahwa “it is obvious that we can reasonably find the same facts regarding price fixing agreement as the FTC’s decision if we examine the evidence listed in the FTC’s decision as a whole. Therefore, the fact finding of the defendant does not conflict with reasonable inference.”22 Sebagai pelaksanaan Article 2.6 the AMA tersebut di atas, pada tahun 1984 Japanese Fair Trade Commission (JFTC) membentuk “Guidelines under Antimonopoly Law for Activities of Trade Associations” (Construction Industry Guidelines).23 Di samping itu, mengingat banyak kasus bid rigging yang melibatkan asosiasi dagang, maka pada tanggal 5 Juli 1994 JFTC juga membentuk “Guidelines concerning the Activities of Firms and Trade Associations with Regard to Public Bids”. Pada tahun 1997 juga menerbitkan “Guidelines under the Antimonoply Law 22 Hiroshi Iyori, “A Comparison of U.S.- Japan Antitrust Law: Looking at The International Harmonization of Competition Law”, Pacific Rim Law & Policy Journal, 1995, p.74. Lihat Judgment of Feb. 9, 1956 (Nihon Sekiyu K.K. v. K-osei Torihiki I’inkai), Tokyo K-osai (High Court) 7 Gy-osh-u 2949. 23 Jon R. Gray, “Open-Competitive Bidding in Japan’s Public Works Sector and Foreign Contractor Access: Recent Reforms are Unlikely to Meet Expectation”, Columbia Journal of Asian Law, 1996, p. 453. www.legalitas.org www.legalitas.org 15 for Activities of Trade Associations”. Maksud pengaturan ini adalah untuk mencegah asosiasi-asosiasi dagang yang bertindak sebagai koordinator dalam persekongkolan tender dan perilaku lain yang menghambat persaingan. Didasarkan pada peraturan-peraturan pelaksanaan tersebut, maka JFTC menempuh beberapa tindakan yang bertujuan mencegah berkembangnya persekongkolan tender. Tindakan-tindakan tersebut antara lain, pertama, mengeliminasi ukuran-ukuran pelanggaran hukum. Khususnya, mewajibkan para pelanggar untuk membatalkan perjanjian penawaran yang dibuat oleh perusahaan dan mengumumkannya di koran dan media lainnya. Sebagai tambahan, JFTC juga memerintahkan untuk menghentikan kegiatan dan mewajibkan pihak pelanggar untuk melaporkannya ke JFTC. Kedua, menetapkan denda administratif, dengan cara mengenakan pajak tambahan atas produk dari penawar yang dimenangkan. Besarnya biaya ini adalah 6% dari harga penawaran yang dimenangkan untuk perusahaan besar, dan 3% untuk perusahaan menengah dan kecil. Ketiga, JFTC dapat menetapkan denda pidana terhadap kegiatan yang melanggar Hukum Antimonopoli. Guna merealisir hal ini, pada tanggal 20 Juni 1990 JFTC membentuk standart penuntutan dalam “Guidelines of the Fair Trade Commission Concerning Accusations of Violations of the Antimonoply Law”. Sebagai hukuman pidana, tersangka dapat dikenakan denda maksimal sebesar YEN 5 juta atau hukuman penjara maksimal tiga tahun. Di lain pihak, perusahaan yang terlibat bid rigging dapat dikenakan hukuman sebesar dua kali lipat atau denda maksimal YEN 100 juta.24 Kondisi tersebut menunjukkan, bahwa pelanggaran terhadap persekongkolan tender dapat dikenakan baik denda administrative maupun pidana. Unsur bid rigging yang lain adalah “mengatur dan atau menentukan pemenang tender”. Unsur ini diartikan sebagai suatu perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses tender secara bersekongkol, yang bertujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya dan/atau untuk memenangkan 24 Naoki Okatani, Op. Cit., h. 254-255. www.legalitas.org www.legalitas.org 16 peserta tender tertentu dengan berbagai cara. Pengaturan dan/atau penentuan pemenang tender tersebut meliputi, antara lain menetapkan kriteria pemenang, persyaratan teknik, keuangan, spesifikasi, proses tender, dan sebagainya. Pengaturan dan penentuan pemenang tender dapat dilakukan secara horisontal maupun vertikal, artinya baik dilakukan oleh para pelaku usaha atau panitia pelaksana. Unsur yang terakhir dari ketentuan tentang persekongkolan adalah terjadinya “persaingan usaha tidak sehat”.25 Unsur ini menunjukkan, bahwa persekongkolan menggunakan pendekatan rule of reason, karena dapat dilihat dari kalimat “…sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pendekatan rule of reason merupakan suatu pendekatan hukum yang digunakan lembaga pengawas persaingan untuk mempertimbangkan faktor-faktor kompetitif dan menetapkan layak atau tidaknya suatu hambatan perdagangan. Artinya untuk mengetahui apakah hambatan tersebut bersifat mencampuri, mempengaruhi, atau bahkan mengganggu proses persaingan.26 Pendekatan rule of reason dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang harus diterapkan terhadap persekongkolan tender ini akan lebih menyulitkan pihak KPPU dalam proses penyelikannya. Hal ini mengingat persekongkolan tender di banyak negara umumnya adalah menggunakan pendekatan per se illegal, yakni dengan cara membuktikan adanya kesepakatan kolusif maka pihak pengawas dapat menjatuhkan denda atau sanksi administratif terhadap para pelaku usaha yang melakukannya. Sebagai contoh, hukum antitrust Amerika Serikat menetapkan bahwa kolaborasi di antara pesaing yang merupakan kesepakatan horisontal harus ditetapkan sebagai per se illegal.27 Demikian pula ketika JFTC menetapkan “The Guidelines Concerning Distribution Systems and Business Practices” di tahun 1991, menyatakan 25 Lihat Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. 26 E. Thomas Sullivan dan Jeffrey L. Harrison, Understanding Antitrust and Its Economic Implications (New York: Matthew Bender & Co., 1994), p. 85. 27 Toshiaki Tokigawa, “The Prospect of Antitrust Law and Policy in the Twenty-First Century: in Reference to the Japanese Antimonopoly Law and Japan Fair Trade Commission”, Washington University Global Studies Law Review, 2002, p. 279. www.legalitas.org www.legalitas.org 17 bahwa jenis kolaborasi seperti kesepakatan kartel dan bid rigging adalah illegal.28 Bahkan, di negara-negara yang tidak memiliki undang-undang persaingan seringkali mengatur tentang penawaran tender secara khusus. Kebanyakan negara memperlakukan tender kolusif lebih ketat daripada perjanjian horisontal lainnya, karena mengandung unsur kecurangan dan berakibat merugikan terhadap pembelanjaan pemerintah dan anggaran negara.29 D. Prosedur Penegakan Hukum dalam Persekongkolan Tender Pemeriksaan perkara persekongkolan tender oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diawali dari adanya laporan (dari masyarakat maupun pelaku usaha lain)30 atau inisiatif31 lembaga ini. Laporan ini didasarkan adanya indikasi terjadinya persekongkolan tender. Adanya indikasi tersebut merupakan dasar dilakukannya pemeriksaan pendahuluan.32 Dalam tahap ini, Majelis Komisi dapat memanggil pelapor dan/atau terlapor untuk dimintai keterangannya. Jika Majelis memiliki dugaan kuat terjadinya persekongkolan tender, pemeriksaan dilanjutkan pada pemeriksaan lanjutan.33 Sepanjang masa pemeriksaan lanjutan, Majelis Komisi dapat memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi persekongkolan tender.34 Putusan dibacakan dalam sidang terbuka yang terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha.35 Apabila tidak terdapat keberatan, putusan Komisi telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan dapat dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.36 28 Ibid., h. 281. 29 Sacker and Lohse, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition, GTZ-Katalis Publishing, 2002, h. 313. 30 Pasal 38 UU Nomor 5 Tahun 1999. 31 Pasal 40 UU Nomor 5 Tahun 1999. 32 Pasal 39 UU Nomor 5 Tahun 1999. 33 Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU Nomor 5 Tahun 1999. 34 Pasal 43 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1999. 35 Pasal 43 ayat (4) UU Nomor 5 Tahun 1999. 36 Pasal 46 UU Nomor 5 Tahun 1999. www.legalitas.org www.legalitas.org 18 Demikian halnya dengan lembaga pengawas persaingan usaha di Jepang yang dipegang oleh JFTC, yakni suatu lembaga administratif independen dan bersifat quasi yudisial. Meskipun tidak memiliki kekuasaan setingkat Menteri, namun JFTC memiliki otoritas paling kuat dalam penegakan hukum anti monopoly di Jepang (the AMA). Tugas lembaga tersebut meliputi penyelidikan terhadap adanya pelanggaran yang dilaporkan masyarakat, menetapkan hukuman denda, sampai dengan penghentian kegiatan yang dianggap melanggar the AMA.37 Putusan KPPU dapat dimintakan keberatan di Pengadilan Negeri. Prosedur pengajuan keberatan ke Pengadilan Negeri dilakukan pelaku usaha selambatlambatnya 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.38 Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri tersebut, pihak yang keberatan dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.39 Demikian pula dengan penegakan hukum antimonopoly di Jepang, putusan JFTC dapat dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi. Jika putusan JFTC dianggap tidak konstitusional atau kurang bukti-bukti, maka pengadilan dapat membatalkan putusan JFTC. Sampai saat ini, dari 34 putusan JFTC yang dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi, 29 putusan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi, 4 putusan dibatalkan dan dikembalikan ke JFTC, satu di antaranya sampai ke Mahkamah Agung Jepang.40 Sampai saat ini di Indonesia terdapat tiga perkara persekongkolan tender ke tingkat pengadilan, bahkan dua di antaranya telah diputuskan oleh Mahkamah Agung, yakni penjualan saham PT Indomobil dan penjualan kapal VLCC milik PT Pertamina (Persero). Perkara pertama, adalah berkaitan dengan penjualan saham PT Indomobil Sukses Indonesia (PT IMSI). Perkara ini berawal dari inisiatif KPPU yang menilai adanya kejanggalan dalam proses tender penjualan saham PT IMSI, antara lain, harga yang dianggap terlalu rendah, jangka waktu pelaksanaan tender yang singkat, jumlah 37 James D. Fry, “Struggling to Teethe: Japan’s Antitrust Enforcement Regime”, Law and Policy in International Business, 2001, p. 835. 38 Pasal 44 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1999. 39 Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1999. 40 James D. Fry, Op. Cit., h. 838. www.legalitas.org www.legalitas.org 19 peserta tender amat terbatas, dan adanya pelanggaran prosedur pelelangan. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 36 (b) dan Pasal 40 UU Nomor 5 Tahun 1999, KPPU berwenang melakukan penelitian dan pemeriksaan tentang dugaan adanya kegiatan usaha atau pelaku usaha, yang dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran Undangundang, tanpa adanya laporan dari masyarakat. Perkara ini melibatkan sepuluh pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999. Tindakan yang dilakukan adalah bahwa mereka melakukan persekongkolan baik secara terang-terangan atau diam-diam. Persekongkolan tersebut terlihat dengan cara menerima keikut-sertaan tiga peserta tender yang merupakan anggota dalam konspirasi, meskipun mengetahui bahwa ketiga peserta tersebut tidak memenuhi persyaratan prosedur penawaran tender (Procedures for the Submission of Bid). Para pelaku usaha yang terlibat dalam konspirasi juga dianggap secara bersama-sama melakukan pelanggaran, berupa tindakan saling menyesuaikan dan atau membandingkan dokumen tender, menciptakan persaingan semu, serta memfasilitasi tindakan untuk memenangkan salah satu peserta sebagai pemenang tender. Dalam perkara ini, KPPU memutuskan adanya pelanggaran atas Pasal 22 UU Anti monopoli dengan menjatuhkan sanksi antara lain melarang beberapa pelaku usaha untuk mengikuti transaksi baru dalam bentuk apapun dengan penyelenggara tender. Selain itu juga menghukum masingmasing pelaku usaha untuk membayar denda dan atau sesuai tingkat pelanggarannya.41 Di tingkat banding, Pengadilan Negeri Jakarta Barat membatalkan Putusan KPPU melalui Putusan Nomor 001/KPPU/PDT.P/2002/ PN.Jkt.Bar. Adapun alasan pengadilan adalah bahwa cakupan undang-undang anti monopoli hanya terbatas pada tender untuk memborong pekerjaan, pengadaan barang atau penyediaan jasa. Oleh karena itu, lazimnya dalam pengertian tender di sini adalah siapa yang dapat 41 Putusan Nomor 03/KPPU-I/2002 tentang Tender Penjualan Saham PT Indomobil Sukses Indonesia, Tbk. (PT IMSI) www.legalitas.org www.legalitas.org 20 mengajukan harga penawaran terendah, maka akan ditunjuk sebagai pemenang. Sedangkan perkara tersebut merupakan penjualan saham dan konversi obligasi Indomobil, dan yang mengajukan penawaran tertinggi adalah salah satu peserta tender, sehingga sudah selayaknya jika perusahaan tersebut ditunjuk sebagai pemenang. Di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung menguatkan Putusan Pengadilan Negeri dengan alasan, bahwa Pengadilan Negeri tidak mempertimbangkan segi formal Putusan KPPU Nomor 03/KPPU-I/2002.42 Adapun segi formal Putusan KPPU adalah penggunaan irah-irah (kepala putusan) “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini mengingat, bahwa berdasarkan Pasal 30 UU Nomor 5 Tahun 1999, KPPU bukan badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970, dan KPPU juga tidak memiliki kewenangan secara khusus dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 serta peraturan lainnya untuk memuat irah-irah tersebut. Oleh karena itu, KPPU dianggap melampaui kewenangannya, sehingga Putusan tersebut mengandung cacat hukum, dan karenanya harus dinyatakan batal demi hukum. Perkara kedua, adalah perkara Thames Jaya, adalah persekongkolan antara panitia tender jasa pengamanan dengan salah satu penawar. Adanya konspirasi di antara panitia dan peserta terlihat dengan tidak dipenuhinya asas keterbukaan, antara lain tidak ada pengumunan tentang pemenang tender, dan tidak terdapat bukti pendaftaran mengikuti pra-kualifikasi oleh penawar tertentu, namun penawar tersebut dinyatakan sebagai pemenang. Atas tindakan tersebut, KPPU Putusan Perkara Nomor 05/KKPU-I/2004, menyatakan bahwa mereka melakukan pelanggaran terhadap Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999, menghukum yang bersangkutan untuk menghentikan kegiatan penyediaan jasa pengamanan, serta membayar denda kepada panitia sebesar satu milyar rupiah. Di tingkat banding, Pengadilan Negeri dalam putusannya Nomor 03/Pdt.KPPU/2004/PN Jak.Sel. menguatkan kembali Putusan KPPU dengan menolak 42 Putusan Perkara Nomor 04/KPPU/2002, JO. NO. 001/KPPU/ PDT.P/2002/PN.JKT www.legalitas.org www.legalitas.org 21 semua permohonan pelaku usaha. Pelaku usaha keberatan atas Putusan Pengadilan Negeri dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang sampai sekarang masih dalam proses pemeriksaan. Perkara ketiga merupakan perkara yang akhir-akhir ini menjadi bahan perbincangan di kalangan para pengamat bisnis adalah penjualan kapal tanker PT Pertamina. Perkara bermula dari penjualan dua unit kapal Tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) milik Pertamina yang mengandung indikasi persekongkolan untuk mengatur pemenang tender. Proses penawaran berawal dari penunjukan Goldman Sachs (Singapura), Pte. sebagai penasihat keuangan oleh Pertamina, tanpa melalui proses tender terbuka, yang sekaligus juga merupakan salah satu pemegang saham di Frontline, Ltd. Dalam proses selanjutnya, Pertamina menyatakan Frontline, Ltd. sebagai pemenang tender, meskipun perusahaan tersebut menawar dengan harga lebih rendah daripada Essar yang merupakan penawar tertinggi, tetapi tidak mempunyai komitmen untuk membayar uang muka sebesar 20%. Penunjukan secara langsung Goldman Sachs sebagai penasihat keuangan dan pengatur dalam divestasi VLCC oleh Pertamina merupakan perlakuan istimewa yang diberikan kepada satu pelaku usaha. