Buntut Kasus Antasari

Kasus dugaan pembunuhan yang dilakukan oleh Ketua Komisi Pemebrantasan Korupsi (KPK) nonaktif Antasari Azhar berbuntut panjang. Indonesia Corruption Watch (ICW) menantang KPK untuk kembali membuka kasus Agus Condro. "Kita menantang KPK menunjukkan dan mengembalikan kepercayaan publik dengan menangani kembali kasus Agus Condro," ujar anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho kepada detikcom, Minggu (3/5/2009). Kasus Agus Condro menurut Emerson menghilang karena adanya dugaan intervensi politik yang dilakukan oleh partai-partai besar di DPR. "Ini yang harus dibuktikan oleh KPK, karena banyak pihak menduga bahwa tidak berjalannya kasus Agus Condro tidak lepas dari beberapa parpol yang saat ini berkuasa," tuding alumni Fakultas Hukum UGM tersebut. Kasus suap yang dialami Agus Condro, imbuh Emerson, bisa saja dikaitkan dengan proses pemilihan anggota KPK masa lalu. "Lagi-lagi orang menduga ada peran Antasari dalam menghambat kasus ini," tandas Emerson.
Kasus dugaan pembunuhan yang dilakukan oleh Ketua Komisi Pemebrantasan Korupsi (KPK) nonaktif Antasari Azhar berbuntut panjang. Indonesia Corruption Watch (ICW) menantang KPK untuk kembali membuka kasus Agus Condro. "Kita menantang KPK menunjukkan dan mengembalikan kepercayaan publik dengan menangani kembali kasus Agus Condro," ujar anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho kepada detikcom, Minggu (3/5/2009). Kasus Agus Condro menurut Emerson menghilang karena adanya dugaan intervensi politik yang dilakukan oleh partai-partai besar di DPR. "Ini yang harus dibuktikan oleh KPK, karena banyak pihak menduga bahwa tidak berjalannya kasus Agus Condro tidak lepas dari beberapa parpol yang saat ini berkuasa," tuding alumni Fakultas Hukum UGM tersebut. Kasus suap yang dialami Agus Condro, imbuh Emerson, bisa saja dikaitkan dengan proses pemilihan anggota KPK masa lalu. "Lagi-lagi orang menduga ada peran Antasari dalam menghambat kasus ini," tandas Emerson.
Read more

SENGKETA PEMILU DAN MASA DEPAN DEMOKRASI

Perhelatan akbar pesta demokrasi nasional guna memilih calon anggota legislatif 2009 berlangsung penuh warna. Hiruk-pikuk pelaksanaan Pemilu Indonesia yang melibatkan ribuan calon anggota legislatif guna memperebutkan sekitar 18.960 kursi, kerap menghiasi pemberitaan utama di media massa. Hal demikian semakin bertambah panas manakala sistem Pemilu yang digunakan menisbatkan sebagai sistem Pemilu terumit di dunia. Walhasil, benih-benih potensi sengketa Pemilu menjamur hampir di sebagian besar daerah pemilihan, khususnya terkait dengan cara dan proses penghitungan suara. Pada dasarnya, ragam potensi sengketa Pemilu tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu pelanggaran administratif, pelanggaran pidana, dan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Untuk pelanggaran yang menyentuh ranah administratif menjadi kewenangan KPU, sedangkan terhadap pelanggaran pidana Pemilu masuk ke dalam ranah pengadilan umum. Sementara itu, PHPU menjadi domain khusus bagi Mahkamah Konstitusi untuk memutuskannya. Sejatinya, sesuai dengan Pasal 250 dan Pasal 257 UU Pemilu Legislatif, pelanggaran administratif harus terselesaikan maksimum 7 (tujuh) hari sejak diterimanya laporan dari Bawaslu/Panwaslu, sedangkan untuk pelanggaran pidana Pemilu harus sudah diputus paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional. Artinya, jika Pasal 201 mengharuskan adanya penetapan hasil suara Pemilu secara nasional paling lambat 30 hari setelah hari pemungutan suara, atau singkatnya pada 9 Mei 2009 nanti, maka seyogyanya pidana pelanggaran Pemilu sudah harus diputus tuntas pada tanggal 4 Mei yang lalu. Namun apa daya, hampir sebagian besar laporan dari kedua jenis pelanggaran tersebut ternyata tidak ditindaklajuti dengan baik, bahkan terkesan ditangani secara serampangan. Alih-alih mengakomodasi keberatan para peserta Pemilu, nyatanya tidak jarang dipilih jalan pendek nan mudah dengan sengaja melempar bola muntah atau memberikan “anjuran sesat” untuk mencari segala penyelesaian jenis sengketa ke hadapan meja merah Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, UU telah mengatur batasan tegas kewenangan penyelesaian antara jenis sengketa satu dengan lainnya. Pada titik inilah dapat disimpulkan bahwa ternyata jenjang dan pembagian ranah penyelesaian sengketa Pemilu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya, sebagaimana dikhawatirkan oleh banyak pihak, MK pada akhirnya diposisikan sebagai “Mahkamah Keranjang” untuk menerima beragam jenis sengketa Pemilu. Asumsi ini boleh jadi terbukti benar, tatkala sejumlah 60 konsultasi permohonan yang telah diterima MK hingga Selasa (5/4) kemarin, justru lebih banyak mengurai kasus-kasus pelanggaran administratif dan pidana. Pengujian Stamina Berkaca dari pengalaman Pemilu lima tahun yang lalu, MK memang tengah mempersiapkan mekanisme yang lebih efektif dan efisien untuk menangani sengketa Pemilu 2009. Pasalnya, berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi Pemilu, sengketa yang akan muncul diprediksi meningkat mencapai 250% hingga 400%. Apabila pada tahun 2004 MK meregistrasi 273 kasus dari 448 kasus yang diterima, maka pada tahun ini sengketa yang masuk berdasarkan Daerah Pemilihan (Dapil) dapat mencapai kisaran hingga 2.172 kasus, yang terdiri dari 77 kasus DPR, 217 kasus DPRD Provinsi, 1.843 DPRD Kabupaten, dan 33 kasus DPD, serta ditambah 2 kasus Parliamentary Threshold (PT). Sedangkan apabila permohonan dikerucutkan berdasarkan Partai Politik (44) dan Provinsi DPD (33), maka akan ditemukan 77 perkara permohonan yang dari setiap permohonannya tersebut sudah dipastikan