PENEGAKAN HUKUM DAN SANKSI
DALAM PERSEKONGKOLAN PENAWARAN TENDER
Oleh: A. M. Tri Anggraini
ABSTRAK
Persekongkolan tender merupakan kegiatan yang biasa dilakukan oleh para pelaku
usaha, dengan cara melakukan kesepakatan-kesepakatan, guna memenangkan tender.
Kegiatan tersebut tidak jarang mengakibatkan hambatan bagi pelaku usaha yang tidak
terlibat dalam kesepakatan, dan dampak yang lebih jauh dapat mengakibatkan
kerugian bagi pihak penyelenggara, karena terdapat ketidak-wajaran mengenai harga.
Tulisan ini mengungkap tentang mekanisme bekerjanya persekongkolan tender, serta
penegakan hukum dan sanksi dari aspek Hukum Persaingan Usaha. Proses
penyelidikan dan pembuktian terhadap persekongkolan tender berdasarkan Undangundang
Nomor 5 Tahun 1999 terlalu rumit, karena Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) harus menggunakan metode Rule of Reason. Penggunaan metode
tersebut memaksa KPPU harus membuktikan adanya dampak atas persekongkolan
tender, padahal setiap persekongkolan hampir selalu berdampak menghambat dan
atau merugikan pelaku usaha yang tidak terlibat. Melalui penelitian normatif dan
perbandingan hukum di beberapa negara di Asia, ditemukan suatu kesimpulan, bahwa
seharusnya tidak diperlukan pembuktian terhadap dampak persekongkolan. KPPU
cukup membuktikan adanya kesepakatan di kalangan pelaku usaha, yang biasanya
dilakukan secara lisan. Agar KPPU memiliki legalitas dalam penyelidikan, perlu
dilakukan amandemen terhadap ketentuan yang mengatur tentang persekongkolan
tender.
A. Pengantar
Istilah persekongkolan di semua kegiatan masyarakat hampir selalu berkonotasi
negatif. Pandangan ini disebabkan, bahwa pada hakekatnya persekongkolan atau
konspirasi bertentangan dengan keadilan, karena tidak memberikan kesempatan yang
sama kepada seluruh penawar untuk mendapatkan obyek barang dan/atau jasa yang
ditawarkan penyelenggara. Akibat adanya persekongkolan tender, penawar yang
mempunyai iktikad baik menjadi terhambat untuk masuk pasar, dan akibat lebih jauh
adalah terciptanya harga yang tidak kompetitif.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
2
Persekongkolan penawaran tender (bid rigging) termasuk salah satu perbuatan
yang dianggap merugikan negara, karena terdapat unsur manipulasi harga penawaran,
dan cenderung menguntungkan pihak yang terlibat dalam persekongkolan. Bahkan di
Jepang, persekongkolan penawaran tender dan kartel dianggap merupakan tindakan
yang secara serius memberikan pengaruh negatif bagi ekonomi nasional.1 Bid rigging
dalam industri konstruksi merupakan salah satu akar penyebab korupsi di kalangan
kaum politikus dan pejabat negara. Hal ini akan mengakibatkan kerugian, karena
masyarakat pembayar pajak harus membayar beban biaya konstruksi yang tinggi.2
Demikian pula di Indonesia, persekongkolan tender mengakibatkan kegiatan
pembangunan yang berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dikeluarkan secara tidak bertanggung jawab, dan pemenang tender yang
bersekongkol mendapatkan keuntungan jauh di atas harga normal, namun kerugian
tersebut dibebankan kepada masyarakat luas.3
Sehubungan dengan hal itu, pemerintah Indonesia saat ini berusaha
mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih, sebagai upaya mewujudkan sistem
pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, sehingga menimbulkan
kewibawaan di sektor lainnya terutama dalam hal penegakan hukum. Salah satu
upaya mewujudkan keinginan tersebut, pemerintah menetapkan Keputusan Presiden
Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah. Pembentukan peraturan ini bertujuan agar pengadaan barang/jasa instansi
Pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien, dengan prinsip persaingan
sehat, transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil dan layak bagi semua pihak
terkait, sehingga hasilnya dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi fisik,
keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan
1 Kazuhiko Takeshima (Chairman Fair Trade Commission of Japan), The Lessons from Experience of
Antimonopoly Act in Japan and the Future of Competition Laws and Policies in East Asia, disajikan
dalam The 2nd East Asia Conference on Competition Law and Policie (Toward Effective
Implementation of Competition Policies in East Asia), Bogor, 3-4 Mei 2005.
2 Naoki Okatani, “Regulations on Bid Rigging in Japan, The United States and Europe”, Pacific Rim
Law & Policy Journal, March, 1995, h. 251.
3 ”Persekongkolan Tender Pemerintah Kian Parah”, Suara Karya, 17 Oktober 2001.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
3
masyarakat.4 Pasal 10 Keputusan Presiden tersebut menyatakan, bahwa panitia
pengadaan wajib dibentuk untuk semua pengadaan dengan nilai di atas Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), artinya bahwa semua pengadaan proyek di atas
nilai tersebut harus dilakukan melalui penawaran umum. Ketentuan ini menyebabkan
banyaknya proyek-proyek yang harus dilakukan dengan cara melakukan penawaran
tender, sehingga makin besar pula kemungkinan terjadinya persekongkolan
penawaran tender.5
Mengingat dampak yang ditimbulkan dari tindakan persekongkolan tender
sangat signifikan bagi pembagunan ekonomi nasional dan iklim persaingan yang
sehat, pengaturan masalah penawaran tender tidak hanya diatur dalam Undangundang
tentang Pengadaan Barang dan/Jasa, tetapi juga diatur dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat. Larangan persekongkolan tender diatur dalam Hukum Persaingan
karena secara prinsipial terdapat empat (4) kategori kegiatan yang dilarang, yakni
penetapan harga, pembatasan atas produksi atau pasokan (limitation of production or
supply), pembagian wilayah pasar, dan persekongkolan tender (bid rigging).6
Pembahasan ini akan menitik-beratkan pada analisis yuridis persekongkolan
penawaran tender berdasarkan Hukum Persaingan Usaha, karena berdasarkan laporan
yang masuk ke KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), lebih dari separuh
laporan tersebut berkaitan erat dengan persekongkolan penawaran tender. Bahkan
tidak jarang perkara yang dihadapi oleh KPPU dapat dikategorikan sebagai kasus
korupsi yang melibatkan lembaga maupun oknum pemerintah yang mengakibatkan
kerugian negara triliunan rupiah.
4 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, bagian “Menimbang”. Lihat pula Pasal 3 tentang Prinsip Dasar Pengadaan Barang/Jasa.