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 huruf d yang menyatakan, bahwa “melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu”. Di samping itu, dalam pemeriksaan juga terbukti bahwa terdapat persekongkolan antara Pertamina dengan pelaku usaha yang terlibat dalam penawaran tender, yakni Frontline, Ltd., Goldman Sachs, dan Equinox. Persekongkolan tersebut dilakukan dengan cara terang-terangan maupun diam-diam melalui tindakan penyesuaian dan atau membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan, atau dengan menciptakan persaingan semu dan menyetujui dan memfasilitasi melakukan suatu tindakan meskipun sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, KPPU memutuskan, antara lain, bahwa Pertamina terbukti melanggar Pasal 19 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1999 www.legalitas.org www.legalitas.org 22 dalam hal penunjukan langsung Goldman Sachs (Singapore), Pte. sebagai penasihat keuangan dan pengatur tender. Kedua perusahaan tersebut juga dinyatakan terbukti melanggar Pasal 19 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam hal menerima penawaran ketiga dari Frontline, Ltd. Adapun Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 diterapkan pada PT Pertamina, Goldman Sachs (Singapore) Pte., Frontline, Ltd dan Equinox. Dalam Putusan Nomor 04/KPPU/2005/PN.JKT.PST, Pengadilan menyatakan, antara lain, bahwa Pertamina pada akhirnya menunjuk Frontline, Ltd. sebagai pemenang tender karena Essar tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Pertamina sebagai pemenang tender, khususnya mengenai kewajiban pembayaran uang muka sebesar 20%. Berdasarkan fakta, terungkap Essar menduduki posisi pertama dengan penawaran US$ 183 juta, sedangkan Frontline Ltd. pada peringkat kedua dengan penawaran US$ 175 juta. Adapun OSG menduduki peringkat ketiga dengan penawaran US$ 162 juta. Adapun Goldman Sachs (Singapore), Pte. tidak berkedudukan sebagai pelaku usaha, melainkan hanya sebagai penasihat keuangan dan pengatur tender, sehingga tidak dapat dikenakan Pasal 19 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1999 yang bekerja sama dengan Pertamina memilih pemenang tender. Di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung Indonesia melalui Putusan Nomor 04K/KPPU/2005 menguatkan Putusan KPPU dan membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Adapun alasan Mahkamah Agung menguatkan Putusan KPPU antara lain adalah, bahwa PT Pertamina telah menunjuk langsung Goldman Sachs, Pte. sebagai financial advisor dan arranger adalah bertentangan dengan SK 077 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pertamina/KPS/JOB/T.A.C Bab IV huruf a angka 3 dan Keppres Nomor 18 Tahun 2000 jo. Keppres Nomor 80 Tahun 2003. Alasan lain yang menjadi pertimbangan Mahkamah Agung dalam menguatkan Putusan KPPU adalah, bahwa PT Pertamina dan Goldman Sachs, Pte tidak dibenarkan untuk menerima penawaran optional dari Frontline dengan harga baru yang melebihi pemenang pertama, serta tidak memberi kesempatan kepada www.legalitas.org www.legalitas.org 23 bidder-bidder lain pesaingnya, seperti Essar dan OSG untuk memberikan penawaran baru. Tindakan-tindakan tersebut merupakan pelanggaran atas Pasal 22 dan 19 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1999. E. Sanksi dalam Hukum Anti Monopoli Pelanggaran terhadap Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 dapat dikenakan sanksi administrative maupun hukuman pidana. Sanksi administrative diatur berdasarkan Pasal 47, sedangkan hukuman pidana pokok didasarkan Pasal 48, dan pidana tambahan dalam Pasal 49. Berdasarkan Pasal 47, KPPU memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi administrative terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 22, berupa: 1. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.43 2. Penetapan pembayaran ganti rugi.44 3. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,- dan setinggitingginya Rp.25.000.000.000,-.45 Pelanggaran terhadap Pasal 22 juga dapat dikenakan hukuman pidana pokok berdasarkan Pasal 48 UU Nomor 5 Tahun 1999, berupa: 1. Pidana denda serendah-rendahnya Rp. 5.000.000.000,- dan setinggi-tingginya Rp.25.000.000.000,-, atau pidana kurungan pengganti denda selama 5 bulan.46 2. Pidana denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,- dan setinggi-tingginya Rp. 5.000.000.000,- atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 bulan47, dalam hal pelaku usaha dan/atau menolak menyerahkan alat bukti 43 Pasal 47 ayat (2) butir c UU Nomor 5 Tahun 1999. 44 Pasal 47 ayat (2) butir f UU Nomor 5 Tahun 1999. 45 Pasal 47 ayat (2) butir g UU Nomor 5 Tahun 1999. 46 Pasal 48 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1999. 47 Pasal 48 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1999. www.legalitas.org www.legalitas.org 24 yang diperlukan dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan atau menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan (2). Di samping pidana pokok, pelanggaran terhadap Pasal 22 juga dapat dijatuhi pidana tambahan sesuai yang diatur dalam Pasal 49 UU Nomor 5 Tahun 1999 sebagai berikut: 1. pencabutan izin usaha, atau 2. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 tahun dan selama-lamanya 5 tahun, atau 3. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain. KPPU memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administrative terhadap pelaku usaha, namun tidak memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi administrative kepada pihak lain yang bukan pelaku usaha. Pihak lain yang bukan pelaku usaha adalah penyelenggara tender dari instransi pemerintah, yang kegiatannya berkaitan dengan kepentingan negara dan atau masyarakat umum dan bukan untuk mencari keuntungan ekonomi. Dalam hal ini, KPPU hanya dapat memberikan rekomendasi kepada atasan dari ketua panitia dan atau penyelenggara tender, untuk melakukan pemeriksaan terhadap panitia dan penggunaan barang yang bersangkutan, serta menjatuhkan sanksi administratif pada mereka. Rekomendasi KPPU merupakan dasar bagi para atasan ketua panitia tender untuk melakukan pemeriksaan sehubungan dengan adanya indikasi pelanggaran terhadap Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000, Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, dan kelaziman pelaksanaan tender yang sehat. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 menetapkan bahwa pengadaan barang dan atau jasa pemerintah harus memenuhi www.legalitas.org www.legalitas.org 25 antara lain prinsip terbuka dan bersaing, serta adil dan tidak diskriminatif. Berdasarkan prinsip terbuka dan bersaing, pengadaan barang dan atau jasa harus terbuka bagi semua penyedia barang dan jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan sehat, berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas serta transparan.48 Sedangkan sanksi pidana dapat diterapkan kepada pelaku usaha maupun bukan pelaku usaha yang melakukan persekongkolan tender. Namun demikian, hanya sanksi pidana pokok dan sanksi pidana tambahan berupa penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain, yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha maupun bukan pelaku usaha yang melakukan persekongkolan tender.49 Sedangkan sanksi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan larangan menduduki jabatan Direksi atau Komisaris sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun, hanya dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha yang melakukan persekongkolan tender.50 Kegiatan persekongkolan tender yang mengandung dua sifat pelanggaran hukum membawa konsekuensi penjatuhan sanksi administratif oleh KPPU, tidak menghapuskan sifat pidana persekongkolan tender. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penjatuhan sanksi administrative dan sanksi pidana bersifat alternative bagi pelaku usaha. Dengan perkataan lain, penjatuhan sanksi administratif dan sanksi pidana dapat dilakukan terhadap setiap pelaku usaha yang terbukti melakukan persekongkolan tender. Hal yang sama terjadi pula di Jepang dalam penerapan sanksi berdasarkan the AMA di Jepang, yang secara umum mengatur 3 jenis hukuman guna mencegah pelanggaran terhadap the AMA. Pertama, adalah tindakan administrative, seperti denda dan penghentian kegiatan atas kartel. Kedua adalah hukuman pidana, dan ketiga adalah penggantian kerugian. Denda administratif dan hukuman pidana 48 Pasal 3 huruf c Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan atau Jasa Pemerintah. 49 Lihat Pasal 48 ayat (2) dan Pasal 49 huruf c UU Nomor 5 Tahun 1999. 50 Pasal 49 huruf a dan b UU Nomor 5 Tahun 1999. www.legalitas.org www.legalitas.org 26 merupakan sarana yang utama untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap the AMA. Kedua jenis sanksi tersebut seringkali diterapkan terhadap aktivitas yang bersifat anti persaingan, seperti penetapan harga (price fixing), boikot (group boycotting), dan bid rigging. Bahkan JFTC menjatuhkan denda dua kali lipat di tahun 1990, dari 1,5% menjadi 3% dan denda sebesar $US 7 juta.51 Namun demikian, the AMA menerapkan denda administrative dan hukuman pidana sebagai sanksi utama untuk melawan kartel dan bid rigging.52 Denda administratif diterapkan oleh JFTC untuk menghukum perusahaan-perusahaan yang melakukan hambatan perdagangan secara tidak masuk akal, yang dapat mempengaruhi harga atas produk dan jasa. Denda administratif dihitung dengan melipat-gandakan jumlah/harga penjualan atas produk dan atau jasa selama masa pelanggaran dengan fixed rate yang didasarkan pada jenis industri. Jumlah maksimal denda tersebut tidak melebihi 7 milyar Yen (kira-kira $US 60 juta).53 Di samping denda administratif, hukuman pidana dapat dikenakan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan tentang unreasonable restraints of trade. Jenis hukuman ini mulai diberlakukan oleh JFTC pada tahun 1990 yang menerapkan tanggung jawab kriminal terhadap pelaku usaha, terutama dalam kasus persekongkolan tender atas kontrak-kontrak publik yang menjadi penyebab resesi ekonomi dan korupsi di kalangan pemerintah.54 Para hakim memiliki kewenangan untuk menentukan tingkatan pidana, salah satu contoh adalah kasus the Blinding Seal.55 Hakim Pengadilan Tinggi Tokyo mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan dari perilaku yang terkait sebagai hal-hal yang 51 David L. Richter, “Legal Barriers to U. S. Firm Participation in the Japanese Construction Industry”, University of Pennsylvania Journal of International Business Law, 1991. 52 Shigeki Kusunoki, “Shaping an Anti-Monopoly Law Sanction Regime Against Cartels or Bid Collusion: a Perspective on Japan’s Choice”, University of Detroit Mercy Law Review, 2002, p. 401. Lihat pula Donald I. Baker, “The Use of Criminal Law Remedies to Deter and Punish Cartels and Bid Rigging”, George Washington Law Review, 2001, p. 695. 53 Ibid., h. 403. 54 Salil Kumar Mehra, “Politics and Antitrust in Japan”, Virginia Journal of International Law, 2002, p. 315. 55 46-3 Kokeishu (High Court Criminal Report) 322 (Tokyo High Court, decided on Dec. 14, 1993). www.legalitas.org www.legalitas.org 27 dipertimbangkan dalam menentukan tingkat hukuman.56 JFTC memiliki kebijakan yang sangat luas, karena mereka juga memiliki kewenangan untuk menyampaikan gugatan atau tuntutan pelaku usaha yang bersangkutan.57 Salah satu alasan penjatuhan dua jenis hukuman terhadap aktivitas bid rigging secara kumulatif disebabkan karena kasus tersebut mendominasi pelanggaran hukum pidana di Jepang. Sebagai contoh, dari 6 kasus pidana, 5 di antaranya termasuk bid rigging. Dari 37 kasus yang direkomendasikan oleh JFTC sejak tahun 1998, 31 di antaranya adalah kasus bid rigging, atau dari 24 juta yen yang dikumpulkan dalam penerapan denda administrative, 64% di antaranya berasal dari kasus bid rigging.58 E. Penutup Persekongkolan penawaran tender merupakan tindakan di kalangan para pelaku usaha yang mengakibatkan hambatan dalam proses persaingan yang sehat serta menimbulkan kerugian secara material. Bahkan di beberapa negara, tindakan tersebut diakui sebagai salah satu penyebab utama korupsi dan manipulasi dalam kegiatan pembangunan, sehingga lembaga pegawas persaingan di beberapa negara di samping memiliki otoritas menjatuhkan sanksi administratif juga sanksi pidana bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut secara kumulatif. Mengingat dampak yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut sangat signifikan terhadap pembangunan nasional, pemerintah berupaya membentuk peraturan hukum yang bertujuan dilaksanakannya pengadaan barang dan/atau jasa dengan efektif dan efisien, dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, dan adil, antara lain melalui Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan 56 Sebagai contoh, misalnya apakah perusahaan tersebut merupakan perusahaan terkemuka di bidangnya, yang memiliki kewajiban untuk mematuhi pada the AMA, atau kewajiban untuk menerapkan program kepatuhan atau melatih karyawannya secara ketat setelah ditemukan indikasi pelanggaran terhadap the AMA. Ibid. 57 Business Use Stretch Film Case 46-2 Kokeishu (High Court Criminal Report) 108 (Tokyo High Court, decided on May 21, 1993). 58 Yoshiro Mira and J. Mark Ramseyer, “Toward a Theory of Jurisdictional Competition: the Case of the Japanese FTC”, Journal of Competition Law & Economics, June 2005, p. 264. www.legalitas.org www.legalitas.org 28 Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (dengan beberapa peraturan peubahannya). Pengaturan pengadaan barang dan/atau jasa ini juga dilakukan secara terintegrasi dengan peraturan hukum lainnya, seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal 22 sampai dengan 24 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang persekongkolan penawaran tender. Dibentuknya pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam tender berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999, akan menjadi dasar acuan bagi para pelaku usaha, baik swasta maupun badan usaha milik negara, serta KPPU sendiri, guna melakukan tindakan preventif atas terjadinya persekongkolan yang bersifat horisontal maupun vertikal. Di samping pembentukan aturan hukum yang bertujuan mencegah dilakukan persekongkolan, keberadaan lembaga pengawas yang memiliki integritas kuat sangat menentukan ditegakkannya peraturan tersebut. Salah satu lembaga pengawas tersebut adalah KPPU, yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dan menjatuhkan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan tentang larangan persekongkolan penawaran tender. Pedoman atas larangan persekongkolan tender yang dibentuk oleh KPPU dimaksud untuk memperjelas pengaturan tersebut, sehingga baik pelaku usaha maupun panitia pelaksana tender dapat menggunakannya sebagai petunjuk untuk menghindarkan diri dari persekongkolan di kalangan mereka. Adanya keharusan bagi lembaga pengawas untuk membuktikan semua unsur yang terdapat dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 akan mempersulit KPPU dalam melakukan penyelidikan terhadap persekongkolan tender. Unsur yang dirasakan paling memberatkan tugas KPPU adalah penilaian atas terjadinya “persaingan usaha tidak sehat”, karena dalam hal ini mereka harus membuktikan bahwa persekongkolan tersebut “dapat mengakibatkan” persaingan usaha tidak sehat (pendekatan rule of reason). Unsur ini dapat dianggap sebagai proses pembuktian yang berlebihan, sehingga kadangkala menjadi bumerang bagi keputusan KPPU sendiri, karena kalimat “dapat mengakibatkan” merupakan kata-kata bersayap yang memiliki beberapa makna. Di banyak negara, lembaga pengawas persaingan cukup membuktikan terjadinya kesepakatan kolusif, karena hampir semua kesepakatan www.legalitas.org www.legalitas.org 29 kolusif selalu berakibat merugikan dan/atau meghambat persaingan usaha (pendekatan per se illegal). www.legalitas.org www.legalitas.org 30 DAFTAR PUSTAKA 46-3 Kokeishu (High Court Criminal Report) 322 (Tokyo High Court, decided on Dec. 14, 1993). Baker, Donald I. “The Use of Criminal Law Remedies to Deter and Punish Cartels and Bid Rigging.” George Washington Law Review, 2001. Black, Henry Cambell. Black’s Law Dictionary (With Pronunciations). St. Paul Minnesota: West Publishing, Co., 5th ed., 1979. Business Use Stretch Film Case 46-2 Kokeishu (High Court Criminal Report) 108 (Tokyo High Court, decided on May 21, 1993). Connolly, Robert E. “Do Schemes to Rig Bids and/or Fix Prices Constitute Fraud?”. Practising Law Institute, 1992. Daniel R. Karon, “Price Fixing, Market Allocation and Bid Rigging Conspiracies: How Counsel Your Clients to Detect Violations and Inform You of Potential Claims”, American Journal of Trial Advocacy, 2001. Fry, James D. “Struggling to Teethe: Japan’s Antitrust Enforcement Regime”. Law and Policy in International Business, 2001. Gray, Jon R. “Open-Competitive Bidding in Japan’s Public Works Sector and Foreign Contractor Access: Recent Reforms are Unlikely to Meet Expectation”, Columbia Journal of Asian Law, 1996. www.legalitas.org www.legalitas.org 31 Haberbush, Kara L. “Limiting the Government’s Exposure to Bid Rigging Schemes, a Critical Look at the Sealed Bidding Regime”. Public Contract Law Journal, 2000. Iyori, Hiroshi. “A Comparison of U.S.- Japan Antitrust Law: Looking at The International Harmonization of Competition Law.” Pacific Rim Law & Policy Journal, 1995. Judgment of Feb. 9, 1956 (Nihon Sekiyu K.K. v. K-osei Torihiki I’inkai), Tokyo K-osai (High Court) 7 Gy-osh-u 2949. Joshua, Julian. “Breaking Up the Hard Core: The Prospects for the Proposed Cartel Offence”, Criminal Law Review, 2002. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Keputusan Presiden RI Nomor 61 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Khemani, R. Shyam, et.al. A Framewok for the Design and Implementation of Competition Law and Policy. Washington DC. And Paris: The World Bank and Organization for Economic Co-operation and Development=OECD, 1999. Kusunoki, Shigeki. “Shaping an Anti-Monopoly Law Sanction Regime Against Cartels or Bid Collusion: a Perspective on Japan’s Choice.” University of Detroit Mercy Law Review, 2002. www.legalitas.org www.legalitas.org 32 Mehra, Salil Kumar. “Politics and Antitrust in Japan.” Virginia Journal of International Law, 2002. Mira, Yoshiro and J. Mark Ramseyer, “Toward a Theory of Jurisdictional Competition: the Case of the Japanese FTC.” Journal of Competition Law & Economics, June 2005. Okatani, Naoki. “Regulations on Bid Rigging in Japan, The United States and Europe”. Pacific Rim Law & Policy Journal, March, 1995. Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender oleh KPPU, 2005. Peraturan Presiden RI Nomor 32 Tahun 2005 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Presiden RI Nomor 70 Tahun 2005 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Presiden RI Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. “Persekongkolan Tender Pemerintah Kian Parah”. Suara Karya, 17 Oktober 2001. Putusan Nomor 01/KPPU-L/2000 tentang Persekongkolan Penawaran Tender Pengadaan Pipa Casing dan Tubing. www.legalitas.org www.legalitas.org 33 Putusan Nomor 7/KPPU-LI/2001 tentang Penawaran Tender Pengadaan Sapi Bakalan Kereman. Putusan Nomor 03/KPPU-I/2002 tentang Tender Penjualan Saham PT Indomobil Sukses Indonesia, Tbk. (PT IMSI) Putusan Perkara Nomor 06/KPPU-I/2005 tentang Persekongkolan Tender Proyek Multi Years di Riau. Putusan Perkara Nomor 04/KPPU/2002, JO. NO. 001/KPPU/ PDT.P/2002/PN.JKT Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 04K/KPPU/2005 tentang Penjualan VLCC Richter, David L. “Legal Barriers to U.S. Firm Participation in the Japanese Construction Industry.” University of Pennsylvania Journal of International Business Law, 1991. Sacker dan Lohse, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition. GTZ-Katalis Publishing, 2000. Sakda Thanicul, Sakda. “Competition Law in Thailand: a Preliminary Analysis”, Washington University Global Studies Law Review, 2002. Sullivan, E.Thomas dan Jeffrey L. Harrison. Understanding Antitrust and Its Economic Implications. New York: Matthew Bender & Co., 1994. Takeshima, Kazuhiko (Chairman Fair Trade Commission of Japan). The Lessons from Experience of Antimonopoly Act in Japan and the Future of Competition Laws and Policies in East Asia. Disajikan dalam The 2nd East Asia www.legalitas.org www.legalitas.org 34 Conference on Competition Law and Policie (Toward Effective Implementation of Competition Policies in East Asia), Bogor, 3-4 Mei 2005. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1996. Tokigawa, Toshiaki. “The Prospect of Antitrust Law and Policy in the Twenty-First Century: in Reference to the Japanese Antimonopoly Law and Japan Fair Trade Commission”, Washington University Global Studies Law Review, 2002.
PENEGAKAN HUKUM DAN SANKSI DALAM PERSEKONGKOLAN PENAWARAN TENDER Oleh: A. M. Tri Anggraini
ABSTRAK Persekongkolan tender merupakan kegiatan yang biasa dilakukan oleh para pelaku usaha, dengan cara melakukan kesepakatan-kesepakatan, guna memenangkan tender. Kegiatan tersebut tidak jarang mengakibatkan hambatan bagi pelaku usaha yang tidak terlibat dalam kesepakatan, dan dampak yang lebih jauh dapat mengakibatkan kerugian bagi pihak penyelenggara, karena terdapat ketidak-wajaran mengenai harga. Tulisan ini mengungkap tentang mekanisme bekerjanya persekongkolan tender, serta penegakan hukum dan sanksi dari aspek Hukum Persaingan Usaha. Proses penyelidikan dan pembuktian terhadap persekongkolan tender berdasarkan Undangundang Nomor 5 Tahun 1999 terlalu rumit, karena Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus menggunakan metode Rule of Reason. Penggunaan metode tersebut memaksa KPPU harus membuktikan adanya dampak atas persekongkolan tender, padahal setiap persekongkolan hampir selalu berdampak menghambat dan atau merugikan pelaku usaha yang tidak terlibat. Melalui penelitian normatif dan perbandingan hukum di beberapa negara di Asia, ditemukan suatu kesimpulan, bahwa seharusnya tidak diperlukan pembuktian terhadap dampak persekongkolan. KPPU cukup membuktikan adanya kesepakatan di kalangan pelaku usaha, yang biasanya dilakukan secara lisan. Agar KPPU memiliki legalitas dalam penyelidikan, perlu dilakukan amandemen terhadap ketentuan yang mengatur tentang persekongkolan tender. A. Pengantar Istilah persekongkolan di semua kegiatan masyarakat hampir selalu berkonotasi negatif. Pandangan ini disebabkan, bahwa pada hakekatnya persekongkolan atau konspirasi bertentangan dengan keadilan, karena tidak memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh penawar untuk mendapatkan obyek barang dan/atau jasa yang ditawarkan penyelenggara. Akibat adanya persekongkolan tender, penawar yang mempunyai iktikad baik menjadi terhambat untuk masuk pasar, dan akibat lebih jauh adalah terciptanya harga yang tidak kompetitif. www.legalitas.org www.legalitas.org 2 Persekongkolan penawaran tender (bid rigging) termasuk salah satu perbuatan yang dianggap merugikan negara, karena terdapat unsur manipulasi harga penawaran, dan cenderung menguntungkan pihak yang terlibat dalam persekongkolan. Bahkan di Jepang, persekongkolan penawaran tender dan kartel dianggap merupakan tindakan yang secara serius memberikan pengaruh negatif bagi ekonomi nasional.1 Bid rigging dalam industri konstruksi merupakan salah satu akar penyebab korupsi di kalangan kaum politikus dan pejabat negara. Hal ini akan mengakibatkan kerugian, karena masyarakat pembayar pajak harus membayar beban biaya konstruksi yang tinggi.2 Demikian pula di Indonesia, persekongkolan tender mengakibatkan kegiatan pembangunan yang berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dikeluarkan secara tidak bertanggung jawab, dan pemenang tender yang bersekongkol mendapatkan keuntungan jauh di atas harga normal, namun kerugian tersebut dibebankan kepada masyarakat luas.3 Sehubungan dengan hal itu, pemerintah Indonesia saat ini berusaha mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih, sebagai upaya mewujudkan sistem pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, sehingga menimbulkan kewibawaan di sektor lainnya terutama dalam hal penegakan hukum. Salah satu upaya mewujudkan keinginan tersebut, pemerintah menetapkan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pembentukan peraturan ini bertujuan agar pengadaan barang/jasa instansi Pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien, dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil dan layak bagi semua pihak terkait, sehingga hasilnya dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan 1 Kazuhiko Takeshima (Chairman Fair Trade Commission of Japan), The Lessons from Experience of Antimonopoly Act in Japan and the Future of Competition Laws and Policies in East Asia, disajikan dalam The 2nd East Asia Conference on Competition Law and Policie (Toward Effective Implementation of Competition Policies in East Asia), Bogor, 3-4 Mei 2005. 2 Naoki Okatani, “Regulations on Bid Rigging in Japan, The United States and Europe”, Pacific Rim Law & Policy Journal, March, 1995, h. 251. 3 ”Persekongkolan Tender Pemerintah Kian Parah”, Suara Karya, 17 Oktober 2001. www.legalitas.org www.legalitas.org 3 masyarakat.4 Pasal 10 Keputusan Presiden tersebut menyatakan, bahwa panitia pengadaan wajib dibentuk untuk semua pengadaan dengan nilai di atas Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), artinya bahwa semua pengadaan proyek di atas nilai tersebut harus dilakukan melalui penawaran umum. Ketentuan ini menyebabkan banyaknya proyek-proyek yang harus dilakukan dengan cara melakukan penawaran tender, sehingga makin besar pula kemungkinan terjadinya persekongkolan penawaran tender.5 Mengingat dampak yang ditimbulkan dari tindakan persekongkolan tender sangat signifikan bagi pembagunan ekonomi nasional dan iklim persaingan yang sehat, pengaturan masalah penawaran tender tidak hanya diatur dalam Undangundang tentang Pengadaan Barang dan/Jasa, tetapi juga diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Larangan persekongkolan tender diatur dalam Hukum Persaingan karena secara prinsipial terdapat empat (4) kategori kegiatan yang dilarang, yakni penetapan harga, pembatasan atas produksi atau pasokan (limitation of production or supply), pembagian wilayah pasar, dan persekongkolan tender (bid rigging).6 Pembahasan ini akan menitik-beratkan pada analisis yuridis persekongkolan penawaran tender berdasarkan Hukum Persaingan Usaha, karena berdasarkan laporan yang masuk ke KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), lebih dari separuh laporan tersebut berkaitan erat dengan persekongkolan penawaran tender. Bahkan tidak jarang perkara yang dihadapi oleh KPPU dapat dikategorikan sebagai kasus korupsi yang melibatkan lembaga maupun oknum pemerintah yang mengakibatkan kerugian negara triliunan rupiah. 4 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, bagian “Menimbang”. Lihat pula Pasal 3 tentang Prinsip Dasar Pengadaan Barang/Jasa. 5 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 telah mengalami empat kali perubahan melalui Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2004, kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005, dan kemudian dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005, serta perubahan terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006. 6 Julian Joshua, “Breaking Up the Hard Core: The Prospects for the Proposed Cartel Offence”, Criminal Law Review, 2002, p. 942. www.legalitas.org www.legalitas.org 4 B. Mekanisme Persekongkolan Penawaran Tender Pengertian tender atau lelang diartikan sebagai serangkaian kegiatan untuk menyediakan kebutuhan barang dan/atau jasa yang seimbang dan memenuhi syarat, berdasarkan peraturan tertentu yang ditetapkan oleh pihak terkait. Oleh karena itu, dalam hal ini dikatakan, bahwa tujuan utama pelaksanaan penawaran tender adalah memberikan kesempatan yang seimbang bagi semua penawar, sehingga menghasilkan harga yang paling murah dengan output yang maksimal. Meskipun secara umum diakui, bahwa harga murah bukanlah semata-mata ukuran untuk menentukan kemenangan dalam pengadaan barang dan/jasa, namun melalui mekanisme penawaran tender sedapat mungkin dihindarkan kesempatan untuk melakukan konspirasi di antara para pesaing, atau antara penawar dengan panitia penyelenggara lelang. Konspirasi atau persekongkolan dalam penawaran umum diartikan sebagai bentuk perjanjian kerjasama di antara para penawar yang seharusnya bersaing, dengan tujuan memenangkan peserta tender tertentu. Perjanjian ini dapat dilakukan oleh satu atau lebih peserta lelang yang setuju untuk tidak mengajukan penawaran, atau oleh para peserta lelang yang menyetujui satu peserta dengan harga yang lebih rendah, dan kemudian melakukan penawaran dengan harga di atas harga perusahaan yang direkayasa sebagai pemenang. Kesepakatan semacam ini bertentangan dengan proses pelelangan yang wajar, karena penawaran umum dirancang untuk menciptakan keadilan dan menjamin dihasilkannya harga yang murah dan paling efisien.7 Oleh karena itu, persekongkolan dalam penawaran tender dianggap menghalangi terciptanya persaingan yang sehat di kalangan para penawar yang beriktikad baik untuk melakukan usaha di bidang bersangkutan. Berkaitan dengan hal ini, UNCTAD menetapkan, bahwa “Tender kolusif pada dasarnya bersifat anti persaingan, karena dianggap melanggar tujuan penawaran tender yang sesungguhnya, yaitu mendapatkan 7 R. Shyam Khemani et.al., A Framewok for the Design and Implementation of Competition Law and Policy (Washington DC. And Paris: The World Bank and Organization for Economic Co-operation and Development=OECD, 1999), h. 23. www.legalitas.org www.legalitas.org 5 barang atau jasa dengan harga dan kondisi yang paling menguntungkan pihak penyelenggara.”8 Dalam prakteknya terdapat beberapa mekanisme (metode) beroperasinya persekongkolan penawaran tender, antara lain: 1. Tekanan terhadap penawaran (Bid Suppression), artinya bahwa satu atau lebih penawar setuju untuk menahan diri untuk tidak mengikuti pelelangan, atau menarik penawaran yang telah diajukan sebelumnya, agar penawar lain dapat memenangkan pelelangan itu.9 2. Penawaran yang Saling Melengkapi (Complementary Bidding), yaitu kesepakatan di antara para penawar di mana dua atau lebih penawar setuju terhadap siapa yang akan memenangkan penawaran. Pemenang yang dirancang kemudian mengatakan kepada penawar lain mengenai harga yang direncanakan, sehingga mereka akan melakukan penawaran dengan harga yang lebih tinggi. Sebaliknya, pemenang yang dirancang akan memerintahkan penawar lain untuk menawar di tingkat harga yang ditentukan, sehingga harga penawaran calon pemenang menjadi lebih rendah dari pada pesaing yang lain. Tindakan tersebut menciptakan kesan seolah-olah terdapat persaingan sesungguhnya di antara mereka, sehingga kontraktor yang dirancang berhasil memenangkan tender.10 3. Perputaran Penawaran atau Arisan Tender (Bid Rotation), adalah pola penawaran tender di mana satu dari penawar setuju untuk kembali sebagai penawar yang paling rendah. Dalam hal ini, penawar tender lain (selain pemenang yang sudah ditentukan sebelumnya), secara bersama-sama akan menawar setinggi-tingginya, sebelum sampai pada gilirannya untuk 8 Sacker dan Lohse, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition (GTZ-Katalis Publishing, 2000), h. 313. 9 R. Shyam Khemani et.al., Loc. Cit. 10 Kara L. Haberbush, “Limiting the Government’s Exposure to Bid Rigging Schemes, a Critical Look at the Sealed Bidding Regime”, Public Contract Law Journal, 2000, h. 99. www.legalitas.org www.legalitas.org 6 memenangkan tender. Seringkali perputaran (arisan) ini menetapkan adanya jaminan, bahwa mereka akan mendapat giliran untuk memenangkan tender. Kadangkala dalam beberapa pola semacam ini, terdapat perjanjian untuk mengantisipasi, bahwa penawar yang “kalah” dalam tender akan menjadi subkontraktor bagi pihak yang dimenangkan.11 4. Pembagian Pasar (Market Division), adalah pola penawaran tender yang terdiri dari beberapa cara untuk memenangkan tender melalui pembagian pasar. Melalui metode ini, para penawar dapat merancang wilayah geografis maupun pelanggan tertentu, sehingga jika terdapat kontrak di wilayah tertentu, seluruh penawar sudah mengetahui penawar mana yang akan memenangkan tender.12 Dalam semua pola penawaran tersebut di atas, pemenang tender, atau penawar yang lebih murah, dapat mengamankan kesepakatannya melalui pembayaran langsung terhadap para penawar lainnya. Pembayaran tersebut dapat berujud pembayaran sejumlah uang atau melakukan perjanjian sub-kontraktor dengan penawar yang kalah. Namun demikian, tindakan ini sangat beresiko, karena bagaimanapun juga perjanjian tersebut adalah ilegal. Melalui aktivitas tersebut, kontraktor dapat dianggap menghambat atau melarang sub-kontraktor menjual jasanya secara langsung kepada pemerintah, di mana hal ini bertentangan dengan hukum. Segala macam komisi yang terkandung di dalam transaksi antara kontraktor dan sub-kontraktor dianggap sebagai pelanggaran hukum. Berbagai pola persekongkolan penawaran tender tersebut di atas akan lebih mudah dilakukan dalam kegiatan usaha tertentu yang memiliki fasilitas kartel. Pendapat ini didasarkan pada beberapa alasan, antara lain, pertama, struktur pasar 11 Ibid., h.100. Bandingkan dengan pandangan lain yang membagi pola bid rigging ke dalam jenisjenis berikut: Bid Suppression, Complimentary Bidding, Bid Rotation, dan Subcontracting. Lihat Daniel R. Karon, “Price Fixing, Market Allocation and Bid Rigging Conspiracies: How Counsel Your Clients to Detect Violations and Inform You of Potential Claims”, American Journal of Trial Advocacy, 2001, p. 249. 