membawa kasus yang beranak-pinak. Di sinilah letak ujian stamina terberat bagi MK untuk memutus seluruh sengketa yang akan masuk. Sebab berdasarkan Pasal 78 huruf b UU MK, waktu yang diberikan untuk menyelesaikannya sangatlah terbatas, yaitu tidak lebih dari 30 hari. Bahkan ada tuntutan untuk memangkas waktu penyelesaian menjadi hanya 21 hari, semata-mata demi persiapan pelaksanaan Pilpres yang lebih matang. Oleh karenanya, kini penghitungan waktu penyelesaian tidak dapat lagi menggunakan sekedar ukuran hari, namun harus diubah menjadi hitungan jam dan menit. Dalam keadaan normal, suatu perkara di MK umumnya diputuskan setelah melalui lima kali tahapan persidangan dan dua kali Rapat Permusawaratan Hakim (RPH). Sehingga untuk menyelesaikan sejumlah 77 perkara atau 2.172 kasus yang masuk, setidaknya dibutuhkan sebanyak 385 kali persidangan dan 154 kali RPH dalam kurun waktu hanya 720 jam yang kemudian harus dibagi secara rinci untuk Sidang Panel (260 jam), Rapat Panel Hakim (52 jam), Perancangan Putusan (130 jam), dan RPH (26 jam). Dengan kata lain, untuk setiap harinya MK harus mampu mengejar target rata-rata tidak kurang dari dua belas kali persidangan guna memeriksa puluhan kasus Pemilu di dalam setiap persidangannya. Apabila mencermati kondisi demikian, maka besar kemungkinan Jaya Suprana akan menghadiahi MK sebagai calon pemegang rekor persidangan terbanyak dan mencatatnya di dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Pertaruhan Demokrasi MK yang lahir dari rahim reformasi telah diberikan mandat konstitusi untuk mengawal proses demokrasi di Indonesia, khususnya yang terkait dengan hasil Pemilu. Inilah kali kedua dalam sejarah demokrasi Indonesia, para peserta Pemilu memperoleh akses untuk melakukan legal action guna mempertahankan hak konstitusional atas perolehan hasil suara yang diraihnya. Merujuk pada banyaknya kekurangan yang terjadi selama pelaksanaan Pemilu 2009, maka banyak pihak yang kemudian menaruh harapan pada persidangan MK agar proses Pemilu yang dianggap terciderai dapat dikembalikan pada esensi dan substansinya yang mulia. Di sinilah beban berat yang akan dipikul oleh MK, terlebih lagi dalam posisinya sebagai the last gatekeeper of democracy. Tak ayal dalam beberapa kesempatan, Hakim Konstitusi Maruarar mengumpamakan perhelatan PHPU mendatang sebagai “perang besar” (the big war), yakni perang untuk memurnikan noda-noda demokrasi dalam Pemilu. Pada harinya, pagelaran persidangan terbuka selama 30 hari non-stop di gedung MK adalah milik publik seutuhnya. Oleh karena itu, andil dan peran serta masyarakat luas sejatinya amat diperlukan untuk turut mencermati dan menilai secara berimbang terhadap proses pencarian nilai-nilai keadilan demokratis. Dengan demikian, lebih dari sekedar untuk menutup kesempatan bagi pihak ketiga melancarkan praktik suap dan jual-beli perkara, proses persidangan yang transparan dan akuntabel dapat dimanfaatkan sebagai cara untuk meningkatkan “civic and political education” bagi warga negara. Akhirnya, ribuan caleg dan masyarakat luas kini tinggal menunggu dikeluarkannya Penetapan KPU dalam beberapa hari ke depan. Ketika palu penetapan dijatuhkan di meja Pleno KPU, maka pada saat itulah perang besar mempertahankan kesucian demokrasi dimulai. Mampukah MK mengatasi penyelesaian ribuan kasus Pemilu dalam kurun waktu 30 hari? Optimisme memang harus tetap dipertahankan, tetapi persiapan matang dan ikhtiar maksimal adalah kebutuhan yang saat ini amat diperlukan. Jika di masa transisi ini bangsa Indonesia kembali berhasil menyelesaikan sengketa Pemilu tanpa adanya pertempuran fisik dan pertumpahan darah, maka jalan mewujudkan negara hukum yang demokratis di masa mendatang akan semakin terbuka lebar. * Anggota Tim Penanganan Perkara PHPU di Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini adalah pandangan pribadi.
Perhelatan akbar pesta demokrasi nasional guna memilih calon anggota legislatif 2009 berlangsung penuh warna. Hiruk-pikuk pelaksanaan Pemilu Indonesia yang melibatkan ribuan calon anggota legislatif guna memperebutkan sekitar 18.960 kursi, kerap menghiasi pemberitaan utama di media massa. Hal demikian semakin bertambah panas manakala sistem Pemilu yang digunakan menisbatkan sebagai sistem Pemilu terumit di dunia. Walhasil, benih-benih potensi sengketa Pemilu menjamur hampir di sebagian besar daerah pemilihan, khususnya terkait dengan cara dan proses penghitungan suara. Pada dasarnya, ragam potensi sengketa Pemilu tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu pelanggaran administratif, pelanggaran pidana, dan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Untuk pelanggaran yang menyentuh ranah administratif menjadi kewenangan KPU, sedangkan terhadap pelanggaran pidana Pemilu masuk ke dalam ranah pengadilan umum. Sementara itu, PHPU menjadi domain khusus bagi Mahkamah Konstitusi untuk memutuskannya. Sejatinya, sesuai dengan Pasal 250 dan Pasal 257 UU Pemilu Legislatif, pelanggaran administratif harus terselesaikan maksimum 7 (tujuh) hari sejak diterimanya laporan dari Bawaslu/Panwaslu, sedangkan untuk pelanggaran pidana Pemilu harus sudah diputus paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional. Artinya, jika Pasal 201 mengharuskan adanya penetapan hasil suara Pemilu secara nasional paling lambat 30 hari setelah hari pemungutan suara, atau singkatnya pada 9 Mei 2009 nanti, maka seyogyanya pidana pelanggaran Pemilu sudah harus diputus tuntas pada tanggal 4 Mei yang lalu. Namun apa daya, hampir sebagian besar laporan dari kedua jenis pelanggaran tersebut ternyata tidak ditindaklajuti dengan baik, bahkan terkesan ditangani secara serampangan. Alih-alih