5 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 telah mengalami empat kali perubahan melalui
Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2004, kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 32
Tahun 2005, dan kemudian dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005, serta perubahan
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006.
6 Julian Joshua, “Breaking Up the Hard Core: The Prospects for the Proposed Cartel Offence”,
Criminal Law Review, 2002, p. 942.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
4
B. Mekanisme Persekongkolan Penawaran Tender
Pengertian tender atau lelang diartikan sebagai serangkaian kegiatan untuk
menyediakan kebutuhan barang dan/atau jasa yang seimbang dan memenuhi syarat,
berdasarkan peraturan tertentu yang ditetapkan oleh pihak terkait. Oleh karena itu,
dalam hal ini dikatakan, bahwa tujuan utama pelaksanaan penawaran tender adalah
memberikan kesempatan yang seimbang bagi semua penawar, sehingga
menghasilkan harga yang paling murah dengan output yang maksimal. Meskipun
secara umum diakui, bahwa harga murah bukanlah semata-mata ukuran untuk
menentukan kemenangan dalam pengadaan barang dan/jasa, namun melalui
mekanisme penawaran tender sedapat mungkin dihindarkan kesempatan untuk
melakukan konspirasi di antara para pesaing, atau antara penawar dengan panitia
penyelenggara lelang.
Konspirasi atau persekongkolan dalam penawaran umum diartikan sebagai
bentuk perjanjian kerjasama di antara para penawar yang seharusnya bersaing,
dengan tujuan memenangkan peserta tender tertentu. Perjanjian ini dapat dilakukan
oleh satu atau lebih peserta lelang yang setuju untuk tidak mengajukan penawaran,
atau oleh para peserta lelang yang menyetujui satu peserta dengan harga yang lebih
rendah, dan kemudian melakukan penawaran dengan harga di atas harga perusahaan
yang direkayasa sebagai pemenang. Kesepakatan semacam ini bertentangan dengan
proses pelelangan yang wajar, karena penawaran umum dirancang untuk menciptakan
keadilan dan menjamin dihasilkannya harga yang murah dan paling efisien.7 Oleh
karena itu, persekongkolan dalam penawaran tender dianggap menghalangi
terciptanya persaingan yang sehat di kalangan para penawar yang beriktikad baik
untuk melakukan usaha di bidang bersangkutan. Berkaitan dengan hal ini, UNCTAD
menetapkan, bahwa “Tender kolusif pada dasarnya bersifat anti persaingan, karena
dianggap melanggar tujuan penawaran tender yang sesungguhnya, yaitu mendapatkan
7 R. Shyam Khemani et.al., A Framewok for the Design and Implementation of Competition Law and
Policy (Washington DC. And Paris: The World Bank and Organization for Economic Co-operation
and Development=OECD, 1999), h. 23.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
5
barang atau jasa dengan harga dan kondisi yang paling menguntungkan pihak
penyelenggara.”8
Dalam prakteknya terdapat beberapa mekanisme (metode) beroperasinya
persekongkolan penawaran tender, antara lain:
1. Tekanan terhadap penawaran (Bid Suppression), artinya bahwa satu atau lebih
penawar setuju untuk menahan diri untuk tidak mengikuti pelelangan, atau
menarik penawaran yang telah diajukan sebelumnya, agar penawar lain dapat
memenangkan pelelangan itu.9
2. Penawaran yang Saling Melengkapi (Complementary Bidding), yaitu
kesepakatan di antara para penawar di mana dua atau lebih penawar setuju
terhadap siapa yang akan memenangkan penawaran. Pemenang yang
dirancang kemudian mengatakan kepada penawar lain mengenai harga yang
direncanakan, sehingga mereka akan melakukan penawaran dengan harga
yang lebih tinggi. Sebaliknya, pemenang yang dirancang akan memerintahkan
penawar lain untuk menawar di tingkat harga yang ditentukan, sehingga harga
penawaran calon pemenang menjadi lebih rendah dari pada pesaing yang lain.
Tindakan tersebut menciptakan kesan seolah-olah terdapat persaingan
sesungguhnya di antara mereka, sehingga kontraktor yang dirancang berhasil
memenangkan tender.10
3. Perputaran Penawaran atau Arisan Tender (Bid Rotation), adalah pola
penawaran tender di mana satu dari penawar setuju untuk kembali sebagai
penawar yang paling rendah. Dalam hal ini, penawar tender lain (selain
pemenang yang sudah ditentukan sebelumnya), secara bersama-sama akan
menawar setinggi-tingginya, sebelum sampai pada gilirannya untuk
8 Sacker dan Lohse, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business
Competition (GTZ-Katalis Publishing, 2000), h. 313.
9 R. Shyam Khemani et.al., Loc. Cit.
10 Kara L. Haberbush, “Limiting the Government’s Exposure to Bid Rigging Schemes, a Critical Look
at the Sealed Bidding Regime”, Public Contract Law Journal, 2000, h. 99.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
6
memenangkan tender. Seringkali perputaran (arisan) ini menetapkan adanya
jaminan, bahwa mereka akan mendapat giliran untuk memenangkan tender.
Kadangkala dalam beberapa pola semacam ini, terdapat perjanjian untuk
mengantisipasi, bahwa penawar yang “kalah” dalam tender akan menjadi subkontraktor
bagi pihak yang dimenangkan.11
4. Pembagian Pasar (Market Division), adalah pola penawaran tender yang
terdiri dari beberapa cara untuk memenangkan tender melalui pembagian
pasar. Melalui metode ini, para penawar dapat merancang wilayah geografis
maupun pelanggan tertentu, sehingga jika terdapat kontrak di wilayah tertentu,
seluruh penawar sudah mengetahui penawar mana yang akan memenangkan
tender.12
Dalam semua pola penawaran tersebut di atas, pemenang tender, atau penawar
yang lebih murah, dapat mengamankan kesepakatannya melalui pembayaran
langsung terhadap para penawar lainnya. Pembayaran tersebut dapat berujud
pembayaran sejumlah uang atau melakukan perjanjian sub-kontraktor dengan
penawar yang kalah. Namun demikian, tindakan ini sangat beresiko, karena
bagaimanapun juga perjanjian tersebut adalah ilegal. Melalui aktivitas tersebut,
kontraktor dapat dianggap menghambat atau melarang sub-kontraktor menjual
jasanya secara langsung kepada pemerintah, di mana hal ini bertentangan dengan
hukum. Segala macam komisi yang terkandung di dalam transaksi antara kontraktor
dan sub-kontraktor dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Berbagai pola persekongkolan penawaran tender tersebut di atas akan lebih
mudah dilakukan dalam kegiatan usaha tertentu yang memiliki fasilitas kartel.