12 Ibid., h. 100. www.legalitas.org www.legalitas.org 7 kartel menyediakan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan untuk berkomunikasi satu sama lain. Dalam hal ini, terdapat pula kemudahan bagi perusahaan-perusahaan untuk membuat perjanjian, misalnya di mana industri-industri memiliki fasilitas melakukan pertemuan melalui asosiasi, dan memiliki sebuah forum yang dapat dipakai untuk menutupi kegiatan pertemuan mereka. Pemerintah kadangkala memberikan fasilitas tersebut melalui pertemuan pra lelang (prebid meetings). Kedua, pasar bersifat sedemikian rupa sehingga perusahaan-perusahaan dapat mendeteksi kegagalan dalam mematuhi suatu kesepakatan, karena ketidak-patuhan dianggap sebagai penipuan. Cara yang paling sederhana bagi perusahaan untuk mendeteksi adanya penipuan adalah dengan menghadiri pembukaan lelang. Sebagian besar lelang umumnya bersifat terbuka bagi publik, sehingga para pihak yang bersaing dapat mengetahui jika terdapat anggota konspirasi yang ternyata memberikan penawaran harga lebih rendah dari pada harga yang telah disepakati sebelumnya. Kemampuan untuk mendeteksi adanya penipuan itu cukup penting guna mendeteksi keberhasilan suatu kartel. Segala hal yang memudahkan untuk mendeteksi secara cepat adanya perusahaan yang menipu akan dapat meningkatkan wibawa kartel. Ketiga, kartel harus dapat menghukum perusahaan yang melakukan penipuan. Sebagai contoh misalnya, sebuah perusahaan yang melakukan penipuan akan dipecat keanggotaannya dalam kartel, sehingga para anggota kartel dapat melakukan penawaran yang lebih rendah dari anggota yang dikeluarkan guna menghukum atau membangkrutkan perusahaan yang melakukan penipuan tersebut. Cara lainnya adalah, para anggota kartel dapat mempengaruhi para sub-kontraktor dan para pemasok agar menolak untuk bertransaksi dengan perusahaan penipu, agar perusahaan tersebut tidak mampu memenuhi kewajiban dalam perjanjian. Keempat, perjanjian lebih mudah untuk dilanggar jika kesepakatan tersebut hanya menyangkut satu masalah tertentu, misalnya mengenai harga. Jika undangan lelang mengandung berbagai macam faktor selain harga, maka kartel harus dapat meyakinkan para anggotanya untuk menyepakati keseragaman faktor-faktor tersebut. www.legalitas.org www.legalitas.org 8 Jika tidak, maka pemenang yang dirancang, yang menawar dengan harga terendah, dapat dikalahkan penawar lain didasarkan atas faktor-faktor lain selain harga, misalnya mutu atau kualitas barang dan/atau jasa yang ditawarkan. Dari uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan peraturan yang menjamin keterbukaan dan keadilan, artinya bahwa tender harus dilakukan secara umum, persyaratan yang jelas dan tidak bersifat diskriminatif terhadap para penawar. Berkaitan dengan hal ini, diperlukan juga kejujuran pihak penyelenggara dalam melakukan pelelangan, sehingga tidak terjadi konspirasi antara panitia dan penawar. Demikian pula perlu pencegahan ikut sertanya kartel dalam suatu penawaran, karena hal ini berakibat pelelangan tidak akan berjalan secara wajar dan adil. C. Pengaturan Persekongkolan Penawaran Tender di Beberapa Negara Asia Uraian di atas menunjukkan, bahwa dampak persekongkolan tender mengakibatkan kerugian yang signifikan, baik terhadap pelaku usaha pesaing maupun kepada masyarakat secara luas. Oleh karena itu, hampir semua negara menganggap perlu melarang tegas aktivitas tersebut. Bahkan, sudah sejak lama menganggap perjanjian di antara para penawar untuk tidak bersaing sebagai tindakan curang (fraudulent).13 Namun demikian, dalam perkembangannya tidak mudah bagi lembaga pengawas persaingan maupun pengadilan untuk menetapkan aktivitas tertentu sebagai persekongkolan tender (bid rigging). Larangan persekongkolan tender diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1999. Istilah persekongkolan atau konspirasi usaha diartikan sebagai “bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.”14 Pemahaman ini agak berbeda dengan pengertian persekongkolan tender dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 22 yang menyatakan, bahwa “pelaku usaha dilarang 13 Robert E. Connolly, “Do Schemes to Rig Bids and/or Fix Prices Constitute Fraud?”, Practising Law Institute, 1992, p. 499. 14 Lihat Pasal 1 angka 8 UU Nomor 5 Tahun 1999. www.legalitas.org www.legalitas.org 9 bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” Perbedaan tersebut adalah, bahwa Pasal 22 mencantumkan adanya pihak lain selain pelaku usaha dalam persekongkolan. Berdasarkan ketentuan Pasal 22 tersebut, dapat dikatakan bahwa ketentuan tentang persekongkolan tender terdiri atas beberapa unsur, yakni unsur pelaku usaha15, bersekongkol, adanya pihak lain, mengatur dan menentukan pemenang tender, serta persaingan usaha tidak sehat. Istilah “pelaku usaha” diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999.16 Adapun istilah “bersekongkol” diartikan sebagai kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan peserta tender tertentu.17 Di samping itu, unsur “bersekongkol” dapat pula berupa: 1. kerjasama antara dua pihak atau lebih; 2. secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian dokumen dengan peserta lainnya; 3. membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan; 4. menciptakan persaingan semu; 5. menyetujui dan atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan; 6. tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu; 15 Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. 16 Pasal 1 angka 4 UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. 17 Pedoman KPPU tehadap Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender, h. 8. www.legalitas.org www.legalitas.org 10 7. pemberian kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender atau pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti tender, dengan cara melawan hukum.18 Kerjasama antara dua pihak atau lebih dengan diam-diam biasanya dilakukan secara lisan, sehingga membutuhkan pengalaman dari lembaga pengawas persaingan guna membuktikan adanya kesepakatan yang dilakukan secara diam-diam. Dalam penawaran tender yang dikuasai oleh kartel akan semakin mempersulit upaya penyelidikan ini, kecuali terdapat anggota yang “berkhianat” membongkar adanya persekongkolan tersebut. Adanya unsur “pihak lain” menunjukkan bahwa persekongkolan selalu melibatkan lebih dari satu pelaku usaha. Pengertian pihak lain dalam hal ini meliputi para pihak yang terlibat, baik secara horisontal maupun vertikal dalam proses penawaran tender. Pola pertama adalah persekongkolan horisontal, yakni tindakan kerjasama yang dilakukan oleh para penawar tender, misalnya mengupayakan agar salah satu pihak ditentukan sebagai pemenang dengan cara bertukar informasi harga serta menaikkan atau menurunkan harga penawaran. Dalam kerjasama semacam ini, pihak yang kalah diperjanjikan akan mendapatkan sub kontraktor dari pihak yang menang. Sebagai contoh persekongkolan horisontal adalah kasus yang melibatkan beberapa perusahaan yang beroperasi di bidang pengadaan jasa konstruksi minyak bumi. Perkara ini berawal dari penawaran tender pengadaan pipa casing dan tubing yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dengan menetapkan persyaratan baru, sehingga tidak semua peserta tender yang biasanya dapat ikut serta dalam penawaran memenuhi persyaratan.19 Persyaratan tersebut antara lain mengharuskan para penawar (bidders) memiliki semua items, yang terdiri dari high grade dan low grade, padahal tidak semua penawar memiliki kedua fasilitas tersebut, sehingga penawar yang 18 Lihat Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender oleh KPPU, 2005, hal. 8. 19 Putusan Nomor 01/KPPU-L/2000 tentang Persekongkolan Penawaran Tender Pengadaan Pipa Casing dan Tubing. www.legalitas.org www.legalitas.org 11 memenuhi persyaratan hanya mengarah pada dua perusahaan besar, meskipun pada akhirnya salah satu dari kedua perusahaan mengundurkan diri sebagai penawar. Berkaitan dengan hal ini, perusahaan minyak bumi sebagai pelaksana tender (PTCPI) mengemukakan alasan, bahwa persyaratan itu merupakan kebijakan untuk melakukan efisiensi secara menyeluruh, guna menekan tingkat persediaan (inventory level), biaya pengadaan (procurement cost), dan lamanya pengadaan (cycle time) barang. Proses penawaran tersebut tetap dilaksanakan, karena pihak yang tidak memiliki fasilitas lengkap tetap dapat melakukan penawaran dengan persyaratan, bahwa mereka harus mendapatkan supporting letter dari perusahaan yang memenuhi persyaratan lengkap. Namun adanya persyaratan ini dimanfaatkan oleh mereka untuk melakukan kerjasama, dengan cara melakukan pertemuan rahasia dengan agenda saling bertukar informasi, yakni di satu sisi penawar harus menunjukkan harga penawaran agar mendapatkan supporting letter dari penawar yang memiliki fasilitas lengkap. Tindakan ini bertentangan dengan Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, yakni ketentuan tentang persekongkolan, sehingga KPPU memerintahkan PTCPI untuk menghentikan kegiatan tersebut. Pola yang kedua adalah persekongkolan tender secara vertikal, artinya bahwa kerjasama tersebut dilakukan antara penawar dengan panitia pelaksana tender. Dalam hal ini, biasanya panitia memberikan berbagai kemudahan atas persyaratanpersyaratan bagi seorang penawar, sehingga dia dapat memenangkan penawaran tersebut. Kasus seperti ini pernah terjadi dalam perkara penawaran tender pengadaan sapi bakalan kereman yang dilaksanakan Dinas Peternakan Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Perkara mengenai pengadaan sapi bakalan kereman impor yang melibatkan Koperasi Pribumi Indonesia (KOPI), didasarkan pada Putusan Nomor 7/KPPULI/ 2001 adalah bermula dari pengumuman tender secara terbuka di berbagai media massa oleh panitia penyelenggara. Sejak awal pendaftaran sampai diputuskannya pemenang tender, panitia telah mengisyaratkan bahwa proyek tersebut dimenangkan oleh KOPI. Rekayasa tersebut terlihat dari beberapa cara, antara lain membolehkan www.legalitas.org www.legalitas.org 12 KOPI mengikuti pelelangan meskipun tidak memiliki Tanda Daftar Rekanan (TDR), tidak memenuhi persyaratan administratif maupun syarat lainnya, seperti pengalaman impor sapi dari Australia, dan keterlambatan kehadiran KOPI pada saat berlangsungnya penawaran. Meskipun tidak memenuhi persyaratan tersebut, KOPI bersama-sama dengan Pejabat Dinas Peternakan dan beberapa anggota DPRD melakukan perjalanan ke Australia, untuk melakukan survey atas kondisi sapi yang akan diimpor ke Indonesia. Pada akhirnya, panitia menunjuk KOPI sebagai pelaksana dari proyek pengadaan sapi impor tersebut, meskipun koperasi tersebut tidak memenuhi persyaratan RKS (Rencana Kerja dan Syarat-syarat) pada penawaran lelang terdahulu, seperti pemilikan kandang berkapasitas 5000 ekor sapi, pengalaman impor sapi dan sebagainya. Penunjukan ini dilakukan hanya berdasarkan rapat di antara panitia lelang, Satuan Petugas (Satgas), dan Kepala Dinas Peternakan. Mereka melakukan penunjukan langsung melalui Negosiasi Harga dan Teknis, yang isinya antara lain mengesampingkan persyaratan administrasi maupun teknis. Semua fakta yang disertai dengan bukti-bukti yang mendukung di atas mengarah pada terjadinya persekongkolan yang didasarkan Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pola ketiga adalah persekongkolan horisontal dan vertikal, yakni persekongkolan antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam proses tender, misalnya tender fiktif yang melibatkan panitia, pemberi pekerjaan, dan pelaku usaha yang melakukan penawaran secara tertutup. Sebagai contoh jenis tender ini adalah Tender Proyek Multi Years di Riau.20 Dugaan bermula dari adanya penawaran tender proyek multi years yang terdiri dari 9 paket pekerjaan, oleh Pemerintah di Bidang Prasarana Jalan Propinsi Riau dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2004. Panitia memfasilitasi bidder tertentu 20 Putusan Perkara Nomor 06/KPPU-I/2005 tentang Persekongkolan Tender Proyek Multi Years di Riau. www.legalitas.org www.legalitas.org 13 dengan cara mengundurkan waktu pengembalian dokumen penawaran, serta memfasilitasi para bidder lainnya untuk melakukan kerja sama semu dengan cara mengundurkan waktu pengembalian dokumen prakualifikasi. Atas beberapa kegiatan yang dilakukan panitia tender, pejabat yang bersangkutan dengan beberapa bidder dikenakan Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999. Mengingat dampak yang ditimbulkan atas adanya persekongkolan tender sangat signifikan, beberapa negara menganggap perlu mengatur tindakan tersebut dalam undang-undang. Sebagai contoh adalah Vietnam, yang mengatur tindakan terlarang dalam The Competition Law No. 27 Tahun 2004. Larangan mengenai persekongkolan tender diatur dalam Chapter II, Section 1, Article 8 (8) tentang “Competition Restriction Agreement” yang menyatakan, “convining to enable one or all of the parties of the agreement to win bids for supply of goods or provision of services”. Demikian juga Thailand, mengatur larangan persekongkolan tender dalam Thailand Competition Act, B. E. 2542 (1999), Chapter III tentang Anti Monopoly, Section 27 (4) yang menyatakan: “Any business operator shall not enter into an agreement with another business operator to do any act amounting to monopoly, reduction of competition or restriction of competition in the market of any particular goods or any particular service in any of the following manners: fixing an agreement or condition in a collusive manner in order to enable one party to win bid or a tender for the sale of goods or services or to prevent the other party from competing in a bid or tender for the sale of goods or services.”21 Adapun pengaturan bid rigging di Jepang terdapat dalam the Japanese Antimonopoly Act (the AMA) Article 2 (6), yang mendefinisikan: “unreasonable restraint of trade as used in this Act shall mean such business activities, by which any enterpreuneur, by contract, agreement or any other 21 Sakda Thanicul, “Competition Law in Thailand: a Preliminary Analysis”, Washington University Global Studies Law Review, 2002, p. 178. www.legalitas.org www.legalitas.org 14 concerted actions, irrespective of its names, with other entrepreneurs, mutually restrict or conduct their business activities in such a manner as to fix, maintain, or increase prices, or to limit production, technology, products, facilities, or customers or suppliers, thereby causing, contrary to the public interest, a substantial restraint of competition in any particular field of trade”. Istilah concerted action diartikan sebagai implied agreements (perjanjian terselubung) atau komunikasi yang saling menguntungkan di antara para pihak. Maksud dari perjanjian terselubung (diam-diam) tersebut dapat dibuktikan dengan bukti-bukti yang secara tidak langsung menunjukkan adanya perjanjian. Berkaitan dengan hal ini, JFTC menemukan concerted action sebagai perjanjian penetapan harga dalam tender minyak. Pengadilan Tinggi Tokyo menguatkan putusan JFTC, yang menyatakan bahwa “it is obvious that we can reasonably find the same facts regarding price fixing agreement as the FTC’s decision if we examine the evidence listed in the FTC’s decision as a whole. Therefore, the fact finding of the defendant does not conflict with reasonable inference.”22 Sebagai pelaksanaan Article 2.6 the AMA tersebut di atas, pada tahun 1984 Japanese Fair Trade Commission (JFTC) membentuk “Guidelines under Antimonopoly Law for Activities of Trade Associations” (Construction Industry Guidelines).23 Di samping itu, mengingat banyak kasus bid rigging yang melibatkan asosiasi dagang, maka pada tanggal 5 Juli 1994 JFTC juga membentuk “Guidelines concerning the Activities of Firms and Trade Associations with Regard to Public Bids”. Pada tahun 1997 juga menerbitkan “Guidelines under the Antimonoply Law 22 Hiroshi Iyori, “A Comparison of U.S.- Japan Antitrust Law: Looking at The International Harmonization of Competition Law”, Pacific Rim Law & Policy Journal, 1995, p.74. Lihat Judgment of Feb. 9, 1956 (Nihon Sekiyu K.K. v. K-osei Torihiki I’inkai), Tokyo K-osai (High Court) 7 Gy-osh-u 2949. 