mengakomodasi keberatan para peserta Pemilu, nyatanya tidak jarang dipilih jalan pendek nan mudah dengan sengaja melempar bola muntah atau memberikan “anjuran sesat” untuk mencari segala penyelesaian jenis sengketa ke hadapan meja merah Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, UU telah mengatur batasan tegas kewenangan penyelesaian antara jenis sengketa satu dengan lainnya. Pada titik inilah dapat disimpulkan bahwa ternyata jenjang dan pembagian ranah penyelesaian sengketa Pemilu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya, sebagaimana dikhawatirkan oleh banyak pihak, MK pada akhirnya diposisikan sebagai “Mahkamah Keranjang” untuk menerima beragam jenis sengketa Pemilu. Asumsi ini boleh jadi terbukti benar, tatkala sejumlah 60 konsultasi permohonan yang telah diterima MK hingga Selasa (5/4) kemarin, justru lebih banyak mengurai kasus-kasus pelanggaran administratif dan pidana. Pengujian Stamina Berkaca dari pengalaman Pemilu lima tahun yang lalu, MK memang tengah mempersiapkan mekanisme yang lebih efektif dan efisien untuk menangani sengketa Pemilu 2009. Pasalnya, berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi Pemilu, sengketa yang akan muncul diprediksi meningkat mencapai 250% hingga 400%. Apabila pada tahun 2004 MK meregistrasi 273 kasus dari 448 kasus yang diterima, maka pada tahun ini sengketa yang masuk berdasarkan Daerah Pemilihan (Dapil) dapat mencapai kisaran hingga 2.172 kasus, yang terdiri dari 77 kasus DPR, 217 kasus DPRD Provinsi, 1.843 DPRD Kabupaten, dan 33 kasus DPD, serta ditambah 2 kasus Parliamentary Threshold (PT). Sedangkan apabila permohonan dikerucutkan berdasarkan Partai Politik (44) dan Provinsi DPD (33), maka akan ditemukan 77 perkara permohonan yang dari setiap permohonannya tersebut sudah dipastikan membawa kasus yang beranak-pinak. Di sinilah letak ujian stamina terberat bagi MK untuk memutus seluruh sengketa yang akan masuk. Sebab berdasarkan Pasal 78 huruf b UU MK, waktu yang diberikan untuk menyelesaikannya sangatlah terbatas, yaitu tidak lebih dari 30 hari. Bahkan ada tuntutan untuk memangkas waktu penyelesaian menjadi hanya 21 hari, semata-mata demi persiapan pelaksanaan Pilpres yang lebih matang. Oleh karenanya, kini penghitungan waktu penyelesaian tidak dapat lagi menggunakan sekedar ukuran hari, namun harus diubah menjadi hitungan jam dan menit. Dalam keadaan normal, suatu perkara di MK umumnya diputuskan setelah melalui lima kali tahapan persidangan dan dua kali Rapat Permusawaratan Hakim (RPH). Sehingga untuk menyelesaikan sejumlah 77 perkara atau 2.172 kasus yang masuk, setidaknya dibutuhkan sebanyak 385 kali persidangan dan 154 kali RPH dalam kurun waktu hanya 720 jam yang kemudian harus dibagi secara rinci untuk Sidang Panel (260 jam), Rapat Panel Hakim (52 jam), Perancangan Putusan (130 jam), dan RPH (26 jam). Dengan kata lain, untuk setiap harinya MK harus mampu mengejar target rata-rata tidak kurang dari dua belas kali persidangan guna memeriksa puluhan kasus Pemilu di dalam setiap persidangannya. Apabila mencermati kondisi demikian, maka besar kemungkinan Jaya Suprana akan menghadiahi MK sebagai calon pemegang rekor persidangan terbanyak dan mencatatnya di dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Pertaruhan Demokrasi MK yang lahir dari rahim reformasi telah diberikan mandat konstitusi untuk mengawal proses demokrasi di Indonesia, khususnya yang terkait dengan hasil Pemilu. Inilah kali kedua dalam sejarah demokrasi Indonesia, para peserta Pemilu memperoleh akses untuk melakukan legal action guna mempertahankan hak konstitusional atas perolehan hasil suara yang diraihnya. Merujuk pada banyaknya kekurangan yang terjadi selama pelaksanaan Pemilu 2009, maka banyak pihak yang kemudian menaruh harapan pada persidangan MK agar proses Pemilu yang dianggap terciderai dapat dikembalikan pada esensi dan substansinya yang mulia. Di sinilah beban berat yang akan dipikul oleh MK, terlebih lagi dalam posisinya sebagai the last gatekeeper of democracy. Tak ayal dalam beberapa kesempatan, Hakim Konstitusi Maruarar mengumpamakan perhelatan PHPU mendatang sebagai “perang besar” (the big war), yakni perang untuk memurnikan noda-noda demokrasi dalam Pemilu. Pada harinya, pagelaran persidangan terbuka selama 30 hari non-stop di gedung MK adalah milik publik seutuhnya. Oleh karena itu, andil dan peran serta masyarakat luas sejatinya amat diperlukan untuk turut mencermati dan menilai secara berimbang terhadap proses pencarian nilai-nilai keadilan demokratis. Dengan demikian, lebih dari sekedar untuk menutup kesempatan bagi pihak ketiga melancarkan praktik suap dan jual-beli perkara, proses persidangan yang transparan dan akuntabel dapat dimanfaatkan sebagai cara untuk meningkatkan “civic and political education” bagi warga negara. Akhirnya, ribuan caleg dan masyarakat luas kini tinggal menunggu dikeluarkannya Penetapan KPU dalam beberapa hari ke depan. Ketika palu penetapan dijatuhkan di meja Pleno KPU, maka pada saat itulah perang besar mempertahankan kesucian demokrasi dimulai. Mampukah MK mengatasi penyelesaian ribuan kasus Pemilu dalam kurun waktu 30 hari? Optimisme memang harus tetap dipertahankan, tetapi persiapan matang dan ikhtiar maksimal adalah kebutuhan yang saat ini amat diperlukan. Jika di masa transisi ini bangsa Indonesia kembali berhasil menyelesaikan sengketa Pemilu tanpa adanya pertempuran fisik dan pertumpahan darah, maka jalan mewujudkan negara hukum yang demokratis di masa mendatang akan semakin terbuka lebar. * Anggota Tim Penanganan Perkara PHPU di Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini adalah pandangan pribadi.