Pendapat ini didasarkan pada beberapa alasan, antara lain, pertama, struktur pasar
11 Ibid., h.100. Bandingkan dengan pandangan lain yang membagi pola bid rigging ke dalam jenisjenis
berikut: Bid Suppression, Complimentary Bidding, Bid Rotation, dan Subcontracting. Lihat
Daniel R. Karon, “Price Fixing, Market Allocation and Bid Rigging Conspiracies: How Counsel
Your Clients to Detect Violations and Inform You of Potential Claims”, American Journal of Trial
Advocacy, 2001, p. 249.
12 Ibid., h. 100.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
7
kartel menyediakan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan untuk berkomunikasi
satu sama lain. Dalam hal ini, terdapat pula kemudahan bagi perusahaan-perusahaan
untuk membuat perjanjian, misalnya di mana industri-industri memiliki fasilitas
melakukan pertemuan melalui asosiasi, dan memiliki sebuah forum yang dapat
dipakai untuk menutupi kegiatan pertemuan mereka. Pemerintah kadangkala
memberikan fasilitas tersebut melalui pertemuan pra lelang (prebid meetings).
Kedua, pasar bersifat sedemikian rupa sehingga perusahaan-perusahaan dapat
mendeteksi kegagalan dalam mematuhi suatu kesepakatan, karena ketidak-patuhan
dianggap sebagai penipuan. Cara yang paling sederhana bagi perusahaan untuk
mendeteksi adanya penipuan adalah dengan menghadiri pembukaan lelang. Sebagian
besar lelang umumnya bersifat terbuka bagi publik, sehingga para pihak yang
bersaing dapat mengetahui jika terdapat anggota konspirasi yang ternyata
memberikan penawaran harga lebih rendah dari pada harga yang telah disepakati
sebelumnya. Kemampuan untuk mendeteksi adanya penipuan itu cukup penting guna
mendeteksi keberhasilan suatu kartel. Segala hal yang memudahkan untuk
mendeteksi secara cepat adanya perusahaan yang menipu akan dapat meningkatkan
wibawa kartel.
Ketiga, kartel harus dapat menghukum perusahaan yang melakukan penipuan.
Sebagai contoh misalnya, sebuah perusahaan yang melakukan penipuan akan dipecat
keanggotaannya dalam kartel, sehingga para anggota kartel dapat melakukan
penawaran yang lebih rendah dari anggota yang dikeluarkan guna menghukum atau
membangkrutkan perusahaan yang melakukan penipuan tersebut. Cara lainnya
adalah, para anggota kartel dapat mempengaruhi para sub-kontraktor dan para
pemasok agar menolak untuk bertransaksi dengan perusahaan penipu, agar
perusahaan tersebut tidak mampu memenuhi kewajiban dalam perjanjian.
Keempat, perjanjian lebih mudah untuk dilanggar jika kesepakatan tersebut
hanya menyangkut satu masalah tertentu, misalnya mengenai harga. Jika undangan
lelang mengandung berbagai macam faktor selain harga, maka kartel harus dapat
meyakinkan para anggotanya untuk menyepakati keseragaman faktor-faktor tersebut.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
8
Jika tidak, maka pemenang yang dirancang, yang menawar dengan harga terendah,
dapat dikalahkan penawar lain didasarkan atas faktor-faktor lain selain harga,
misalnya mutu atau kualitas barang dan/atau jasa yang ditawarkan.
Dari uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan peraturan yang menjamin
keterbukaan dan keadilan, artinya bahwa tender harus dilakukan secara umum,
persyaratan yang jelas dan tidak bersifat diskriminatif terhadap para penawar.
Berkaitan dengan hal ini, diperlukan juga kejujuran pihak penyelenggara dalam
melakukan pelelangan, sehingga tidak terjadi konspirasi antara panitia dan penawar.
Demikian pula perlu pencegahan ikut sertanya kartel dalam suatu penawaran, karena
hal ini berakibat pelelangan tidak akan berjalan secara wajar dan adil.
C. Pengaturan Persekongkolan Penawaran Tender di Beberapa Negara Asia
Uraian di atas menunjukkan, bahwa dampak persekongkolan tender
mengakibatkan kerugian yang signifikan, baik terhadap pelaku usaha pesaing maupun
kepada masyarakat secara luas. Oleh karena itu, hampir semua negara menganggap
perlu melarang tegas aktivitas tersebut. Bahkan, sudah sejak lama menganggap
perjanjian di antara para penawar untuk tidak bersaing sebagai tindakan curang
(fraudulent).13 Namun demikian, dalam perkembangannya tidak mudah bagi lembaga
pengawas persaingan maupun pengadilan untuk menetapkan aktivitas tertentu sebagai
persekongkolan tender (bid rigging).
Larangan persekongkolan tender diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1999.
Istilah persekongkolan atau konspirasi usaha diartikan sebagai “bentuk kerjasama
yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk
menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.”14
Pemahaman ini agak berbeda dengan pengertian persekongkolan tender dalam UU
Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 22 yang menyatakan, bahwa “pelaku usaha dilarang
13 Robert E. Connolly, “Do Schemes to Rig Bids and/or Fix Prices Constitute Fraud?”, Practising Law
Institute, 1992, p. 499.
14 Lihat Pasal 1 angka 8 UU Nomor 5 Tahun 1999.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
9
bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang
tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”
Perbedaan tersebut adalah, bahwa Pasal 22 mencantumkan adanya pihak lain selain
pelaku usaha dalam persekongkolan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 22 tersebut, dapat dikatakan bahwa ketentuan
tentang persekongkolan tender terdiri atas beberapa unsur, yakni unsur pelaku
usaha15, bersekongkol, adanya pihak lain, mengatur dan menentukan pemenang
tender, serta persaingan usaha tidak sehat. Istilah “pelaku usaha” diatur dalam Pasal 1
angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999.16 Adapun istilah “bersekongkol” diartikan sebagai
kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun
dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan peserta tender tertentu.17 Di
samping itu, unsur “bersekongkol” dapat pula berupa:
1. kerjasama antara dua pihak atau lebih;
2. secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian
dokumen dengan peserta lainnya;
3. membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan;
4. menciptakan persaingan semu;
5. menyetujui dan atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan;
6. tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya
mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka
memenangkan peserta tender tertentu;
15 Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, bahwa pelaku usaha adalah setiap orang
perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi.