23 Jon R. Gray, “Open-Competitive Bidding in Japan’s Public Works Sector and Foreign Contractor Access: Recent Reforms are Unlikely to Meet Expectation”, Columbia Journal of Asian Law, 1996, p. 453. www.legalitas.org www.legalitas.org 15 for Activities of Trade Associations”. Maksud pengaturan ini adalah untuk mencegah asosiasi-asosiasi dagang yang bertindak sebagai koordinator dalam persekongkolan tender dan perilaku lain yang menghambat persaingan. Didasarkan pada peraturan-peraturan pelaksanaan tersebut, maka JFTC menempuh beberapa tindakan yang bertujuan mencegah berkembangnya persekongkolan tender. Tindakan-tindakan tersebut antara lain, pertama, mengeliminasi ukuran-ukuran pelanggaran hukum. Khususnya, mewajibkan para pelanggar untuk membatalkan perjanjian penawaran yang dibuat oleh perusahaan dan mengumumkannya di koran dan media lainnya. Sebagai tambahan, JFTC juga memerintahkan untuk menghentikan kegiatan dan mewajibkan pihak pelanggar untuk melaporkannya ke JFTC. Kedua, menetapkan denda administratif, dengan cara mengenakan pajak tambahan atas produk dari penawar yang dimenangkan. Besarnya biaya ini adalah 6% dari harga penawaran yang dimenangkan untuk perusahaan besar, dan 3% untuk perusahaan menengah dan kecil. Ketiga, JFTC dapat menetapkan denda pidana terhadap kegiatan yang melanggar Hukum Antimonopoli. Guna merealisir hal ini, pada tanggal 20 Juni 1990 JFTC membentuk standart penuntutan dalam “Guidelines of the Fair Trade Commission Concerning Accusations of Violations of the Antimonoply Law”. Sebagai hukuman pidana, tersangka dapat dikenakan denda maksimal sebesar YEN 5 juta atau hukuman penjara maksimal tiga tahun. Di lain pihak, perusahaan yang terlibat bid rigging dapat dikenakan hukuman sebesar dua kali lipat atau denda maksimal YEN 100 juta.24 Kondisi tersebut menunjukkan, bahwa pelanggaran terhadap persekongkolan tender dapat dikenakan baik denda administrative maupun pidana. Unsur bid rigging yang lain adalah “mengatur dan atau menentukan pemenang tender”. Unsur ini diartikan sebagai suatu perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses tender secara bersekongkol, yang bertujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya dan/atau untuk memenangkan 24 Naoki Okatani, Op. Cit., h. 254-255. www.legalitas.org www.legalitas.org 16 peserta tender tertentu dengan berbagai cara. Pengaturan dan/atau penentuan pemenang tender tersebut meliputi, antara lain menetapkan kriteria pemenang, persyaratan teknik, keuangan, spesifikasi, proses tender, dan sebagainya. Pengaturan dan penentuan pemenang tender dapat dilakukan secara horisontal maupun vertikal, artinya baik dilakukan oleh para pelaku usaha atau panitia pelaksana. Unsur yang terakhir dari ketentuan tentang persekongkolan adalah terjadinya “persaingan usaha tidak sehat”.25 Unsur ini menunjukkan, bahwa persekongkolan menggunakan pendekatan rule of reason, karena dapat dilihat dari kalimat “…sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pendekatan rule of reason merupakan suatu pendekatan hukum yang digunakan lembaga pengawas persaingan untuk mempertimbangkan faktor-faktor kompetitif dan menetapkan layak atau tidaknya suatu hambatan perdagangan. Artinya untuk mengetahui apakah hambatan tersebut bersifat mencampuri, mempengaruhi, atau bahkan mengganggu proses persaingan.26 Pendekatan rule of reason dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang harus diterapkan terhadap persekongkolan tender ini akan lebih menyulitkan pihak KPPU dalam proses penyelikannya. Hal ini mengingat persekongkolan tender di banyak negara umumnya adalah menggunakan pendekatan per se illegal, yakni dengan cara membuktikan adanya kesepakatan kolusif maka pihak pengawas dapat menjatuhkan denda atau sanksi administratif terhadap para pelaku usaha yang melakukannya. Sebagai contoh, hukum antitrust Amerika Serikat menetapkan bahwa kolaborasi di antara pesaing yang merupakan kesepakatan horisontal harus ditetapkan sebagai per se illegal.27 Demikian pula ketika JFTC menetapkan “The Guidelines Concerning Distribution Systems and Business Practices” di tahun 1991, menyatakan 25 Lihat Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. 26 E. Thomas Sullivan dan Jeffrey L. Harrison, Understanding Antitrust and Its Economic Implications (New York: Matthew Bender & Co., 1994), p. 85. 27 Toshiaki Tokigawa, “The Prospect of Antitrust Law and Policy in the Twenty-First Century: in Reference to the Japanese Antimonopoly Law and Japan Fair Trade Commission”, Washington University Global Studies Law Review, 2002, p. 279. www.legalitas.org www.legalitas.org 17 bahwa jenis kolaborasi seperti kesepakatan kartel dan bid rigging adalah illegal.28 Bahkan, di negara-negara yang tidak memiliki undang-undang persaingan seringkali mengatur tentang penawaran tender secara khusus. Kebanyakan negara memperlakukan tender kolusif lebih ketat daripada perjanjian horisontal lainnya, karena mengandung unsur kecurangan dan berakibat merugikan terhadap pembelanjaan pemerintah dan anggaran negara.29 D. Prosedur Penegakan Hukum dalam Persekongkolan Tender Pemeriksaan perkara persekongkolan tender oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diawali dari adanya laporan (dari masyarakat maupun pelaku usaha lain)30 atau inisiatif31 lembaga ini. Laporan ini didasarkan adanya indikasi terjadinya persekongkolan tender. Adanya indikasi tersebut merupakan dasar dilakukannya pemeriksaan pendahuluan.32 Dalam tahap ini, Majelis Komisi dapat memanggil pelapor dan/atau terlapor untuk dimintai keterangannya. Jika Majelis memiliki dugaan kuat terjadinya persekongkolan tender, pemeriksaan dilanjutkan pada pemeriksaan lanjutan.33 Sepanjang masa pemeriksaan lanjutan, Majelis Komisi dapat memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi persekongkolan tender.34 Putusan dibacakan dalam sidang terbuka yang terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha.35 Apabila tidak terdapat keberatan, putusan Komisi telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan dapat dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.36 28 Ibid., h. 281. 29 Sacker and Lohse, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition, GTZ-Katalis Publishing, 2002, h. 313. 30 Pasal 38 UU Nomor 5 Tahun 1999. 31 Pasal 40 UU Nomor 5 Tahun 1999. 32 Pasal 39 UU Nomor 5 Tahun 1999. 33 Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU Nomor 5 Tahun 1999. 34 Pasal 43 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1999. 35 Pasal 43 ayat (4) UU Nomor 5 Tahun 1999. 36 Pasal 46 UU Nomor 5 Tahun 1999. www.legalitas.org www.legalitas.org 18 Demikian halnya dengan lembaga pengawas persaingan usaha di Jepang yang dipegang oleh JFTC, yakni suatu lembaga administratif independen dan bersifat quasi yudisial. Meskipun tidak memiliki kekuasaan setingkat Menteri, namun JFTC memiliki otoritas paling kuat dalam penegakan hukum anti monopoly di Jepang (the AMA). Tugas lembaga tersebut meliputi penyelidikan terhadap adanya pelanggaran yang dilaporkan masyarakat, menetapkan hukuman denda, sampai dengan penghentian kegiatan yang dianggap melanggar the AMA.37 Putusan KPPU dapat dimintakan keberatan di Pengadilan Negeri. Prosedur pengajuan keberatan ke Pengadilan Negeri dilakukan pelaku usaha selambatlambatnya 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.38 Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri tersebut, pihak yang keberatan dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.39 Demikian pula dengan penegakan hukum antimonopoly di Jepang, putusan JFTC dapat dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi. Jika putusan JFTC dianggap tidak konstitusional atau kurang bukti-bukti, maka pengadilan dapat membatalkan putusan JFTC. Sampai saat ini, dari 34 putusan JFTC yang dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi, 29 putusan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi, 4 putusan dibatalkan dan dikembalikan ke JFTC, satu di antaranya sampai ke Mahkamah Agung Jepang.40 Sampai saat ini di Indonesia terdapat tiga perkara persekongkolan tender ke tingkat pengadilan, bahkan dua di antaranya telah diputuskan oleh Mahkamah Agung, yakni penjualan saham PT Indomobil dan penjualan kapal VLCC milik PT Pertamina (Persero). Perkara pertama, adalah berkaitan dengan penjualan saham PT Indomobil Sukses Indonesia (PT IMSI). Perkara ini berawal dari inisiatif KPPU yang menilai adanya kejanggalan dalam proses tender penjualan saham PT IMSI, antara lain, harga yang dianggap terlalu rendah, jangka waktu pelaksanaan tender yang singkat, jumlah 37 James D. Fry, “Struggling to Teethe: Japan’s Antitrust Enforcement Regime”, Law and Policy in International Business, 2001, p. 835. 38 Pasal 44 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1999. 39 Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1999. 40 James D. Fry, Op. Cit., h. 838. www.legalitas.org www.legalitas.org 19 peserta tender amat terbatas, dan adanya pelanggaran prosedur pelelangan. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 36 (b) dan Pasal 40 UU Nomor 5 Tahun 1999, KPPU berwenang melakukan penelitian dan pemeriksaan tentang dugaan adanya kegiatan usaha atau pelaku usaha, yang dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran Undangundang, tanpa adanya laporan dari masyarakat. Perkara ini melibatkan sepuluh pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999. Tindakan yang dilakukan adalah bahwa mereka melakukan persekongkolan baik secara terang-terangan atau diam-diam. Persekongkolan tersebut terlihat dengan cara menerima keikut-sertaan tiga peserta tender yang merupakan anggota dalam konspirasi, meskipun mengetahui bahwa ketiga peserta tersebut tidak memenuhi persyaratan prosedur penawaran tender (Procedures for the Submission of Bid). Para pelaku usaha yang terlibat dalam konspirasi juga dianggap secara bersama-sama melakukan pelanggaran, berupa tindakan saling menyesuaikan dan atau membandingkan dokumen tender, menciptakan persaingan semu, serta memfasilitasi tindakan untuk memenangkan salah satu peserta sebagai pemenang tender. Dalam perkara ini, KPPU memutuskan adanya pelanggaran atas Pasal 22 UU Anti monopoli dengan menjatuhkan sanksi antara lain melarang beberapa pelaku usaha untuk mengikuti transaksi baru dalam bentuk apapun dengan penyelenggara tender. Selain itu juga menghukum masingmasing pelaku usaha untuk membayar denda dan atau sesuai tingkat pelanggarannya.41 Di tingkat banding, Pengadilan Negeri Jakarta Barat membatalkan Putusan KPPU melalui Putusan Nomor 001/KPPU/PDT.P/2002/ PN.Jkt.Bar. Adapun alasan pengadilan adalah bahwa cakupan undang-undang anti monopoli hanya terbatas pada tender untuk memborong pekerjaan, pengadaan barang atau penyediaan jasa. Oleh karena itu, lazimnya dalam pengertian tender di sini adalah siapa yang dapat 41 Putusan Nomor 03/KPPU-I/2002 tentang Tender Penjualan Saham PT Indomobil Sukses Indonesia, Tbk. (PT IMSI) www.legalitas.org www.legalitas.org 20 mengajukan harga penawaran terendah, maka akan ditunjuk sebagai pemenang. Sedangkan perkara tersebut merupakan penjualan saham dan konversi obligasi Indomobil, dan yang mengajukan penawaran tertinggi adalah salah satu peserta tender, sehingga sudah selayaknya jika perusahaan tersebut ditunjuk sebagai pemenang. Di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung menguatkan Putusan Pengadilan Negeri dengan alasan, bahwa Pengadilan Negeri tidak mempertimbangkan segi formal Putusan KPPU Nomor 03/KPPU-I/2002.42 Adapun segi formal Putusan KPPU adalah penggunaan irah-irah (kepala putusan) “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini mengingat, bahwa berdasarkan Pasal 30 UU Nomor 5 Tahun 1999, KPPU bukan badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970, dan KPPU juga tidak memiliki kewenangan secara khusus dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 serta peraturan lainnya untuk memuat irah-irah tersebut. Oleh karena itu, KPPU dianggap melampaui kewenangannya, sehingga Putusan tersebut mengandung cacat hukum, dan karenanya harus dinyatakan batal demi hukum. Perkara kedua, adalah perkara Thames Jaya, adalah persekongkolan antara panitia tender jasa pengamanan dengan salah satu penawar. Adanya konspirasi di antara panitia dan peserta terlihat dengan tidak dipenuhinya asas keterbukaan, antara lain tidak ada pengumunan tentang pemenang tender, dan tidak terdapat bukti pendaftaran mengikuti pra-kualifikasi oleh penawar tertentu, namun penawar tersebut dinyatakan sebagai pemenang. Atas tindakan tersebut, KPPU Putusan Perkara Nomor 05/KKPU-I/2004, menyatakan bahwa mereka melakukan pelanggaran terhadap Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999, menghukum yang bersangkutan untuk menghentikan kegiatan penyediaan jasa pengamanan, serta membayar denda kepada panitia sebesar satu milyar rupiah. Di tingkat banding, Pengadilan Negeri dalam putusannya Nomor 03/Pdt.KPPU/2004/PN Jak.Sel. menguatkan kembali Putusan KPPU dengan menolak 42 Putusan Perkara Nomor 04/KPPU/2002, JO. NO. 001/KPPU/ PDT.P/2002/PN.JKT www.legalitas.org www.legalitas.org 21 semua permohonan pelaku usaha. Pelaku usaha keberatan atas Putusan Pengadilan Negeri dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang sampai sekarang masih dalam proses pemeriksaan. Perkara ketiga merupakan perkara yang akhir-akhir ini menjadi bahan perbincangan di kalangan para pengamat bisnis adalah penjualan kapal tanker PT Pertamina. Perkara bermula dari penjualan dua unit kapal Tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) milik Pertamina yang mengandung indikasi persekongkolan untuk mengatur pemenang tender. Proses penawaran berawal dari penunjukan Goldman Sachs (Singapura), Pte. sebagai penasihat keuangan oleh Pertamina, tanpa melalui proses tender terbuka, yang sekaligus juga merupakan salah satu pemegang saham di Frontline, Ltd. Dalam proses selanjutnya, Pertamina menyatakan Frontline, Ltd. sebagai pemenang tender, meskipun perusahaan tersebut menawar dengan harga lebih rendah daripada Essar yang merupakan penawar tertinggi, tetapi tidak mempunyai komitmen untuk membayar uang muka sebesar 20%. Penunjukan secara langsung Goldman Sachs sebagai penasihat keuangan dan pengatur dalam divestasi VLCC oleh Pertamina merupakan perlakuan istimewa yang diberikan kepada satu pelaku usaha. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 huruf d yang menyatakan, bahwa “melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu”. Di samping itu, dalam pemeriksaan juga terbukti bahwa terdapat persekongkolan antara Pertamina dengan pelaku usaha yang terlibat dalam penawaran tender, yakni Frontline, Ltd., Goldman Sachs, dan Equinox. Persekongkolan tersebut dilakukan dengan cara terang-terangan maupun diam-diam melalui tindakan penyesuaian dan atau membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan, atau dengan menciptakan persaingan semu dan menyetujui dan memfasilitasi melakukan suatu tindakan meskipun sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, KPPU memutuskan, antara lain, bahwa Pertamina terbukti melanggar Pasal 19 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1999 www.legalitas.org www.legalitas.org 22 dalam hal penunjukan langsung Goldman Sachs (Singapore), Pte. sebagai penasihat keuangan dan pengatur tender. Kedua perusahaan tersebut juga dinyatakan terbukti melanggar Pasal 19 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam hal menerima penawaran ketiga dari Frontline, Ltd. Adapun Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 diterapkan pada PT Pertamina, Goldman Sachs (Singapore) Pte., Frontline, Ltd dan Equinox. Dalam Putusan Nomor 04/KPPU/2005/PN.JKT.PST, Pengadilan menyatakan, antara lain, bahwa Pertamina pada akhirnya menunjuk Frontline, Ltd. sebagai pemenang tender karena Essar tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Pertamina sebagai pemenang tender, khususnya mengenai kewajiban pembayaran uang muka sebesar 20%. Berdasarkan fakta, terungkap Essar menduduki posisi pertama dengan penawaran US$ 183 juta, sedangkan Frontline Ltd. pada peringkat kedua dengan penawaran US$ 175 juta. Adapun OSG menduduki peringkat ketiga dengan penawaran US$ 162 juta. Adapun Goldman Sachs (Singapore), Pte. tidak berkedudukan sebagai pelaku usaha, melainkan hanya sebagai penasihat keuangan dan pengatur tender, sehingga tidak dapat dikenakan Pasal 19 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1999 yang bekerja sama dengan Pertamina memilih pemenang tender. Di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung Indonesia melalui Putusan Nomor 04K/KPPU/2005 menguatkan Putusan KPPU dan membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Adapun alasan Mahkamah Agung menguatkan Putusan KPPU antara lain adalah, bahwa PT Pertamina telah menunjuk langsung Goldman Sachs, Pte. sebagai financial advisor dan arranger adalah bertentangan dengan SK 077 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pertamina/KPS/JOB/T.A.C Bab IV huruf a angka 3 dan Keppres Nomor 18 Tahun 2000 jo. Keppres Nomor 80 Tahun 2003. Alasan lain yang menjadi pertimbangan Mahkamah Agung dalam menguatkan Putusan KPPU adalah, bahwa PT Pertamina dan Goldman Sachs, Pte tidak dibenarkan untuk menerima penawaran optional dari Frontline dengan harga baru yang melebihi pemenang pertama, serta tidak memberi kesempatan kepada www.legalitas.org www.legalitas.org 23 bidder-bidder lain pesaingnya, seperti Essar dan OSG untuk memberikan penawaran baru. Tindakan-tindakan tersebut merupakan pelanggaran atas Pasal 22 dan 19 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1999. E. Sanksi dalam Hukum Anti Monopoli Pelanggaran terhadap Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 dapat dikenakan sanksi administrative maupun hukuman pidana. Sanksi administrative diatur berdasarkan Pasal 47, sedangkan hukuman pidana pokok didasarkan Pasal 48, dan pidana tambahan dalam Pasal 49. Berdasarkan Pasal 47, KPPU memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi administrative terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 22, berupa: 1. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.43 2. Penetapan pembayaran ganti rugi.44 3. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,- dan setinggitingginya Rp.25.000.000.000,-.45 Pelanggaran terhadap Pasal 22 juga dapat dikenakan hukuman pidana pokok berdasarkan Pasal 48 UU Nomor 5 Tahun 1999, berupa: 1. Pidana denda serendah-rendahnya Rp. 5.000.000.000,- dan setinggi-tingginya Rp.25.000.000.000,-, atau pidana kurungan pengganti denda selama 5 bulan.46 2. Pidana denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,- dan setinggi-tingginya Rp. 5.000.000.000,- atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 bulan47, dalam hal pelaku usaha dan/atau menolak menyerahkan alat bukti 43 Pasal 47 ayat (2) butir c UU Nomor 5 Tahun 1999. 44 Pasal 47 ayat (2) butir f UU Nomor 5 Tahun 1999. 45 Pasal 47 ayat (2) butir g UU Nomor 5 Tahun 1999. 46 Pasal 48 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1999. 47 Pasal 48 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1999. www.legalitas.org www.legalitas.org 24 yang diperlukan dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan atau menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan (2). Di samping pidana pokok, pelanggaran terhadap Pasal 22 juga dapat dijatuhi pidana tambahan sesuai yang diatur dalam Pasal 49 UU Nomor 5 Tahun 1999 sebagai berikut: 1. pencabutan izin usaha, atau 2. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 tahun dan selama-lamanya 5 tahun, atau 3. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain. KPPU memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administrative terhadap pelaku usaha, namun tidak memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi administrative kepada pihak lain yang bukan pelaku usaha. Pihak lain yang bukan pelaku usaha adalah penyelenggara tender dari instransi pemerintah, yang kegiatannya berkaitan dengan kepentingan negara dan atau masyarakat umum dan bukan untuk mencari keuntungan ekonomi. Dalam hal ini, KPPU hanya dapat memberikan rekomendasi kepada atasan dari ketua panitia dan atau penyelenggara tender, untuk melakukan pemeriksaan terhadap panitia dan penggunaan barang yang bersangkutan, serta menjatuhkan sanksi administratif pada mereka. Rekomendasi KPPU merupakan dasar bagi para atasan ketua panitia tender untuk melakukan pemeriksaan sehubungan dengan adanya indikasi pelanggaran terhadap Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000, Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, dan kelaziman pelaksanaan tender yang sehat. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 menetapkan bahwa pengadaan barang dan atau jasa pemerintah harus memenuhi www.legalitas.org www.legalitas.org 25 antara lain prinsip terbuka dan bersaing, serta adil dan tidak diskriminatif. Berdasarkan prinsip terbuka dan bersaing, pengadaan barang dan atau jasa harus terbuka bagi semua penyedia barang dan jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan sehat, berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas serta transparan.48 Sedangkan sanksi pidana dapat diterapkan kepada pelaku usaha maupun bukan pelaku usaha yang melakukan persekongkolan tender. Namun demikian, hanya sanksi pidana pokok dan sanksi pidana tambahan berupa penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain, yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha maupun bukan pelaku usaha yang melakukan persekongkolan tender.49 Sedangkan sanksi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan larangan menduduki jabatan Direksi atau Komisaris sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun, hanya dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha yang melakukan persekongkolan tender.50 Kegiatan persekongkolan tender yang mengandung dua sifat pelanggaran hukum membawa konsekuensi penjatuhan sanksi administratif oleh KPPU, tidak menghapuskan sifat pidana persekongkolan tender. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penjatuhan sanksi administrative dan sanksi pidana bersifat alternative bagi pelaku usaha. Dengan perkataan lain, penjatuhan sanksi administratif dan sanksi pidana dapat dilakukan terhadap setiap pelaku usaha yang terbukti melakukan persekongkolan tender. Hal yang sama terjadi pula di Jepang dalam penerapan sanksi berdasarkan the AMA di Jepang, yang secara umum mengatur 3 jenis hukuman guna mencegah pelanggaran terhadap the AMA. Pertama, adalah tindakan administrative, seperti denda dan penghentian kegiatan atas kartel. Kedua adalah hukuman pidana, dan ketiga adalah penggantian kerugian. Denda administratif dan hukuman pidana 48 Pasal 3 huruf c Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan atau Jasa Pemerintah. 49 Lihat Pasal 48 ayat (2) dan Pasal 49 huruf c UU Nomor 5 Tahun 1999. 50 Pasal 49 huruf a dan b UU Nomor 5 Tahun 1999. www.legalitas.org www.legalitas.org 26 merupakan sarana yang utama untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap the AMA. Kedua jenis sanksi tersebut seringkali diterapkan terhadap aktivitas yang bersifat anti persaingan, seperti penetapan harga (price fixing), boikot (group boycotting), dan bid rigging. Bahkan JFTC menjatuhkan denda dua kali lipat di tahun 1990, dari 1,5% menjadi 3% dan denda sebesar $US 7 juta.51 Namun demikian, the AMA menerapkan denda administrative dan hukuman pidana sebagai sanksi utama untuk melawan kartel dan bid rigging.52 Denda administratif diterapkan oleh JFTC untuk menghukum perusahaan-perusahaan yang melakukan hambatan perdagangan secara tidak masuk akal, yang dapat mempengaruhi harga atas produk dan jasa. Denda administratif dihitung dengan melipat-gandakan jumlah/harga penjualan atas produk dan atau jasa selama masa pelanggaran dengan fixed rate yang didasarkan pada jenis industri. Jumlah maksimal denda tersebut tidak melebihi 7 milyar Yen (kira-kira $US 60 juta).53 Di samping denda administratif, hukuman pidana dapat dikenakan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan tentang unreasonable restraints of trade. Jenis hukuman ini mulai diberlakukan oleh JFTC pada tahun 1990 yang menerapkan tanggung jawab kriminal terhadap pelaku usaha, terutama dalam kasus persekongkolan tender atas kontrak-kontrak publik yang menjadi penyebab resesi ekonomi dan korupsi di kalangan pemerintah.54 Para hakim memiliki kewenangan untuk menentukan tingkatan pidana, salah satu contoh adalah kasus the Blinding Seal.55 Hakim Pengadilan Tinggi Tokyo mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan dari perilaku yang terkait sebagai hal-hal yang 51 David L. Richter, “Legal Barriers to U. S. Firm Participation in the Japanese Construction Industry”, University of Pennsylvania Journal of International Business Law, 1991. 52 Shigeki Kusunoki, “Shaping an Anti-Monopoly Law Sanction Regime Against Cartels or Bid Collusion: a Perspective on Japan’s Choice”, University of Detroit Mercy Law Review, 2002, p. 401. Lihat pula Donald I. Baker, “The Use of Criminal Law Remedies to Deter and Punish Cartels and Bid Rigging”, George Washington Law Review, 2001, p. 695. 53 Ibid., h. 403. 54 Salil Kumar Mehra, “Politics and Antitrust in Japan”, Virginia Journal of International Law, 2002, p. 315. 55 46-3 Kokeishu (High Court Criminal Report) 322 (Tokyo High Court, decided on Dec. 14, 1993). www.legalitas.org www.legalitas.org 27 dipertimbangkan dalam menentukan tingkat hukuman.56 JFTC memiliki kebijakan yang sangat luas, karena mereka juga memiliki kewenangan untuk menyampaikan gugatan atau tuntutan pelaku usaha yang bersangkutan.57 Salah satu alasan penjatuhan dua jenis hukuman terhadap aktivitas bid rigging secara kumulatif disebabkan karena kasus tersebut mendominasi pelanggaran hukum pidana di Jepang. Sebagai contoh, dari 6 kasus pidana, 5 di antaranya termasuk bid rigging. Dari 37 kasus yang direkomendasikan oleh JFTC sejak tahun 1998, 31 di antaranya adalah kasus bid rigging, atau dari 24 juta yen yang dikumpulkan dalam penerapan denda administrative, 64% di antaranya berasal dari kasus bid rigging.58 E. Penutup Persekongkolan penawaran tender merupakan tindakan di kalangan para pelaku usaha yang mengakibatkan hambatan dalam proses persaingan yang sehat serta menimbulkan kerugian secara material. Bahkan di beberapa negara, tindakan tersebut diakui sebagai salah satu penyebab utama korupsi dan manipulasi dalam kegiatan pembangunan, sehingga lembaga pegawas persaingan di beberapa negara di samping memiliki otoritas menjatuhkan sanksi administratif juga sanksi pidana bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut secara kumulatif. Mengingat dampak yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut sangat signifikan terhadap pembangunan nasional, pemerintah berupaya membentuk peraturan hukum yang bertujuan dilaksanakannya pengadaan barang dan/atau jasa dengan efektif dan efisien, dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, dan adil, antara lain melalui Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan 56 Sebagai contoh, misalnya apakah perusahaan tersebut merupakan perusahaan terkemuka di bidangnya, yang memiliki kewajiban untuk mematuhi pada the AMA, atau kewajiban untuk menerapkan program kepatuhan atau melatih karyawannya secara ketat setelah ditemukan indikasi pelanggaran terhadap the AMA. Ibid. 57 Business Use Stretch Film Case 46-2 Kokeishu (High Court Criminal Report) 108 (Tokyo High Court, decided on May 21, 1993). 58 Yoshiro Mira and J. Mark Ramseyer, “Toward a Theory of Jurisdictional Competition: the Case of the Japanese FTC”, Journal of Competition Law & Economics, June 2005, p. 264. www.legalitas.org www.legalitas.org 28 Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (dengan beberapa peraturan peubahannya). Pengaturan pengadaan barang dan/atau jasa ini juga dilakukan secara terintegrasi dengan peraturan hukum lainnya, seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal 22 sampai dengan 24 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang persekongkolan penawaran tender. Dibentuknya pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam tender berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999, akan menjadi dasar acuan bagi para pelaku usaha, baik swasta maupun badan usaha milik negara, serta KPPU sendiri, guna melakukan tindakan preventif atas terjadinya persekongkolan yang bersifat horisontal maupun vertikal. Di samping pembentukan aturan hukum yang bertujuan mencegah dilakukan persekongkolan, keberadaan lembaga pengawas yang memiliki integritas kuat sangat menentukan ditegakkannya peraturan tersebut. Salah satu lembaga pengawas tersebut adalah KPPU, yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dan menjatuhkan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan tentang larangan persekongkolan penawaran tender. Pedoman atas larangan persekongkolan tender yang dibentuk oleh KPPU dimaksud untuk memperjelas pengaturan tersebut, sehingga baik pelaku usaha maupun panitia pelaksana tender dapat menggunakannya sebagai petunjuk untuk menghindarkan diri dari persekongkolan di kalangan mereka. Adanya keharusan bagi lembaga pengawas untuk membuktikan semua unsur yang terdapat dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 akan mempersulit KPPU dalam melakukan penyelidikan terhadap persekongkolan tender. Unsur yang dirasakan paling memberatkan tugas KPPU adalah penilaian atas terjadinya “persaingan usaha tidak sehat”, karena dalam hal ini mereka harus membuktikan bahwa persekongkolan tersebut “dapat mengakibatkan” persaingan usaha tidak sehat (pendekatan rule of reason). Unsur ini dapat dianggap sebagai proses pembuktian yang berlebihan, sehingga kadangkala menjadi bumerang bagi keputusan KPPU sendiri, karena kalimat “dapat mengakibatkan” merupakan kata-kata bersayap yang memiliki beberapa makna. Di banyak negara, lembaga pengawas persaingan cukup membuktikan terjadinya kesepakatan kolusif, karena hampir semua kesepakatan www.legalitas.org www.legalitas.org 29 kolusif selalu berakibat merugikan dan/atau meghambat persaingan usaha (pendekatan per se illegal). www.legalitas.org www.legalitas.org 30 DAFTAR PUSTAKA 46-3 Kokeishu (High Court Criminal Report) 322 (Tokyo High Court, decided on Dec. 14, 1993). Baker, Donald I. “The Use of Criminal Law Remedies to Deter and Punish Cartels and Bid Rigging.” George Washington Law Review, 2001. Black, Henry Cambell. Black’s Law Dictionary (With Pronunciations). St. Paul Minnesota: West Publishing, Co., 5th ed., 1979. Business Use Stretch Film Case 46-2 Kokeishu (High Court Criminal Report) 108 (Tokyo High Court, decided on May 21, 1993). Connolly, Robert E. “Do Schemes to Rig Bids and/or Fix Prices Constitute Fraud?”. Practising Law Institute, 1992. Daniel R. Karon, “Price Fixing, Market Allocation and Bid Rigging Conspiracies: How Counsel Your Clients to Detect Violations and Inform You of Potential Claims”, American Journal of Trial Advocacy, 2001. Fry, James D. “Struggling to Teethe: Japan’s Antitrust Enforcement Regime”. Law and Policy in International Business, 2001. Gray, Jon R. “Open-Competitive Bidding in Japan’s Public Works Sector and Foreign Contractor Access: Recent Reforms are Unlikely to Meet Expectation”, Columbia Journal of Asian Law, 1996. www.legalitas.org www.legalitas.org 31 Haberbush, Kara L. “Limiting the Government’s Exposure to Bid Rigging Schemes, a Critical Look at the Sealed Bidding Regime”. Public Contract Law Journal, 2000. Iyori, Hiroshi. “A Comparison of U.S.- Japan Antitrust Law: Looking at The International Harmonization of Competition Law.” Pacific Rim Law & Policy Journal, 1995. Judgment of Feb. 9, 1956 (Nihon Sekiyu K.K. v. K-osei Torihiki I’inkai), Tokyo K-osai (High Court) 7 Gy-osh-u 2949. Joshua, Julian. “Breaking Up the Hard Core: The Prospects for the Proposed Cartel Offence”, Criminal Law Review, 2002. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Keputusan Presiden RI Nomor 61 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Khemani, R. Shyam, et.al. A Framewok for the Design and Implementation of Competition Law and Policy. Washington DC. And Paris: The World Bank and Organization for Economic Co-operation and Development=OECD, 1999. Kusunoki, Shigeki. “Shaping an Anti-Monopoly Law Sanction Regime Against Cartels or Bid Collusion: a Perspective on Japan’s Choice.” University of Detroit Mercy Law Review, 2002. www.legalitas.org www.legalitas.org 32 Mehra, Salil Kumar. “Politics and Antitrust in Japan.” Virginia Journal of International Law, 2002. Mira, Yoshiro and J. Mark Ramseyer, “Toward a Theory of Jurisdictional Competition: the Case of the Japanese FTC.” Journal of Competition Law & Economics, June 2005. Okatani, Naoki. “Regulations on Bid Rigging in Japan, The United States and Europe”. Pacific Rim Law & Policy Journal, March, 1995. Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender oleh KPPU, 2005. Peraturan Presiden RI Nomor 32 Tahun 2005 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Presiden RI Nomor 70 Tahun 2005 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Presiden RI Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. “Persekongkolan Tender Pemerintah Kian Parah”. Suara Karya, 17 Oktober 2001. Putusan Nomor 01/KPPU-L/2000 tentang Persekongkolan Penawaran Tender Pengadaan Pipa Casing dan Tubing. www.legalitas.org www.legalitas.org 33 Putusan Nomor 7/KPPU-LI/2001 tentang Penawaran Tender Pengadaan Sapi Bakalan Kereman. Putusan Nomor 03/KPPU-I/2002 tentang Tender Penjualan Saham PT Indomobil Sukses Indonesia, Tbk. (PT IMSI) Putusan Perkara Nomor 06/KPPU-I/2005 tentang Persekongkolan Tender Proyek Multi Years di Riau. Putusan Perkara Nomor 04/KPPU/2002, JO. NO. 001/KPPU/ PDT.P/2002/PN.JKT Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 04K/KPPU/2005 tentang Penjualan VLCC Richter, David L. “Legal Barriers to U.S. Firm Participation in the Japanese Construction Industry.” University of Pennsylvania Journal of International Business Law, 1991. Sacker dan Lohse, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition. GTZ-Katalis Publishing, 2000. Sakda Thanicul, Sakda. “Competition Law in Thailand: a Preliminary Analysis”, Washington University Global Studies Law Review, 2002. Sullivan, E.Thomas dan Jeffrey L. Harrison. Understanding Antitrust and Its Economic Implications. New York: Matthew Bender & Co., 1994. Takeshima, Kazuhiko (Chairman Fair Trade Commission of Japan). The Lessons from Experience of Antimonopoly Act in Japan and the Future of Competition Laws and Policies in East Asia. Disajikan dalam The 2nd East Asia www.legalitas.org www.legalitas.org 34 Conference on Competition Law and Policie (Toward Effective Implementation of Competition Policies in East Asia), Bogor, 3-4 Mei 2005. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1996. Tokigawa, Toshiaki. “The Prospect of Antitrust Law and Policy in the Twenty-First Century: in Reference to the Japanese Antimonopoly Law and Japan Fair Trade Commission”, Washington University Global Studies Law Review, 2002.
Read more