Read more

PERJUANGAN CAPRES INDEPENDEN

Lika-liku jalan calon presiden independen (perseorangan) untuk ikut berkompetisi dalam Pemilu Presiden 2009 terhenti sudah. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memutuskan bahwa frasa “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dan didaftarkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum…” dalam UU No. 42 tahun 2008 (UU Pilpres) tidak inkonstitusional. Menariknya, putusan MK tersebut tidak diputus secara bulat. Tiga dari delapan Hakim Konstitusi memberikan pendapat berbeda (dissenting opinions) yang pada intinya menyatakan bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 harus ditafsirkan pula membuka ruang bagi terbukanya calon presiden perseorangan di dalam UU Pilpres. Namun demikian, ketiga Hakim tersebut juga mempertimbangkan kepentingan nasional terkait dengan proses penyelenggaraan Pemilu 2009 yang semakin dekat, sehingga pendapat tersebut berhujung pada kondisi konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya, mereka memandang bahwa kesempatan calon presiden perseorangan dalam Pilpres harus sudah mulai dibuka pada Pemilu tahun 2014 atau 2019. Amandemen Kelima Setidaknya terdapat dua alasan utama dari perspektif hukum dan politik yang menjadi mainstream ujian terjal belum terakomodasinya capres perseorangan hingga kini. Pertama, para ahli hukum berargumen bahwa kehadiran Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah menetapkan secara nyata bahwa partai politiklah pemegang hak konstitusional untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua, para pengamat politik beralasan bahwa calon perseorangan pada sistem presidensiil amat rentan dengan munculnya ketidakstabilan politik dan ketatanegaraan, mengingat Presiden dalam mengelola negara harus pula memiliki dukungan kuat di Parlemen ketika menjalankan kebijakan-kebijakannya. Akan tetapi, tidak semua ahli hukum dan ahli politik tersebut memilik satu mahzab yang sama. Sebagian pengamat politik beranggapan bahwa tidak ada kaitannya antara sistem presidensiil dengan capres independen. Sebab, sistem presidensiil Indonesia mempunyai karakter yang khas dan berbeda dengan negara-negara lain. Sehingga, tidaklah dapat dipersamakan antara pengalaman negara satu dengan negara lainnya, atau dalam bahasa A.B. Kusuma (2008), tidak ada lagi istilah “presidensiil murni” atau “presidensiil tidak murni”. Sementara itu, sebagian para ahli hukum melihat Konstitusi sebagai organ yang hidup (the living constitution) seyogyanya harus mampu memberikan ruang interpretasi terhadap perkembangan dan kebutuhan rakyatnya. Oleh karenanya, menurut mereka, capres independent harus dapat terakomodasi secara legal-formal. Keseluruhan “perang pendapat” tersebut setidaknya dapat kita temukan selama pemeriksaan pengujian undang-undang (constitutional review) terkait permohonan capres independen oleh Fadjroel Rachman, dkk. yang berlangsung di hadapan MK. Dari panjangnya proses pembuktian tersebut terdapat satu hal yang perlu direspons cepat ketika hampir sebagian besar ahli hukum dan anggota DPR memandang bahwa sesungguhnya tidak ada permasalahan terhadap ada-tidaknya jalur capres independen selama kehadirannya sesuai dengan politik konstitusi. Oleh karenanya, DPR dan Pemerintah siap membuka lebar-lebar pintu capres independen apabila memang telah terjadi amandemen kelima terhadap Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Apabila kehendak tersebut terejawantahkan, maka sudah seyogyanya Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR karena keadaan tertentu juga harus diamandemen. Suara Rakyat Undang-Undang Dasar sebagai konsensus bersama (general consensus) sudah sejatinya turut memperhatikan suara dan aspirasi rakyat yang berkembang (vox populi, vox dei). Adanya hasil survey LSI yang menyimpulkan bahwa sebagian rakyat Indonesia menginginkan dibukanya capres independen sebagai jalur alternatif selain jalur parpol menjadi bukti awal yang dapat dijadikan argumen pendukung untuk diubahnya Pasal 6A ayat (2). Terlebih lagi, beberapa penelitian ilmiah dan rekomendasi resmi dari Komisi Konstitusi sudah jauh-jauh hari menyuarakan betapa pentingnya perubahan Pasal tersebut. Walaupun bukan menjadi pendirian Mahkamah saat ini, tafsiran sebagian dissenter dalam Putusan No. 56/PUU-VI/2008 (vide halaman 127 s.d. 140) dapat juga dijadikan sinar pencerahan terwujudnya perubahan UUD 1945. Namun demikian, ganjalan terberat justru hadir ketika usulan perubahan tersebut jatuh di tangan MPR sebagai pemegang otoritas tunggal insitusional untuk mengubah undang-undang dasar [Pasal 3 ayat (1) UUD 1945]. Pertanyaannya kini adalah mungkinkah usulan perubahan tersebut dikabulkan? Kecemasan bermunculan dikarenakan bahwa sebagian besar anggota MPR adalah anggota Partai Politik, sehingga sulit membayangkan akan terjadinya skenario adanya parpol yang secara sukarela ingin mengebiri hak konstitusional dirinya sendiri. Untuk mengeliminir keraguan tersebut, setidaknya pendekatan dan pencerahan mengenai perlunya perubahan konstitusi tersebut bukan hanya diarahkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi (the owner of ultimate sovereignty), namun juga diarahkan kepada parpol yang memiliki platform visioner-progresif, para anggota DPD yang berbasis perseorangan, jaringan akademisi, serta media massa yang befungsi sebagai “the fourth estate of democracy” atau pilar keempat penyanggah demokrasi (B.V. Naik, 2004) Oleh karenanya, marilah sama-sama kita maknai proses pewacanaan dan hasil perjuangan capres independen betapapun manis-pahitnya itu, baik sebelum maupun sesudah putusan Mahkamah, sebagai proses pendidikan dan peremajaan berdemokrasi. Selama hal-hal tersebut dilakukan secara konstitusional, maka tidak ada salahnya kita menerimanya sebagai bagian dari dinamika kehidupan berdemokrasi yang sehat, serta membuang jauh-jauh rasa kecurigaan ataupun rasa skeptis yang tak beralasan. Setidaknya, perjalanan panjang ini dapat turut pula menyuntikan vaksinasi iklim politik-ketatanegaraan yang kokoh sekaligus sebagai cermin otokritik terhadap kelembagaan partai politik Indonesia yang dianggap masih kurang memperhatikan aspirasi rakyat. (*) * Peneliti Hukum dan Konstitusi di Jakarta.