16 Pasal 1 angka 4 UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, bahwa pelaku usaha adalah setiap orang
perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
17 Pedoman KPPU tehadap Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender, h. 8.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
10
7. pemberian kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender atau pihak
terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang
mengikuti tender, dengan cara melawan hukum.18
Kerjasama antara dua pihak atau lebih dengan diam-diam biasanya dilakukan
secara lisan, sehingga membutuhkan pengalaman dari lembaga pengawas persaingan
guna membuktikan adanya kesepakatan yang dilakukan secara diam-diam. Dalam
penawaran tender yang dikuasai oleh kartel akan semakin mempersulit upaya
penyelidikan ini, kecuali terdapat anggota yang “berkhianat” membongkar adanya
persekongkolan tersebut.
Adanya unsur “pihak lain” menunjukkan bahwa persekongkolan selalu
melibatkan lebih dari satu pelaku usaha. Pengertian pihak lain dalam hal ini meliputi
para pihak yang terlibat, baik secara horisontal maupun vertikal dalam proses
penawaran tender. Pola pertama adalah persekongkolan horisontal, yakni tindakan
kerjasama yang dilakukan oleh para penawar tender, misalnya mengupayakan agar
salah satu pihak ditentukan sebagai pemenang dengan cara bertukar informasi harga
serta menaikkan atau menurunkan harga penawaran. Dalam kerjasama semacam ini,
pihak yang kalah diperjanjikan akan mendapatkan sub kontraktor dari pihak yang
menang. Sebagai contoh persekongkolan horisontal adalah kasus yang melibatkan
beberapa perusahaan yang beroperasi di bidang pengadaan jasa konstruksi minyak
bumi. Perkara ini berawal dari penawaran tender pengadaan pipa casing dan tubing
yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dengan menetapkan persyaratan baru,
sehingga tidak semua peserta tender yang biasanya dapat ikut serta dalam penawaran
memenuhi persyaratan.19 Persyaratan tersebut antara lain mengharuskan para penawar
(bidders) memiliki semua items, yang terdiri dari high grade dan low grade, padahal
tidak semua penawar memiliki kedua fasilitas tersebut, sehingga penawar yang
18 Lihat Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender oleh KPPU, 2005, hal. 8.
19 Putusan Nomor 01/KPPU-L/2000 tentang Persekongkolan Penawaran Tender Pengadaan Pipa
Casing dan Tubing.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
11
memenuhi persyaratan hanya mengarah pada dua perusahaan besar, meskipun pada
akhirnya salah satu dari kedua perusahaan mengundurkan diri sebagai penawar.
Berkaitan dengan hal ini, perusahaan minyak bumi sebagai pelaksana tender (PTCPI)
mengemukakan alasan, bahwa persyaratan itu merupakan kebijakan untuk
melakukan efisiensi secara menyeluruh, guna menekan tingkat persediaan (inventory
level), biaya pengadaan (procurement cost), dan lamanya pengadaan (cycle time)
barang.
Proses penawaran tersebut tetap dilaksanakan, karena pihak yang tidak
memiliki fasilitas lengkap tetap dapat melakukan penawaran dengan persyaratan,
bahwa mereka harus mendapatkan supporting letter dari perusahaan yang memenuhi
persyaratan lengkap. Namun adanya persyaratan ini dimanfaatkan oleh mereka untuk
melakukan kerjasama, dengan cara melakukan pertemuan rahasia dengan agenda
saling bertukar informasi, yakni di satu sisi penawar harus menunjukkan harga
penawaran agar mendapatkan supporting letter dari penawar yang memiliki fasilitas
lengkap. Tindakan ini bertentangan dengan Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999, yakni ketentuan tentang persekongkolan, sehingga KPPU memerintahkan PTCPI
untuk menghentikan kegiatan tersebut.
Pola yang kedua adalah persekongkolan tender secara vertikal, artinya bahwa
kerjasama tersebut dilakukan antara penawar dengan panitia pelaksana tender. Dalam
hal ini, biasanya panitia memberikan berbagai kemudahan atas persyaratanpersyaratan
bagi seorang penawar, sehingga dia dapat memenangkan penawaran
tersebut. Kasus seperti ini pernah terjadi dalam perkara penawaran tender pengadaan
sapi bakalan kereman yang dilaksanakan Dinas Peternakan Pemerintah Propinsi Jawa
Timur. Perkara mengenai pengadaan sapi bakalan kereman impor yang melibatkan
Koperasi Pribumi Indonesia (KOPI), didasarkan pada Putusan Nomor 7/KPPULI/
2001 adalah bermula dari pengumuman tender secara terbuka di berbagai media
massa oleh panitia penyelenggara. Sejak awal pendaftaran sampai diputuskannya
pemenang tender, panitia telah mengisyaratkan bahwa proyek tersebut dimenangkan
oleh KOPI. Rekayasa tersebut terlihat dari beberapa cara, antara lain membolehkan
www.legalitas.org
www.legalitas.org
12
KOPI mengikuti pelelangan meskipun tidak memiliki Tanda Daftar Rekanan (TDR),
tidak memenuhi persyaratan administratif maupun syarat lainnya, seperti pengalaman
impor sapi dari Australia, dan keterlambatan kehadiran KOPI pada saat
berlangsungnya penawaran. Meskipun tidak memenuhi persyaratan tersebut, KOPI
bersama-sama dengan Pejabat Dinas Peternakan dan beberapa anggota DPRD
melakukan perjalanan ke Australia, untuk melakukan survey atas kondisi sapi yang
akan diimpor ke Indonesia. Pada akhirnya, panitia menunjuk KOPI sebagai pelaksana
dari proyek pengadaan sapi impor tersebut, meskipun koperasi tersebut tidak
memenuhi persyaratan RKS (Rencana Kerja dan Syarat-syarat) pada penawaran
lelang terdahulu, seperti pemilikan kandang berkapasitas 5000 ekor sapi, pengalaman
impor sapi dan sebagainya. Penunjukan ini dilakukan hanya berdasarkan rapat di
antara panitia lelang, Satuan Petugas (Satgas), dan Kepala Dinas Peternakan. Mereka
melakukan penunjukan langsung melalui Negosiasi Harga dan Teknis, yang isinya
antara lain mengesampingkan persyaratan administrasi maupun teknis. Semua fakta
yang disertai dengan bukti-bukti yang mendukung di atas mengarah pada terjadinya
persekongkolan yang didasarkan Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pola ketiga adalah persekongkolan horisontal dan vertikal, yakni
persekongkolan antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan
jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang
dan jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam
proses tender, misalnya tender fiktif yang melibatkan panitia, pemberi pekerjaan, dan
pelaku usaha yang melakukan penawaran secara tertutup. Sebagai contoh jenis tender
ini adalah Tender Proyek Multi Years di Riau.20 Dugaan bermula dari adanya
penawaran tender proyek multi years yang terdiri dari 9 paket pekerjaan, oleh
Pemerintah di Bidang Prasarana Jalan Propinsi Riau dengan dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2004. Panitia memfasilitasi bidder tertentu
20 Putusan Perkara Nomor 06/KPPU-I/2005 tentang Persekongkolan Tender Proyek Multi Years di
Riau.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
13
dengan cara mengundurkan waktu pengembalian dokumen penawaran, serta
memfasilitasi para bidder lainnya untuk melakukan kerja sama semu dengan cara
mengundurkan waktu pengembalian dokumen prakualifikasi. Atas beberapa kegiatan
yang dilakukan panitia tender, pejabat yang bersangkutan dengan beberapa bidder
dikenakan Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999.