CATATAN RUU KUHP

BEBERAPA CATATAN TENTANG RUU-KUHP

MULADI ( Ketua Panitia Penyusunan RUU KUHP )

Pembaharuanhukum pidana nasional ( criminal law reform ) yang sudah dimulai sejak tahun1963 sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghasilkan suatu KUHP yang“tambal sulam” ( baik dengan pendekatan evolusioner, global maupunkompromi antara keduanya ), melainkan diharapkan terbentuknya KUHP nasionalyang berkepribadian Indonesia yang sangat menghormati nilai-nilai agamis danadat, bersifat modern dan sesuai pula dengan nilai-nilai, standar dan asasserta kecenderungan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab didunia. Dalamperkembangannya, pemikiran tentang latar belakang dan proses pembaharuan KUHPtidak hanya didasari keinginan untuk menggantikan karakteristik kolonial dariKUHP yang merupakan “copy” dari KUHP Belanda 1886, namun dilandasipula dengan semangat demokratisasi hukum dalam arti luas yang inginmempertimbangkan baik aspirasi-aspirasi infrastruktural, suprastruktural,kepakaran dan aspirasi internasional. Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa,pengaruh kolonial dalam hukum pidana terjadi secara sistematis melalui asaskonkordansi, doktrin, text-book dan jurisprudensi pengadilan Belanda. Sepanjangberkaitan dengan aspirasi internasional, dalam hal ini bisa berbentuk standar,asas maupun nilai-nilai dan norma, baik yang masih bersifat “softlaw” pada tahap-tahap “enunctiative, declarative andprescriptive” maupun dalam bentuk “hard law” pada tahap-tahap“enforcement and criminalization”. Usahapembaharuan KUHP disamping ditujukan terhadap pembaharuan dan peninjauankembali terhadap 3 (tiga) permasalahan utama dalam hukum pidana yaitu perumusanperbuatan yang dilarang (criminal act ), perumusan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility ) dan perumusan sanksi baik berupa pidana (punishment )maupun tindakan ( treatment ), juga berusaha secara maksimal memberikanlandasan filosofis terhadap hakekat KUHP, sehingga lebih bermakna dari sisinilai-nilai kemanusiaan ( humanitarian values ) baik yang berkaitan denganpelaku tindak pidana ( offender ) maupun korban ( victim ). Perhatian kepada masalah-masalah HAM antara lain berkaitan dengan persoalan : - “derogable”dan “non-derogable rights” - pemahamanbetapa pentingnya asas legalitas - asasnon diskriminasi - hakuntuk hidup dan bebas dari penyiksaan ( pidana mati bersyarat ) - prinsip“fair trial” ( pengutamaan keadilan ) - pengaturanterhadap “juvenile justice” ( Pidana dan Tindakan bagi anak ) - korbankejahatan - standarperlakuan terhadap pelaku - dll.

Khususmengenai korban kejahatan, perancang RUU sangat memperhatikan perkembanganViktimologi, mulai dari munculnya “penal victimology/interactionistvictimology” yang melihat korban kejahatan sebagai partisipan dalamkejahatan ( victim as co-precipitator of crime ), kemudian tumbuhnya“general victimology/assistance-oriented victimology” yangmengembangkan pemikiran bahwa “victimity” dapat dikurangi denganpengembangan bantuan terhadap korban ( victims’ clinic ), selanjutnyaperkembangan konsep gabungan antara dua pendekatan diatas, sampai denganmunculnya issue sentral perhatian viktimologi terhadap korban pelanggaran HAM (abuse of power ) yang memberikan inspirasi terbentuknya UN GeneralAssembly”s 1987 Declaration tentang Korban Kejahatan dan PenyalahgunaanKekuasaan. Prof.Dr. Barda Nawawi Arief, SH (UNDIP) bahkan menyatakan bahwa asas-asas dansystem hukum pidana nasional dalam RUU KUHP disusun berdasarkan ‘idekeseimbangan yang mencakup : keseimbangan monodualistik antara kepentinganumum/masyarakat dan kepentingan individu/perseorangan; keseimbangan antara ideperlindungan/kepentingan korban dan ide individualisasi pidana; keseimbanganantara unsur/faktor obyektif (perbuatan/lahiriah) dan subyektif (orangbatiniah/sikap batin) (ide ‘daad-dader strafrecht); keseimbangan antarakriteria formal dan material; keseimbangan antara kepastian hukum,kelenturan/elastisitas/fleksibilitas dan keadilan; dan keseimbangan nilai-nilainasional dan nilai-nilai global/internasional/universal. Sehubungan dengan hal-hal di atas kedudukan Buku I KUHP ( Ketentuan Umum )sangat strategis, karena Buku I ini memuat asas-asas hukum ( legal principles )yang berlaku baik ke dalam maupun ke luar KUHP yang menampung pelbagai aspirasidi atas, sekaligus merupakan nilai-nilai perekat (adhesive) dan pemersatu(integrasionist) system hukum pidana nasional yang tersebar dan berjauhan baikdi dalam maupun di luar KUHP, termasuk yang tercantum dalam hukumadministrative dan peraturan daerah. Dari asas-asas ini terpancar (dispersed)pengaturan suatu lapangan hukum pidana yang konsisten dan ‘solid’. Perkembanganhukum pidana di luar KUHP kiranya sulit dihindarkan, mengingatkekhususan-kekhususan yang terjadi baik yang berkaitan dengan pelaku, hukumacaranya, keterkaitan dengan hukum administrasi serta perkembangan hukum pidanainternasional ( international criminal law). Yang terakhir ini antara lainadalah praktek yang terjadi pada Tribunal Pidana Internasional ad hoc yangmemberlakukan hukum pidana secara retroaktif dalam kejahatan-kejahataninternasional yang berat seperti kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againsthumanity), genosida dan kejahatan perang (war crimes), yang juga berpengaruhterhadap hukum pidana nasional (Pengadilan HAM ad hoc No.26/2000).