Lika-liku jalan calon presiden independen (perseorangan) untuk ikut berkompetisi dalam Pemilu Presiden 2009 terhenti sudah. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memutuskan bahwa frasa “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dan didaftarkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum…” dalam UU No. 42 tahun 2008 (UU Pilpres) tidak inkonstitusional. Menariknya, putusan MK tersebut tidak diputus secara bulat. Tiga dari delapan Hakim Konstitusi memberikan pendapat berbeda (dissenting opinions) yang pada intinya menyatakan bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 harus ditafsirkan pula membuka ruang bagi terbukanya calon presiden perseorangan di dalam UU Pilpres. Namun demikian, ketiga Hakim tersebut juga mempertimbangkan kepentingan nasional terkait dengan proses penyelenggaraan Pemilu 2009 yang semakin dekat, sehingga pendapat tersebut berhujung pada kondisi konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya, mereka memandang bahwa kesempatan calon presiden perseorangan dalam Pilpres harus sudah mulai dibuka pada Pemilu tahun 2014 atau 2019. Amandemen Kelima Setidaknya terdapat dua alasan utama dari perspektif hukum dan politik yang menjadi mainstream ujian terjal belum terakomodasinya capres perseorangan hingga kini. Pertama, para ahli hukum berargumen bahwa kehadiran Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah menetapkan secara nyata bahwa partai politiklah pemegang hak konstitusional untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua, para pengamat politik beralasan bahwa calon perseorangan pada sistem presidensiil amat rentan dengan munculnya ketidakstabilan politik dan ketatanegaraan, mengingat Presiden dalam mengelola negara harus pula memiliki dukungan kuat di Parlemen ketika menjalankan kebijakan-kebijakannya. Akan tetapi, tidak semua ahli hukum dan ahli politik tersebut memilik satu mahzab yang sama. Sebagian pengamat politik beranggapan bahwa tidak ada kaitannya antara sistem presidensiil dengan capres independen. Sebab, sistem presidensiil Indonesia mempunyai karakter yang khas dan berbeda dengan negara-negara lain. Sehingga, tidaklah dapat dipersamakan antara pengalaman negara satu dengan negara lainnya, atau dalam bahasa A.B. Kusuma (2008), tidak ada lagi istilah “presidensiil murni” atau “presidensiil tidak murni”. Sementara itu, sebagian para ahli hukum melihat Konstitusi sebagai organ yang hidup (the living constitution) seyogyanya harus mampu memberikan ruang interpretasi terhadap perkembangan dan kebutuhan rakyatnya. Oleh karenanya, menurut mereka, capres independent harus dapat terakomodasi secara legal-formal. Keseluruhan “perang pendapat” tersebut setidaknya dapat kita temukan selama pemeriksaan pengujian undang-undang (constitutional review) terkait permohonan capres independen oleh Fadjroel Rachman, dkk. yang berlangsung di hadapan MK. Dari panjangnya proses pembuktian tersebut terdapat satu hal yang perlu direspons cepat ketika hampir sebagian besar ahli hukum dan anggota DPR memandang bahwa sesungguhnya tidak ada permasalahan terhadap ada-tidaknya jalur capres independen selama kehadirannya sesuai dengan politik konstitusi. Oleh karenanya, DPR dan Pemerintah siap membuka lebar-lebar pintu capres independen apabila memang telah terjadi amandemen kelima terhadap Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Apabila kehendak tersebut terejawantahkan, maka sudah seyogyanya Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR karena keadaan tertentu juga harus diamandemen. Suara Rakyat Undang-Undang Dasar sebagai konsensus bersama (general consensus) sudah sejatinya turut memperhatikan suara dan aspirasi rakyat yang berkembang (vox populi, vox dei). Adanya hasil survey LSI yang menyimpulkan bahwa sebagian rakyat Indonesia menginginkan dibukanya capres independen sebagai jalur alternatif selain jalur parpol menjadi bukti awal yang dapat dijadikan argumen pendukung untuk diubahnya Pasal 6A ayat (2). Terlebih lagi, beberapa penelitian ilmiah dan rekomendasi resmi dari Komisi Konstitusi sudah jauh-jauh hari menyuarakan betapa pentingnya perubahan Pasal tersebut. Walaupun bukan menjadi pendirian Mahkamah saat ini, tafsiran sebagian dissenter dalam Putusan No. 56/PUU-VI/2008 (vide halaman 127 s.d. 140) dapat juga dijadikan sinar pencerahan terwujudnya perubahan UUD 1945. Namun demikian, ganjalan terberat justru hadir ketika usulan perubahan tersebut jatuh di tangan MPR sebagai pemegang otoritas tunggal insitusional untuk mengubah undang-undang dasar [Pasal 3 ayat (1) UUD 1945]. Pertanyaannya kini adalah mungkinkah usulan perubahan tersebut dikabulkan? Kecemasan bermunculan dikarenakan bahwa sebagian besar anggota MPR adalah anggota Partai Politik, sehingga sulit membayangkan akan terjadinya skenario adanya parpol yang secara sukarela ingin mengebiri hak konstitusional dirinya sendiri. Untuk mengeliminir keraguan tersebut, setidaknya pendekatan dan pencerahan mengenai perlunya perubahan konstitusi tersebut bukan hanya diarahkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi (the owner of ultimate sovereignty), namun juga diarahkan kepada parpol yang memiliki platform visioner-progresif, para anggota DPD yang berbasis perseorangan, jaringan akademisi, serta media massa yang befungsi sebagai “the fourth estate of democracy” atau pilar keempat penyanggah demokrasi (B.V. Naik, 2004) Oleh karenanya, marilah sama-sama kita maknai proses pewacanaan dan hasil perjuangan capres independen betapapun manis-pahitnya itu, baik sebelum maupun sesudah putusan Mahkamah, sebagai proses pendidikan dan peremajaan berdemokrasi. Selama hal-hal tersebut dilakukan secara konstitusional, maka tidak ada salahnya kita menerimanya sebagai bagian dari dinamika kehidupan berdemokrasi yang sehat, serta membuang jauh-jauh rasa kecurigaan ataupun rasa skeptis yang tak beralasan. Setidaknya, perjalanan panjang ini dapat turut pula menyuntikan vaksinasi iklim politik-ketatanegaraan yang kokoh sekaligus sebagai cermin otokritik terhadap kelembagaan partai politik Indonesia yang dianggap masih kurang memperhatikan aspirasi rakyat. (*) * Peneliti Hukum dan Konstitusi di Jakarta.