Mengingat dampak yang ditimbulkan atas adanya persekongkolan tender
sangat signifikan, beberapa negara menganggap perlu mengatur tindakan tersebut
dalam undang-undang. Sebagai contoh adalah Vietnam, yang mengatur tindakan
terlarang dalam The Competition Law No. 27 Tahun 2004. Larangan mengenai
persekongkolan tender diatur dalam Chapter II, Section 1, Article 8 (8) tentang
“Competition Restriction Agreement” yang menyatakan, “convining to enable one or
all of the parties of the agreement to win bids for supply of goods or provision of
services”. Demikian juga Thailand, mengatur larangan persekongkolan tender dalam
Thailand Competition Act, B. E. 2542 (1999), Chapter III tentang Anti Monopoly,
Section 27 (4) yang menyatakan:
“Any business operator shall not enter into an agreement with another
business operator to do any act amounting to monopoly, reduction of
competition or restriction of competition in the market of any particular
goods or any particular service in any of the following manners: fixing an
agreement or condition in a collusive manner in order to enable one party to
win bid or a tender for the sale of goods or services or to prevent the other
party from competing in a bid or tender for the sale of goods or services.”21
Adapun pengaturan bid rigging di Jepang terdapat dalam the Japanese
Antimonopoly Act (the AMA) Article 2 (6), yang mendefinisikan:
“unreasonable restraint of trade as used in this Act shall mean such business
activities, by which any enterpreuneur, by contract, agreement or any other
21 Sakda Thanicul, “Competition Law in Thailand: a Preliminary Analysis”, Washington University
Global Studies Law Review, 2002, p. 178.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
14
concerted actions, irrespective of its names, with other entrepreneurs,
mutually restrict or conduct their business activities in such a manner as to
fix, maintain, or increase prices, or to limit production, technology, products,
facilities, or customers or suppliers, thereby causing, contrary to the public
interest, a substantial restraint of competition in any particular field of
trade”.
Istilah concerted action diartikan sebagai implied agreements (perjanjian
terselubung) atau komunikasi yang saling menguntungkan di antara para pihak.
Maksud dari perjanjian terselubung (diam-diam) tersebut dapat dibuktikan dengan
bukti-bukti yang secara tidak langsung menunjukkan adanya perjanjian. Berkaitan
dengan hal ini, JFTC menemukan concerted action sebagai perjanjian penetapan
harga dalam tender minyak. Pengadilan Tinggi Tokyo menguatkan putusan JFTC,
yang menyatakan bahwa “it is obvious that we can reasonably find the same facts
regarding price fixing agreement as the FTC’s decision if we examine the evidence
listed in the FTC’s decision as a whole. Therefore, the fact finding of the defendant
does not conflict with reasonable inference.”22
Sebagai pelaksanaan Article 2.6 the AMA tersebut di atas, pada tahun 1984
Japanese Fair Trade Commission (JFTC) membentuk “Guidelines under
Antimonopoly Law for Activities of Trade Associations” (Construction Industry
Guidelines).23 Di samping itu, mengingat banyak kasus bid rigging yang melibatkan
asosiasi dagang, maka pada tanggal 5 Juli 1994 JFTC juga membentuk “Guidelines
concerning the Activities of Firms and Trade Associations with Regard to Public
Bids”. Pada tahun 1997 juga menerbitkan “Guidelines under the Antimonoply Law
22 Hiroshi Iyori, “A Comparison of U.S.- Japan Antitrust Law: Looking at The International
Harmonization of Competition Law”, Pacific Rim Law & Policy Journal, 1995, p.74. Lihat
Judgment of Feb. 9, 1956 (Nihon Sekiyu K.K. v. K-osei Torihiki I’inkai), Tokyo K-osai (High
Court) 7 Gy-osh-u 2949.
23 Jon R. Gray, “Open-Competitive Bidding in Japan’s Public Works Sector and Foreign Contractor
Access: Recent Reforms are Unlikely to Meet Expectation”, Columbia Journal of Asian Law,
1996, p. 453.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
15
for Activities of Trade Associations”. Maksud pengaturan ini adalah untuk mencegah
asosiasi-asosiasi dagang yang bertindak sebagai koordinator dalam persekongkolan
tender dan perilaku lain yang menghambat persaingan.
Didasarkan pada peraturan-peraturan pelaksanaan tersebut, maka JFTC
menempuh beberapa tindakan yang bertujuan mencegah berkembangnya
persekongkolan tender. Tindakan-tindakan tersebut antara lain, pertama,
mengeliminasi ukuran-ukuran pelanggaran hukum. Khususnya, mewajibkan para
pelanggar untuk membatalkan perjanjian penawaran yang dibuat oleh perusahaan dan
mengumumkannya di koran dan media lainnya. Sebagai tambahan, JFTC juga
memerintahkan untuk menghentikan kegiatan dan mewajibkan pihak pelanggar untuk
melaporkannya ke JFTC. Kedua, menetapkan denda administratif, dengan cara
mengenakan pajak tambahan atas produk dari penawar yang dimenangkan. Besarnya
biaya ini adalah 6% dari harga penawaran yang dimenangkan untuk perusahaan
besar, dan 3% untuk perusahaan menengah dan kecil. Ketiga, JFTC dapat
menetapkan denda pidana terhadap kegiatan yang melanggar Hukum Antimonopoli.
Guna merealisir hal ini, pada tanggal 20 Juni 1990 JFTC membentuk standart
penuntutan dalam “Guidelines of the Fair Trade Commission Concerning
Accusations of Violations of the Antimonoply Law”. Sebagai hukuman pidana,
tersangka dapat dikenakan denda maksimal sebesar YEN 5 juta atau hukuman penjara
maksimal tiga tahun. Di lain pihak, perusahaan yang terlibat bid rigging dapat
dikenakan hukuman sebesar dua kali lipat atau denda maksimal YEN 100 juta.24
Kondisi tersebut menunjukkan, bahwa pelanggaran terhadap persekongkolan tender
dapat dikenakan baik denda administrative maupun pidana.