Khusus berkaitan dengansasaran dan target pembicaraan hari ini yang terfokus pada Buku I Bab I dan BabII perlu digarisbawahi hal-hal sebagai berikut :

(1) Pengakuan berlakunya ajaransifat melawan hukum formil dan materiil baik dalam fungsinya yang positifmaupun negatif ( Pasal 1 RUU ayat 1 dan ayat 4 ); Hal ini berarti bahwaperbuatan identik dengan melawan hukum dan dapat dipidana, tidak hanyadidasarkan atas UU ( sumber hukum formal ) ( asas legalitas : “nullumcrimen nulla poena sine lege” ) tetapi kemungkinan pula atas dasar hukumtidak tertulis atau hukum yang hidup ( the living law ), bertentangan denganhukum adat, asas kepatutan dan sebagainya, demi keadilan; Hal ini lebih luasdari pada perumusan Pasal 15 ayat (1) RUU yang hanya menegaskan berlakunya ajaransifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif; Perumusan inimenimbulkan perdebatan mengingat fungsi asas legalitas ( asas non –retroaktif ) yang tidak membolehkan adanya perumusan tindak pidana yang kurangjelas ( syarat ‘lex certa’ );

(2) Pasal 16 RUU banyak menimbulkanperdebatan, karena penekanan keadilan di atas kepastian hukum. Dalam kondisisystem peradilan pidana yang sering dipelesetkan sebagai “criminalinjustice system” perumusan ini dianggap sangat berisiko untuk memberikanpembenaran pada hakim untuk menyimpang dari kepastian hukum; Keadilanseharusnya mengandung elemen tidak memihak, jujur dan adil, persamaan perlakuandan kepatutan ( impartiality, fairness, equitable, appropriateness ) atas dasarnilai-nilai yang berkembang dan diresapi oleh masyarakat;

(3) Pasal 17 ayat (2) lebih baikdari pada Pasal 53 KUHP, karena mendefinisikan permulaan pelaksanaan ( beginvan uitvoering ) lebih tegas, yakni merupakan gabungan antara teori obyektifberupa kedekatan dengan terjadinya tindak pidana dan teori subyektif yangmenekankan kepastian bahwa perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atauditujukan pada terjadinya tindak pidana; Hal ini penting karena perbatasannyadengan perbuatan persiapan ( voorbereiding ) sangat tipis, bahkan seringdisebut sebagai “grey area”.

(4) Pasal 32 ayat (1) menegaskanberlakunya asas tiada pidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ) atauasas “mens rea” sebagai syarat pemidanaan; Pada ayat (2) pasal yangsama diatur asas “vicarious liability”, sedangkan ayat (3) mengaturasas “strict liability” apabila ditentukan oleh undang-undang;(Penjelasan Pasal 32 ayat (2) dan ayat (3) terbalik);

(5) Pemisahan antara alasan pembenardan alasan pemaaf penting karena alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnyaperbuatan, sedangkan alasan pemaaf menghapuskan kesalahan. Dengan demikianterdapat penegasan berlakunya pendekatan dualistis, sebagaimana yang terjadipada system Anglo Saxon yang membedakan “actus reus” dan“mens rea”.

(6) Pasal44 s/d 49 mengatur tentang “corporate criminal liability”.Dimasukkannya hal ini dalam Buku I berarti bahwa bentuk pertanggungjawabanpidana terhadap korporasi berlaku umum untuk semua delik, sehingga dengandemikian dapat meniadakan pelbagai perkembangan yang terjadi di luar KUHPselama ini, yang bersifat cenderung bersifat selektif. Pelbagai perumusan yangada menunjukkan bahwa sistem yang digunakan didasarkan atas Teori Identifikasi( Identification Theory ). Atas dasar teori ini, maka semua tindakan atautindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang dapat diidentifikasikandengan organisasi atau mereka yang disebut “who constitute its directingmind and will” yang memungkinkan dipertanggungjawabkannya korporasi. Jadibukan atas dasar “vicarious liability”. Hal ini dapat disimpulkandari Pasal 47 RUU yang menyatakan bahwa “Pertanggungjawaban pidanapengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsionaldalam struktur organisasi korporasi”. Yang masih perlu diatur adalahpedoman kapan korporasi bisa dipertanggungjawabkan. Apa yang diatur dalamCouncil of Europe Criminal Law Convention on Corruption (1999) dapat dijadikanpedoman. Pada Pasal Article 18 dinyatakan bahwa : “……….. that legal persons can be held liable for thecriminal offences ……. Committed for their benefit by any naturalperson, acting either individually or as part of an organ of the legal person,who has a leading position within the legal person, based on : - apower of representation of the legal person; or - anauthority to decisions on behalf of the legal person; or

- anauthority to exercise control within the legal person; as well as forinvolvement of such a natural person as accessory or instigator in theabove-mentioned offences”.

Hanyasaja perlu dicatat bahwa pengertian korporasi dalam RUU lebih luas yaitu“kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan, baik merupakanbadan hukum maupun bukan badan hukum” ( Pasal 162 RUU ).

Pasal48 RUU merupakan “ warning” agar pertanggungjawaban korporasiditerapkan sebagai “ultimum remedium” mengingat dampaknya yang luasterhadap buruh, pemegang saham, konsumen, Negara sebagai pemungut pajak dansebagainya.

BEBERAPA CATATAN TENTANG RUU-KUHP

MULADI ( Ketua Panitia Penyusunan RUU KUHP )

Pembaharuanhukum pidana nasional ( criminal law reform ) yang sudah dimulai sejak tahun1963 sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghasilkan suatu KUHP yang“tambal sulam” ( baik dengan pendekatan evolusioner, global maupunkompromi antara keduanya ), melainkan diharapkan terbentuknya KUHP nasionalyang berkepribadian Indonesia yang sangat menghormati nilai-nilai agamis danadat, bersifat modern dan sesuai pula dengan nilai-nilai, standar dan asasserta kecenderungan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab didunia. Dalamperkembangannya, pemikiran tentang latar belakang dan proses pembaharuan KUHPtidak hanya didasari keinginan untuk menggantikan karakteristik kolonial dariKUHP yang merupakan “copy” dari KUHP Belanda 1886, namun dilandasipula dengan semangat demokratisasi hukum dalam arti luas yang inginmempertimbangkan baik aspirasi-aspirasi infrastruktural, suprastruktural,kepakaran dan aspirasi internasional. Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa,pengaruh kolonial dalam hukum pidana terjadi secara sistematis melalui asaskonkordansi, doktrin, text-book dan jurisprudensi pengadilan Belanda. Sepanjangberkaitan dengan aspirasi internasional, dalam hal ini bisa berbentuk standar,asas maupun nilai-nilai dan norma, baik yang masih bersifat “softlaw” pada tahap-tahap “enunctiative, declarative andprescriptive” maupun dalam bentuk “hard law” pada tahap-tahap“enforcement and criminalization”. Usahapembaharuan KUHP disamping ditujukan terhadap pembaharuan dan peninjauankembali terhadap 3 (tiga) permasalahan utama dalam hukum pidana yaitu perumusanperbuatan yang dilarang (criminal act ), perumusan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility ) dan perumusan sanksi baik berupa pidana (punishment )maupun tindakan ( treatment ), juga berusaha secara maksimal memberikanlandasan filosofis terhadap hakekat KUHP, sehingga lebih bermakna dari sisinilai-nilai kemanusiaan ( humanitarian values ) baik yang berkaitan denganpelaku tindak pidana ( offender ) maupun korban ( victim ). Perhatian kepada masalah-masalah HAM antara lain berkaitan dengan persoalan : - “derogable”dan “non-derogable rights” - pemahamanbetapa pentingnya asas legalitas - asasnon diskriminasi - hakuntuk hidup dan bebas dari penyiksaan ( pidana mati bersyarat ) - prinsip“fair trial” ( pengutamaan keadilan ) - pengaturanterhadap “juvenile justice” ( Pidana dan Tindakan bagi anak ) - korbankejahatan - standarperlakuan terhadap pelaku - dll.

Khususmengenai korban kejahatan, perancang RUU sangat memperhatikan perkembanganViktimologi, mulai dari munculnya “penal victimology/interactionistvictimology” yang melihat korban kejahatan sebagai partisipan dalamkejahatan ( victim as co-precipitator of crime ), kemudian tumbuhnya“general victimology/assistance-oriented victimology” yangmengembangkan pemikiran bahwa “victimity” dapat dikurangi denganpengembangan bantuan terhadap korban ( victims’ clinic ), selanjutnyaperkembangan konsep gabungan antara dua pendekatan diatas, sampai denganmunculnya issue sentral perhatian viktimologi terhadap korban pelanggaran HAM (abuse of power ) yang memberikan inspirasi terbentuknya UN GeneralAssembly”s 1987 Declaration tentang Korban Kejahatan dan PenyalahgunaanKekuasaan. Prof.Dr. Barda Nawawi Arief, SH (UNDIP) bahkan menyatakan bahwa asas-asas dansystem hukum pidana nasional dalam RUU KUHP disusun berdasarkan ‘idekeseimbangan yang mencakup : keseimbangan monodualistik antara kepentinganumum/masyarakat dan kepentingan individu/perseorangan; keseimbangan antara ideperlindungan/kepentingan korban dan ide individualisasi pidana; keseimbanganantara unsur/faktor obyektif (perbuatan/lahiriah) dan subyektif (orangbatiniah/sikap batin) (ide ‘daad-dader strafrecht); keseimbangan antarakriteria formal dan material; keseimbangan antara kepastian hukum,kelenturan/elastisitas/fleksibilitas dan keadilan; dan keseimbangan nilai-nilainasional dan nilai-nilai global/internasional/universal. Sehubungan dengan hal-hal di atas kedudukan Buku I KUHP ( Ketentuan Umum )sangat strategis, karena Buku I ini memuat asas-asas hukum ( legal principles )yang berlaku baik ke dalam maupun ke luar KUHP yang menampung pelbagai aspirasidi atas, sekaligus merupakan nilai-nilai perekat (adhesive) dan pemersatu(integrasionist) system hukum pidana nasional yang tersebar dan berjauhan baikdi dalam maupun di luar KUHP, termasuk yang tercantum dalam hukumadministrative dan peraturan daerah. Dari asas-asas ini terpancar (dispersed)pengaturan suatu lapangan hukum pidana yang konsisten dan ‘solid’. Perkembanganhukum pidana di luar KUHP kiranya sulit dihindarkan, mengingatkekhususan-kekhususan yang terjadi baik yang berkaitan dengan pelaku, hukumacaranya, keterkaitan dengan hukum administrasi serta perkembangan hukum pidanainternasional ( international criminal law). Yang terakhir ini antara lainadalah praktek yang terjadi pada Tribunal Pidana Internasional ad hoc yangmemberlakukan hukum pidana secara retroaktif dalam kejahatan-kejahataninternasional yang berat seperti kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againsthumanity), genosida dan kejahatan perang (war crimes), yang juga berpengaruhterhadap hukum pidana nasional (Pengadilan HAM ad hoc No.26/2000).

Khusus berkaitan dengansasaran dan target pembicaraan hari ini yang terfokus pada Buku I Bab I dan BabII perlu digarisbawahi hal-hal sebagai berikut :

(1) Pengakuan berlakunya ajaransifat melawan hukum formil dan materiil baik dalam fungsinya yang positifmaupun negatif ( Pasal 1 RUU ayat 1 dan ayat 4 ); Hal ini berarti bahwaperbuatan identik dengan melawan hukum dan dapat dipidana, tidak hanyadidasarkan atas UU ( sumber hukum formal ) ( asas legalitas : “nullumcrimen nulla poena sine lege” ) tetapi kemungkinan pula atas dasar hukumtidak tertulis atau hukum yang hidup ( the living law ), bertentangan denganhukum adat, asas kepatutan dan sebagainya, demi keadilan; Hal ini lebih luasdari pada perumusan Pasal 15 ayat (1) RUU yang hanya menegaskan berlakunya ajaransifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif; Perumusan inimenimbulkan perdebatan mengingat fungsi asas legalitas ( asas non –retroaktif ) yang tidak membolehkan adanya perumusan tindak pidana yang kurangjelas ( syarat ‘lex certa’ );

(2) Pasal 16 RUU banyak menimbulkanperdebatan, karena penekanan keadilan di atas kepastian hukum. Dalam kondisisystem peradilan pidana yang sering dipelesetkan sebagai “criminalinjustice system” perumusan ini dianggap sangat berisiko untuk memberikanpembenaran pada hakim untuk menyimpang dari kepastian hukum; Keadilanseharusnya mengandung elemen tidak memihak, jujur dan adil, persamaan perlakuandan kepatutan ( impartiality, fairness, equitable, appropriateness ) atas dasarnilai-nilai yang berkembang dan diresapi oleh masyarakat;

(3) Pasal 17 ayat (2) lebih baikdari pada Pasal 53 KUHP, karena mendefinisikan permulaan pelaksanaan ( beginvan uitvoering ) lebih tegas, yakni merupakan gabungan antara teori obyektifberupa kedekatan dengan terjadinya tindak pidana dan teori subyektif yangmenekankan kepastian bahwa perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atauditujukan pada terjadinya tindak pidana; Hal ini penting karena perbatasannyadengan perbuatan persiapan ( voorbereiding ) sangat tipis, bahkan seringdisebut sebagai “grey area”.

(4) Pasal 32 ayat (1) menegaskanberlakunya asas tiada pidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ) atauasas “mens rea” sebagai syarat pemidanaan; Pada ayat (2) pasal yangsama diatur asas “vicarious liability”, sedangkan ayat (3) mengaturasas “strict liability” apabila ditentukan oleh undang-undang;(Penjelasan Pasal 32 ayat (2) dan ayat (3) terbalik);

(5) Pemisahan antara alasan pembenardan alasan pemaaf penting karena alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnyaperbuatan, sedangkan alasan pemaaf menghapuskan kesalahan. Dengan demikianterdapat penegasan berlakunya pendekatan dualistis, sebagaimana yang terjadipada system Anglo Saxon yang membedakan “actus reus” dan“mens rea”.

(6) Pasal44 s/d 49 mengatur tentang “corporate criminal liability”.Dimasukkannya hal ini dalam Buku I berarti bahwa bentuk pertanggungjawabanpidana terhadap korporasi berlaku umum untuk semua delik, sehingga dengandemikian dapat meniadakan pelbagai perkembangan yang terjadi di luar KUHPselama ini, yang bersifat cenderung bersifat selektif. Pelbagai perumusan yangada menunjukkan bahwa sistem yang digunakan didasarkan atas Teori Identifikasi( Identification Theory ). Atas dasar teori ini, maka semua tindakan atautindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang dapat diidentifikasikandengan organisasi atau mereka yang disebut “who constitute its directingmind and will” yang memungkinkan dipertanggungjawabkannya korporasi. Jadibukan atas dasar “vicarious liability”. Hal ini dapat disimpulkandari Pasal 47 RUU yang menyatakan bahwa “Pertanggungjawaban pidanapengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsionaldalam struktur organisasi korporasi”. Yang masih perlu diatur adalahpedoman kapan korporasi bisa dipertanggungjawabkan. Apa yang diatur dalamCouncil of Europe Criminal Law Convention on Corruption (1999) dapat dijadikanpedoman. Pada Pasal Article 18 dinyatakan bahwa : “……….. that legal persons can be held liable for thecriminal offences ……. Committed for their benefit by any naturalperson, acting either individually or as part of an organ of the legal person,who has a leading position within the legal person, based on : - apower of representation of the legal person; or - anauthority to decisions on behalf of the legal person; or

- anauthority to exercise control within the legal person; as well as forinvolvement of such a natural person as accessory or instigator in theabove-mentioned offences”.

Hanyasaja perlu dicatat bahwa pengertian korporasi dalam RUU lebih luas yaitu“kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan, baik merupakanbadan hukum maupun bukan badan hukum” ( Pasal 162 RUU ).

Pasal48 RUU merupakan “ warning” agar pertanggungjawaban korporasiditerapkan sebagai “ultimum remedium” mengingat dampaknya yang luasterhadap buruh, pemegang saham, konsumen, Negara sebagai pemungut pajak dansebagainya.

Read more