Read more

KETIDAKCERMATAN UU PEMILU LEGISLATIF

KETIDAKCERMATAN UU PEMILU LEGISLATIF Hajatan terbesar nasional dalam rentang siklus lima tahunan segera digelar. Dalam hitungan hari, jutaan warga Indonesia baik yang berada di dalam maupun luar negeri akan memberikan hak suaranya di dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Para peserta Pemilu yang terdiri dari 44 Partai Politik untuk calon anggota DPR, DPRD, dan DPRA/DPRK, serta 1.127 perseorangan calon anggota DPD beramai-ramai telah menggerakan mesin kampanyenya guna memperoleh simpati konstituen dan calon pemilihnya. Begitu pula dengan pihak penyelenggara, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), seakan berlomba dengan waktu dalam mempersiapkan segala sesuatunya guna kelancaran proses pencontrengan di tanggal 9 April nanti. Namun demikian, keluhan dari masyarakat bermunculan tatkala terlihat adanya kekurangsiapan pihak penyelenggara dalam hal sosialisasi teknis pemilihan, distribusi kertas dan kotak suara, serta penjadwalan kampanye yang dinilai dapat menjadi penghambat keberlangsungan proses dan momentum kehidupan demokrasi di bumi nusantara ini. Oleh karenanya, Pemerintah dengan berkoordinasi bersama KPU cepat-cepat mengeluarkan Perpu dan sederet Peraturan KPU guna mengisi celah-celah kecil yang berpotensi menyebabkan delegitimasi pelaksanaan Pemilu 2009. Kesalahan Penulisan Sejak tiga bulan terakhir, wajah media massa baik cetak maupun elektronik, tidak henti-hentinya memberitakan seputar persiapan Pemilu. Perdebatan pun bermunculan mengenai regulasi mulai dari persiapan dan pelaksanaan Pemilu hingga antisipasi penanganan munculnya sengketa antara Peserta Pemilu dengan KPU. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif) merupakan landasan yuridis yang paling mendasar untuk mengantarkan 550 wakil rakyat menuju gedung bundar di Senayan. Namun apa jadinya apabila di dalam UU Pemilu Legislatif sebagai alas yuridis terdapat kesalahan substansi yang sepertinya remeh-temeh namun cukup fundamental. Di dalam kalimat pertama paragraf kesatu Penjelasan Umum UU tersebut tertulis, “Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Sedangkan di awal paragraf kedua tertulis, “Sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Secara sepintas memang tidak ada kesalahan susunan kalimat pada kedua paragraf di atas, namun apabila dicermati lebih mendalam, maka pencantuman kedua Pasal di atas merupakan kesalahan yang cukup nyata. Konsep “kedaulatan rakyat” sebenarnya diatur di dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, dan bukan di dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang justru hanya mengatur mengenai komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sedangkan, ketentuan mengenai asas pelaksanaan Pemilu, waktu pelaksanaan, dan tujuan pemilihan diatur di dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, dan bukan di dalam Pasal 22E ayat (6) yang mengatur tentang ketentuan pemberian delegasi pengaturan tentang pemilihan umum dengan undang-undang. Mungkinkah kesalahan ini hanya terletak pada lembar pencetakan Penerbit dari UU yang penulis baca? Setelah membandingkan UU Pemilu Legislatif yang tersedia di toko buku, terpampang bebas pada situs resmi KPU, hingga salinan aslinya, tampaklah sudah bahwa telah terjadi kesalahan yang sama untuk keseluruh UU tersebut. Oleh karenya dapat disimpulkan bahwa kesalahan penyusunan Undang-Undang tersebut berasal dari lembaga/penjabat yang diberi kewenangan membentuk perundang-undangan (wetgevende macht) Status Penjelasan Dalam salah satu buku terbarunya, “Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-undangan" (2008), Prof. HAS Natabaya membagi unsur-unsur sistem peraturan perundang-undangan dengan: (1) asas-asas pembentukan; (2) pembentuk dan proses pembentukannya; (3) jenis dan hirarki; (4) fungsi; (5) materi muatan; (6) pengundangan; (7) penyebarluasan; (8) penegakkan dan pengujian. Menurutnya, apabila salah satu unsur baik yang berkaitan dengan dengan formalitas maupun materialitas, maka sistem itu akan timpang dan bahkan dapat menghasilan suatu produk yang “cacat hukum”, sehingga dapat atau harus diuji oleh lembaga legislatif melalui legislative review/political review atau oleh lembaga yudikatif melalui judicial review. Sesuai dengan Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 10/2004), pembentukan perundang-undangan harus memenuhi asas-asas yang meliputi: (a) kejelasan tujuan; (b) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; (c) kesesuaian antara jenis dan materi muatan; (d) dapat dilaksanakan; (e) kedayagunaan dan kehasilgunaan; (f) kejelasan rumusan; dan (g) keterbukaan. Dalam penjelasannya, asas “kejelasan rumusan” terakit dengan pemenuhan syarat teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam intepretasi dalam pelaksanaannya. Dalam konteks kesalahan penulisan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, penjelasan umum yang memuat pengacuan ke peraturan perundang-undangan lain atau dokumen lain harus pula dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya. Penjelasan Umum seharusnya memuat uraian yang sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan peraturan perundang-undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans, serta asas-asas, tujuan, atau pokok-pokok yang terkandung di dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan, sebagaimana telah diuraikan secara panjang lebar di dalam lampiran UU 10/2004. Lebih lanjut, penjelasan juga berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karenanya, penjelasan haruslah dimaksudkan untuk memperjelas norma dalam batang tubuh dan tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dijelaskan. Dalam penjelasan juga harus dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Konsekuensi Hukum Sulit untuk beralasan bahwa kesalahan penulisan di dalam Penjelasan Umum UU Pemilu Legislatif hanya sebatas alasan clerical error, sehingga harus dimaafkan. Sebab ketidakcermatan penulisan kali ini justru terjadi pada rujukan yuridis yang amat mendasar, yaitu UUD 1945 sebagai Undang-Undang yang tertinggi (grondwet is de hoogste wet). Padahal di dalam suatu pembentukan Undang-Undang, para perancang (legislative drafter) yang berkualifikasi dan bertaraf nasional telah melewati tahapan komposisi kegiatan pembentukan yang terdiri dari: (i) pembuatan draft awal, (ii) melakukan revisi, (iii) melakukan pemeriksaan silang, (iv) konsultasi pihak lain; (v) dan (vi) melakukan penghalusan. Sebenarnya penulis sengaja mengendapkan permasalahan ini ketika mendengar akan dikeluarkannya sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Perubahan UU Pemilu Legislatif, dengan harapan perbaikan terhadap Penjelasan Umum dalam UU Pemilu Legislatif akan dicakup di dalam materi Perpu