Unsur bid rigging yang lain adalah “mengatur dan atau menentukan
pemenang tender”. Unsur ini diartikan sebagai suatu perbuatan para pihak yang
terlibat dalam proses tender secara bersekongkol, yang bertujuan untuk
menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya dan/atau untuk memenangkan
24 Naoki Okatani, Op. Cit., h. 254-255.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
16
peserta tender tertentu dengan berbagai cara. Pengaturan dan/atau penentuan
pemenang tender tersebut meliputi, antara lain menetapkan kriteria pemenang,
persyaratan teknik, keuangan, spesifikasi, proses tender, dan sebagainya. Pengaturan
dan penentuan pemenang tender dapat dilakukan secara horisontal maupun vertikal,
artinya baik dilakukan oleh para pelaku usaha atau panitia pelaksana.
Unsur yang terakhir dari ketentuan tentang persekongkolan adalah terjadinya
“persaingan usaha tidak sehat”.25 Unsur ini menunjukkan, bahwa persekongkolan
menggunakan pendekatan rule of reason, karena dapat dilihat dari kalimat
“…sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
Pendekatan rule of reason merupakan suatu pendekatan hukum yang digunakan
lembaga pengawas persaingan untuk mempertimbangkan faktor-faktor kompetitif dan
menetapkan layak atau tidaknya suatu hambatan perdagangan. Artinya untuk
mengetahui apakah hambatan tersebut bersifat mencampuri, mempengaruhi, atau
bahkan mengganggu proses persaingan.26
Pendekatan rule of reason dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang
harus diterapkan terhadap persekongkolan tender ini akan lebih menyulitkan pihak
KPPU dalam proses penyelikannya. Hal ini mengingat persekongkolan tender di
banyak negara umumnya adalah menggunakan pendekatan per se illegal, yakni
dengan cara membuktikan adanya kesepakatan kolusif maka pihak pengawas dapat
menjatuhkan denda atau sanksi administratif terhadap para pelaku usaha yang
melakukannya. Sebagai contoh, hukum antitrust Amerika Serikat menetapkan bahwa
kolaborasi di antara pesaing yang merupakan kesepakatan horisontal harus ditetapkan
sebagai per se illegal.27 Demikian pula ketika JFTC menetapkan “The Guidelines
Concerning Distribution Systems and Business Practices” di tahun 1991, menyatakan
25 Lihat Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
26 E. Thomas Sullivan dan Jeffrey L. Harrison, Understanding Antitrust and Its Economic
Implications (New York: Matthew Bender & Co., 1994), p. 85.
27 Toshiaki Tokigawa, “The Prospect of Antitrust Law and Policy in the Twenty-First Century: in
Reference to the Japanese Antimonopoly Law and Japan Fair Trade Commission”, Washington
University Global Studies Law Review, 2002, p. 279.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
17
bahwa jenis kolaborasi seperti kesepakatan kartel dan bid rigging adalah illegal.28
Bahkan, di negara-negara yang tidak memiliki undang-undang persaingan seringkali
mengatur tentang penawaran tender secara khusus. Kebanyakan negara
memperlakukan tender kolusif lebih ketat daripada perjanjian horisontal lainnya,
karena mengandung unsur kecurangan dan berakibat merugikan terhadap
pembelanjaan pemerintah dan anggaran negara.29
D. Prosedur Penegakan Hukum dalam Persekongkolan Tender
Pemeriksaan perkara persekongkolan tender oleh Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) diawali dari adanya laporan (dari masyarakat maupun
pelaku usaha lain)30 atau inisiatif31 lembaga ini. Laporan ini didasarkan adanya
indikasi terjadinya persekongkolan tender. Adanya indikasi tersebut merupakan dasar
dilakukannya pemeriksaan pendahuluan.32 Dalam tahap ini, Majelis Komisi dapat
memanggil pelapor dan/atau terlapor untuk dimintai keterangannya. Jika Majelis
memiliki dugaan kuat terjadinya persekongkolan tender, pemeriksaan dilanjutkan
pada pemeriksaan lanjutan.33 Sepanjang masa pemeriksaan lanjutan, Majelis Komisi
dapat memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi persekongkolan tender.34 Putusan
dibacakan dalam sidang terbuka yang terbuka untuk umum dan segera diberitahukan
kepada pelaku usaha.35 Apabila tidak terdapat keberatan, putusan Komisi telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan dapat dimintakan penetapan eksekusi
kepada Pengadilan Negeri.36
28 Ibid., h. 281.
29 Sacker and Lohse, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business
Competition, GTZ-Katalis Publishing, 2002, h. 313.
30 Pasal 38 UU Nomor 5 Tahun 1999.
31 Pasal 40 UU Nomor 5 Tahun 1999.
32 Pasal 39 UU Nomor 5 Tahun 1999.
33 Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU Nomor 5 Tahun 1999.
34 Pasal 43 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1999.
35 Pasal 43 ayat (4) UU Nomor 5 Tahun 1999.
36 Pasal 46 UU Nomor 5 Tahun 1999.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
18
Demikian halnya dengan lembaga pengawas persaingan usaha di Jepang yang
dipegang oleh JFTC, yakni suatu lembaga administratif independen dan bersifat quasi
yudisial. Meskipun tidak memiliki kekuasaan setingkat Menteri, namun JFTC
memiliki otoritas paling kuat dalam penegakan hukum anti monopoly di Jepang (the
AMA). Tugas lembaga tersebut meliputi penyelidikan terhadap adanya pelanggaran
yang dilaporkan masyarakat, menetapkan hukuman denda, sampai dengan
penghentian kegiatan yang dianggap melanggar the AMA.37
Putusan KPPU dapat dimintakan keberatan di Pengadilan Negeri. Prosedur
pengajuan keberatan ke Pengadilan Negeri dilakukan pelaku usaha selambatlambatnya
14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.38 Berdasarkan
putusan Pengadilan Negeri tersebut, pihak yang keberatan dapat mengajukan kasasi
kepada Mahkamah Agung.39 Demikian pula dengan penegakan hukum antimonopoly
di Jepang, putusan JFTC dapat dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi. Jika
putusan JFTC dianggap tidak konstitusional atau kurang bukti-bukti, maka
pengadilan dapat membatalkan putusan JFTC. Sampai saat ini, dari 34 putusan JFTC
yang dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi, 29 putusan dikuatkan oleh
Pengadilan Tinggi, 4 putusan dibatalkan dan dikembalikan ke JFTC, satu di
antaranya sampai ke Mahkamah Agung Jepang.40
Sampai saat ini di Indonesia terdapat tiga perkara persekongkolan tender ke
tingkat pengadilan, bahkan dua di antaranya telah diputuskan oleh Mahkamah Agung,
yakni penjualan saham PT Indomobil dan penjualan kapal VLCC milik PT Pertamina
(Persero). Perkara pertama, adalah berkaitan dengan penjualan saham PT Indomobil
Sukses Indonesia (PT IMSI). Perkara ini berawal dari inisiatif KPPU yang menilai
adanya kejanggalan dalam proses tender penjualan saham PT IMSI, antara lain, harga
yang dianggap terlalu rendah, jangka waktu pelaksanaan tender yang singkat, jumlah
37 James D. Fry, “Struggling to Teethe: Japan’s Antitrust Enforcement Regime”, Law and Policy in
International Business, 2001, p. 835.
38 Pasal 44 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1999.
39 Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1999.
40 James D. Fry, Op. Cit., h. 838.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
19
peserta tender amat terbatas, dan adanya pelanggaran prosedur pelelangan. Oleh
karena itu, berdasarkan Pasal 36 (b) dan Pasal 40 UU Nomor 5 Tahun 1999, KPPU
berwenang melakukan penelitian dan pemeriksaan tentang dugaan adanya kegiatan
usaha atau pelaku usaha, yang dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran Undangundang,
tanpa adanya laporan dari masyarakat.
Perkara ini melibatkan sepuluh pelaku usaha yang diduga melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999. Tindakan yang dilakukan
adalah bahwa mereka melakukan persekongkolan baik secara terang-terangan atau
diam-diam. Persekongkolan tersebut terlihat dengan cara menerima keikut-sertaan
tiga peserta tender yang merupakan anggota dalam konspirasi, meskipun mengetahui
bahwa ketiga peserta tersebut tidak memenuhi persyaratan prosedur penawaran tender
(Procedures for the Submission of Bid). Para pelaku usaha yang terlibat dalam
konspirasi juga dianggap secara bersama-sama melakukan pelanggaran, berupa
tindakan saling menyesuaikan dan atau membandingkan dokumen tender,
menciptakan persaingan semu, serta memfasilitasi tindakan untuk memenangkan
salah satu peserta sebagai pemenang tender. Dalam perkara ini, KPPU memutuskan
adanya pelanggaran atas Pasal 22 UU Anti monopoli dengan menjatuhkan sanksi
antara lain melarang beberapa pelaku usaha untuk mengikuti transaksi baru dalam
bentuk apapun dengan penyelenggara tender. Selain itu juga menghukum masingmasing
pelaku usaha untuk membayar denda dan atau sesuai tingkat
pelanggarannya.41
Di tingkat banding, Pengadilan Negeri Jakarta Barat membatalkan Putusan
KPPU melalui Putusan Nomor 001/KPPU/PDT.P/2002/ PN.Jkt.Bar. Adapun alasan
pengadilan adalah bahwa cakupan undang-undang anti monopoli hanya terbatas pada
tender untuk memborong pekerjaan, pengadaan barang atau penyediaan jasa. Oleh
karena itu, lazimnya dalam pengertian tender di sini adalah siapa yang dapat
41 Putusan Nomor 03/KPPU-I/2002 tentang Tender Penjualan Saham PT Indomobil Sukses
Indonesia, Tbk. (PT IMSI)
www.legalitas.org
www.legalitas.org
20
mengajukan harga penawaran terendah, maka akan ditunjuk sebagai pemenang.
Sedangkan perkara tersebut merupakan penjualan saham dan konversi obligasi
Indomobil, dan yang mengajukan penawaran tertinggi adalah salah satu peserta
tender, sehingga sudah selayaknya jika perusahaan tersebut ditunjuk sebagai
pemenang.
Di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung menguatkan Putusan Pengadilan Negeri
dengan alasan, bahwa Pengadilan Negeri tidak mempertimbangkan segi formal
Putusan KPPU Nomor 03/KPPU-I/2002.42 Adapun segi formal Putusan KPPU adalah
penggunaan irah-irah (kepala putusan) “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Hal ini mengingat, bahwa berdasarkan Pasal 30 UU Nomor 5 Tahun
1999, KPPU bukan badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UU
Nomor 14 Tahun 1970, dan KPPU juga tidak memiliki kewenangan secara khusus
dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 serta peraturan lainnya untuk memuat
irah-irah tersebut. Oleh karena itu, KPPU dianggap melampaui kewenangannya,
sehingga Putusan tersebut mengandung cacat hukum, dan karenanya harus
dinyatakan batal demi hukum.
Perkara kedua, adalah perkara Thames Jaya, adalah persekongkolan antara
panitia tender jasa pengamanan dengan salah satu penawar. Adanya konspirasi di
antara panitia dan peserta terlihat dengan tidak dipenuhinya asas keterbukaan, antara
lain tidak ada pengumunan tentang pemenang tender, dan tidak terdapat bukti
pendaftaran mengikuti pra-kualifikasi oleh penawar tertentu, namun penawar tersebut
dinyatakan sebagai pemenang. Atas tindakan tersebut, KPPU Putusan Perkara Nomor
05/KKPU-I/2004, menyatakan bahwa mereka melakukan pelanggaran terhadap Pasal
22 UU Nomor 5 Tahun 1999, menghukum yang bersangkutan untuk menghentikan
kegiatan penyediaan jasa pengamanan, serta membayar denda kepada panitia sebesar
satu milyar rupiah. Di tingkat banding, Pengadilan Negeri dalam putusannya Nomor
03/Pdt.KPPU/2004/PN Jak.Sel. menguatkan kembali Putusan KPPU dengan menolak
42 Putusan Perkara Nomor 04/KPPU/2002, JO. NO. 001/KPPU/ PDT.P/2002/PN.JKT
www.legalitas.org
www.legalitas.org
21
semua permohonan pelaku usaha. Pelaku usaha keberatan atas Putusan Pengadilan
Negeri dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang sampai sekarang masih
dalam proses pemeriksaan.
Perkara ketiga merupakan perkara yang akhir-akhir ini menjadi bahan
perbincangan di kalangan para pengamat bisnis adalah penjualan kapal tanker PT
Pertamina. Perkara bermula dari penjualan dua unit kapal Tanker Very Large Crude
Carrier (VLCC) milik Pertamina yang mengandung indikasi persekongkolan untuk
mengatur pemenang tender. Proses penawaran berawal dari penunjukan Goldman
Sachs (Singapura), Pte. sebagai penasihat keuangan oleh Pertamina, tanpa melalui
proses tender terbuka, yang sekaligus juga merupakan salah satu pemegang saham di
Frontline, Ltd. Dalam proses selanjutnya, Pertamina menyatakan Frontline, Ltd.
sebagai pemenang tender, meskipun perusahaan tersebut menawar dengan harga lebih
rendah daripada Essar yang merupakan penawar tertinggi, tetapi tidak mempunyai
komitmen untuk membayar uang muka sebesar 20%.