tersebut. Sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 UU 10/2004 terkait dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, perubahan atau revisi suatu Undang-Undang hanya dapat dilakukan melalui Undang-Undang yang baru atau sebuah Perpu (legislative review). Argumen ini diperkuat oleh Ahli Ilmu Perundang-Undangan, Prof. Maria Farida Indrati dalam suatu kesempatan diskusi dengan Penulis. Namun ternyata, keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada tanggal 26 Februari 2009 yang lalu, sama sekali tidak memuat perbaikan terhadap Penjelasan Umum UU Pemilu Legislatif tersebut. Dengan demikian, kesalahan rujukan di dalam Penjelasan Umum UU tersebut masihlah ada dan akan tetap ada selama tidak ada perbaikan. Upaya untuk memperbaiki UU 10/2008 sebenarnya dapat pula dilakukan melalui cara lain, yaitu judicial review dengan cara membatalkan frasa “Pasal 2 ayat (1)” dan frasa “Pasal 22E ayat (6)” yang tercantum di dalam Penjelasan Umum. Sehingga setelah dibatalkan maka tanpa mengurangi substansinya, penjelasan kedua paragraf tersebut dapat dibaca secara utuh sebagai berikut, yaitu “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa …” dan “Sesuai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum …”. Hanya saja, selain akan membutuhkan waktu cukup lama, hal yang seharusnya dapat disempurnakan dengan mudah akan menjadi terkesan dicari-cari atau mengada-ada. Tetapi itulah konsekuensi hukum dari apa yang seharusnya ditempuh apabila ditemukan bagian dari UU yang tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan/atau bertentangan dengan semangat UUD 1945. Penutup Seyogyanya, para pembentuk Undang-Undang menyadari hal ini sejak dini dan tidak membiarkan kesalahan-kesalahan demikian terjadi terus-menerus dan berulang kali. Sementara para pihak tengah berjibaku menegakkan Peraturan KPU dan teknis pelaksanaan di lapangan, ternyata dalam tataran landasan dasar yuridis masih terdapat pokok kesalahan penyusunan (drafting failure) yang seharusnya jangan lagi diberikan toleransi. Sehingga tepat rasanya apabila mengutip pepatah melayu yang berbunyi, “kuman diseberang pulau terlihat, gajah di pelupuk mata tak nampak”. Akhirnya, perlu pula disampaikan bahwa tulisan singkat ini sama sekali tidak ditujukan untuk memperkeruh keadaan menjelang Pemilu, apalagi menambah deret persoalan legislasi seputar pelaksanaan Pemilu. Akan tetapi semata-mata sebagai catatan kecil dari seorang warga negara yang berkewajiban untuk mengingatkan para wakilnya guna memperbaiki ketentuan yang belum sempurna. Sebab, para wakil rakyat sejatinya adalah juga seorang legislator handal, sebagaimana telah menjadi amanat konstitusi di dalam Pasal 20 UUD 1945, sekaligus sebagai konsekuensi jabatan dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangan pokoknya dalam hal legislasi yang ditegaskan di dalam Pasal 25 dan Pasal 26 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Susduk) Semoga di masa periode berikutnya kita dapat memiliki para wakil rakyat yang semakin baik dari apa yang kita miliki saat ini dalam hal dalam membentuk suatu produk peraturan perundang-undangan. Jika tidak, maka puluhan miliar rupiah yang dikucurkan selama proses Pemilu mendatang akan terbuang secara sia-sia. Oleh karena itu, jangan sampai salah pilih! * Penulis adalah Alumnus Pascasarjana Program Master of Comparative Laws (M.C.L.) pada Faculty of Law, University of Delhi.
KETIDAKCERMATAN UU PEMILU LEGISLATIF Hajatan terbesar nasional dalam rentang siklus lima tahunan segera digelar. Dalam hitungan hari, jutaan warga Indonesia baik yang berada di dalam maupun luar negeri akan memberikan hak suaranya di dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Para peserta Pemilu yang terdiri dari 44 Partai Politik untuk calon anggota DPR, DPRD, dan DPRA/DPRK, serta 1.127 perseorangan calon anggota DPD beramai-ramai telah menggerakan mesin kampanyenya guna memperoleh simpati konstituen dan calon pemilihnya. Begitu pula dengan pihak penyelenggara, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), seakan berlomba dengan waktu dalam mempersiapkan segala sesuatunya guna kelancaran proses pencontrengan di tanggal 9 April nanti. Namun demikian, keluhan dari masyarakat bermunculan tatkala terlihat adanya kekurangsiapan pihak penyelenggara dalam hal sosialisasi teknis pemilihan, distribusi kertas dan kotak suara, serta penjadwalan kampanye yang dinilai dapat menjadi penghambat keberlangsungan proses dan momentum kehidupan demokrasi di bumi nusantara ini. Oleh karenanya, Pemerintah dengan berkoordinasi bersama KPU cepat-cepat mengeluarkan Perpu dan sederet Peraturan KPU guna mengisi celah-celah kecil yang berpotensi menyebabkan delegitimasi pelaksanaan Pemilu 2009. Kesalahan Penulisan Sejak tiga bulan terakhir, wajah media massa baik cetak maupun elektronik, tidak henti-hentinya memberitakan seputar persiapan Pemilu. Perdebatan pun bermunculan mengenai regulasi mulai dari persiapan dan pelaksanaan Pemilu hingga antisipasi penanganan munculnya sengketa antara Peserta Pemilu dengan KPU. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif) merupakan landasan yuridis yang paling mendasar untuk mengantarkan 550 wakil rakyat menuju gedung bundar di Senayan. Namun apa jadinya apabila di dalam UU Pemilu Legislatif sebagai alas yuridis terdapat kesalahan substansi yang sepertinya remeh-temeh namun cukup fundamental. Di dalam kalimat pertama paragraf kesatu Penjelasan Umum UU tersebut tertulis, “Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Sedangkan di awal paragraf kedua tertulis, “Sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Secara sepintas memang tidak ada kesalahan susunan kalimat pada kedua paragraf di atas, namun apabila dicermati lebih mendalam, maka pencantuman kedua Pasal di atas merupakan kesalahan yang cukup nyata. Konsep “kedaulatan rakyat” sebenarnya diatur di dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, dan bukan di dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang justru hanya mengatur mengenai komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sedangkan, ketentuan mengenai asas pelaksanaan Pemilu, waktu pelaksanaan, dan tujuan pemilihan diatur di dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, dan bukan di dalam Pasal 22E ayat (6) yang mengatur tentang ketentuan pemberian delegasi pengaturan tentang pemilihan umum dengan undang-undang. Mungkinkah kesalahan ini hanya terletak pada lembar pencetakan Penerbit dari UU yang penulis baca? Setelah membandingkan UU Pemilu Legislatif yang tersedia di toko buku, terpampang bebas pada situs resmi KPU, hingga salinan aslinya, tampaklah sudah bahwa telah terjadi kesalahan yang sama untuk keseluruh UU tersebut. Oleh karenya dapat disimpulkan bahwa kesalahan penyusunan Undang-Undang tersebut berasal dari lembaga/penjabat yang diberi kewenangan membentuk perundang-undangan (wetgevende macht) Status Penjelasan Dalam salah satu buku terbarunya, “Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-undangan" (2008), Prof. HAS Natabaya membagi unsur-unsur sistem peraturan perundang-undangan dengan: (1) asas-asas pembentukan; (2) pembentuk dan proses pembentukannya; (3) jenis dan hirarki; (4) fungsi; (5) materi muatan; (6) pengundangan; (7) penyebarluasan; (8) penegakkan dan pengujian. Menurutnya, apabila salah satu unsur baik yang berkaitan dengan dengan formalitas maupun materialitas, maka sistem itu akan timpang dan bahkan dapat menghasilan suatu produk yang “cacat hukum”, sehingga dapat atau harus diuji oleh lembaga legislatif melalui legislative review/political review atau oleh lembaga yudikatif melalui judicial review. Sesuai dengan Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 10/2004), pembentukan perundang-undangan harus memenuhi asas-asas yang meliputi: (a) kejelasan tujuan; (b) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; (c) kesesuaian antara jenis dan materi muatan; (d) dapat dilaksanakan; (e) kedayagunaan dan kehasilgunaan; (f) kejelasan rumusan; dan (g) keterbukaan. Dalam penjelasannya, asas “kejelasan rumusan” terakit dengan pemenuhan syarat teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam intepretasi dalam pelaksanaannya. Dalam konteks kesalahan penulisan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, penjelasan umum yang memuat pengacuan ke peraturan perundang-undangan lain atau dokumen lain harus pula dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya. Penjelasan Umum seharusnya memuat uraian yang sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan peraturan perundang-undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans, serta asas-asas, tujuan, atau pokok-pokok yang terkandung di dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan, sebagaimana telah diuraikan secara panjang lebar di dalam lampiran UU 10/2004. Lebih lanjut, penjelasan juga berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karenanya, penjelasan haruslah dimaksudkan untuk memperjelas norma dalam batang tubuh dan tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dijelaskan. Dalam penjelasan juga harus dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Konsekuensi Hukum Sulit untuk beralasan bahwa kesalahan penulisan di dalam Penjelasan Umum UU Pemilu Legislatif hanya sebatas alasan clerical error, sehingga harus dimaafkan. Sebab ketidakcermatan penulisan kali ini justru terjadi pada rujukan yuridis yang amat mendasar, yaitu UUD 1945 sebagai Undang-Undang yang tertinggi (grondwet is de hoogste wet). Padahal di dalam suatu pembentukan Undang-Undang, para perancang (legislative drafter) yang berkualifikasi dan bertaraf nasional telah melewati tahapan komposisi kegiatan pembentukan yang terdiri dari: (i) pembuatan draft awal, (ii) melakukan revisi, (iii) melakukan pemeriksaan silang, (iv) konsultasi pihak lain; (v) dan (vi) melakukan penghalusan. Sebenarnya penulis sengaja mengendapkan permasalahan ini ketika mendengar akan dikeluarkannya sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Perubahan UU Pemilu Legislatif, dengan harapan perbaikan terhadap Penjelasan Umum dalam UU Pemilu Legislatif akan dicakup di dalam materi Perpu tersebut. Sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 UU 10/2004 terkait dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, perubahan atau revisi suatu Undang-Undang hanya dapat dilakukan melalui Undang-Undang yang baru atau sebuah Perpu (legislative review). Argumen ini diperkuat oleh Ahli Ilmu Perundang-Undangan, Prof. Maria Farida Indrati dalam suatu kesempatan diskusi dengan Penulis. Namun ternyata, keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada tanggal 26 Februari 2009 yang lalu, sama sekali tidak memuat perbaikan terhadap Penjelasan Umum UU Pemilu Legislatif tersebut. Dengan demikian, kesalahan rujukan di dalam Penjelasan Umum UU tersebut masihlah ada dan akan tetap ada selama tidak ada perbaikan. Upaya untuk memperbaiki UU 10/2008 sebenarnya dapat pula dilakukan melalui cara lain, yaitu judicial review dengan cara membatalkan frasa “Pasal 2 ayat (1)” dan frasa “Pasal 22E ayat (6)” yang tercantum di dalam Penjelasan Umum. Sehingga setelah dibatalkan maka tanpa mengurangi substansinya, penjelasan kedua paragraf tersebut dapat dibaca secara utuh sebagai berikut, yaitu “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa …” dan “Sesuai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum …”. Hanya saja, selain akan membutuhkan waktu cukup lama, hal yang seharusnya dapat disempurnakan dengan mudah akan menjadi terkesan dicari-cari atau mengada-ada. Tetapi itulah konsekuensi hukum dari apa yang seharusnya ditempuh apabila ditemukan bagian dari UU yang tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan/atau bertentangan dengan semangat UUD 1945. Penutup Seyogyanya, para pembentuk Undang-Undang menyadari hal ini sejak dini dan tidak membiarkan kesalahan-kesalahan demikian terjadi terus-menerus dan berulang kali. Sementara para pihak tengah berjibaku menegakkan Peraturan KPU dan teknis pelaksanaan di lapangan, ternyata dalam tataran landasan dasar yuridis masih terdapat pokok kesalahan penyusunan (drafting failure) yang seharusnya jangan lagi diberikan toleransi. Sehingga tepat rasanya apabila mengutip pepatah melayu yang berbunyi, “kuman diseberang pulau terlihat, gajah di pelupuk mata tak nampak”. Akhirnya, perlu pula disampaikan bahwa tulisan singkat ini sama sekali tidak ditujukan untuk memperkeruh keadaan menjelang Pemilu, apalagi menambah deret persoalan legislasi seputar pelaksanaan Pemilu. Akan tetapi semata-mata sebagai catatan kecil dari seorang warga negara yang berkewajiban untuk mengingatkan para wakilnya guna memperbaiki ketentuan yang belum sempurna. Sebab, para wakil rakyat sejatinya adalah juga seorang legislator handal, sebagaimana telah menjadi amanat konstitusi di dalam Pasal 20 UUD 1945, sekaligus sebagai konsekuensi jabatan dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangan pokoknya dalam hal legislasi yang ditegaskan di dalam Pasal 25 dan Pasal 26 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Susduk) Semoga di masa periode berikutnya kita dapat memiliki para wakil rakyat yang semakin baik dari apa yang kita miliki saat ini dalam hal dalam membentuk suatu produk peraturan perundang-undangan. Jika tidak, maka puluhan miliar rupiah yang dikucurkan selama proses Pemilu mendatang akan terbuang secara sia-sia. Oleh karena itu, jangan sampai salah pilih! * Penulis adalah Alumnus Pascasarjana Program Master of Comparative Laws (M.C.L.) pada Faculty of Law, University of Delhi.
Read more