Penunjukan secara langsung Goldman Sachs sebagai penasihat keuangan dan
pengatur dalam divestasi VLCC oleh Pertamina merupakan perlakuan istimewa yang
diberikan kepada satu pelaku usaha. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 19 huruf d yang menyatakan, bahwa “melakukan praktek
diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu”. Di samping itu, dalam pemeriksaan
juga terbukti bahwa terdapat persekongkolan antara Pertamina dengan pelaku usaha
yang terlibat dalam penawaran tender, yakni Frontline, Ltd., Goldman Sachs, dan
Equinox. Persekongkolan tersebut dilakukan dengan cara terang-terangan maupun
diam-diam melalui tindakan penyesuaian dan atau membandingkan dokumen tender
sebelum penyerahan, atau dengan menciptakan persaingan semu dan menyetujui dan
memfasilitasi melakukan suatu tindakan meskipun sepatutnya mengetahui bahwa
tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta
tender tertentu.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, KPPU memutuskan, antara
lain, bahwa Pertamina terbukti melanggar Pasal 19 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1999
www.legalitas.org
www.legalitas.org
22
dalam hal penunjukan langsung Goldman Sachs (Singapore), Pte. sebagai penasihat
keuangan dan pengatur tender. Kedua perusahaan tersebut juga dinyatakan terbukti
melanggar Pasal 19 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam hal menerima
penawaran ketiga dari Frontline, Ltd. Adapun Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999
diterapkan pada PT Pertamina, Goldman Sachs (Singapore) Pte., Frontline, Ltd dan
Equinox.
Dalam Putusan Nomor 04/KPPU/2005/PN.JKT.PST, Pengadilan menyatakan,
antara lain, bahwa Pertamina pada akhirnya menunjuk Frontline, Ltd. sebagai
pemenang tender karena Essar tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan
oleh Pertamina sebagai pemenang tender, khususnya mengenai kewajiban
pembayaran uang muka sebesar 20%. Berdasarkan fakta, terungkap Essar menduduki
posisi pertama dengan penawaran US$ 183 juta, sedangkan Frontline Ltd. pada
peringkat kedua dengan penawaran US$ 175 juta. Adapun OSG menduduki peringkat
ketiga dengan penawaran US$ 162 juta. Adapun Goldman Sachs (Singapore), Pte.
tidak berkedudukan sebagai pelaku usaha, melainkan hanya sebagai penasihat
keuangan dan pengatur tender, sehingga tidak dapat dikenakan Pasal 19 huruf d UU
Nomor 5 Tahun 1999 yang bekerja sama dengan Pertamina memilih pemenang
tender.
Di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung Indonesia melalui Putusan Nomor
04K/KPPU/2005 menguatkan Putusan KPPU dan membatalkan Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Adapun alasan Mahkamah Agung menguatkan Putusan KPPU
antara lain adalah, bahwa PT Pertamina telah menunjuk langsung Goldman Sachs,
Pte. sebagai financial advisor dan arranger adalah bertentangan dengan SK 077
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pertamina/KPS/JOB/T.A.C
Bab IV huruf a angka 3 dan Keppres Nomor 18 Tahun 2000 jo. Keppres Nomor 80
Tahun 2003. Alasan lain yang menjadi pertimbangan Mahkamah Agung dalam
menguatkan Putusan KPPU adalah, bahwa PT Pertamina dan Goldman Sachs, Pte
tidak dibenarkan untuk menerima penawaran optional dari Frontline dengan harga
baru yang melebihi pemenang pertama, serta tidak memberi kesempatan kepada
www.legalitas.org
www.legalitas.org
23
bidder-bidder lain pesaingnya, seperti Essar dan OSG untuk memberikan penawaran
baru. Tindakan-tindakan tersebut merupakan pelanggaran atas Pasal 22 dan 19 huruf
d UU Nomor 5 Tahun 1999.
E. Sanksi dalam Hukum Anti Monopoli
Pelanggaran terhadap Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 dapat dikenakan
sanksi administrative maupun hukuman pidana. Sanksi administrative diatur
berdasarkan Pasal 47, sedangkan hukuman pidana pokok didasarkan Pasal 48, dan
pidana tambahan dalam Pasal 49.
Berdasarkan Pasal 47, KPPU memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi
administrative terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 22, berupa:
1. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha
tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.43
2. Penetapan pembayaran ganti rugi.44
3. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,- dan setinggitingginya
Rp.25.000.000.000,-.45
Pelanggaran terhadap Pasal 22 juga dapat dikenakan hukuman pidana pokok
berdasarkan Pasal 48 UU Nomor 5 Tahun 1999, berupa:
1. Pidana denda serendah-rendahnya Rp. 5.000.000.000,- dan setinggi-tingginya
Rp.25.000.000.000,-, atau pidana kurungan pengganti denda selama 5 bulan.46
2. Pidana denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,- dan setinggi-tingginya
Rp. 5.000.000.000,- atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3
bulan47, dalam hal pelaku usaha dan/atau menolak menyerahkan alat bukti
43 Pasal 47 ayat (2) butir c UU Nomor 5 Tahun 1999.
44 Pasal 47 ayat (2) butir f UU Nomor 5 Tahun 1999.
45 Pasal 47 ayat (2) butir g UU Nomor 5 Tahun 1999.
46 Pasal 48 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1999.
47 Pasal 48 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1999.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
24
yang diperlukan dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan atau menolak
diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam
penyelidikan dan/atau pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan
dan/atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan (2).
Di samping pidana pokok, pelanggaran terhadap Pasal 22 juga dapat dijatuhi
pidana tambahan sesuai yang diatur dalam Pasal 49 UU Nomor 5 Tahun 1999 sebagai
berikut:
1. pencabutan izin usaha, atau
2. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 tahun dan selama-lamanya 5 tahun, atau
3. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian pada pihak lain.
KPPU memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administrative
terhadap pelaku usaha, namun tidak memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi
administrative kepada pihak lain yang bukan pelaku usaha. Pihak lain yang bukan
pelaku usaha adalah penyelenggara tender dari instransi pemerintah, yang
kegiatannya berkaitan dengan kepentingan negara dan atau masyarakat umum dan
bukan untuk mencari keuntungan ekonomi. Dalam hal ini, KPPU hanya dapat
memberikan rekomendasi kepada atasan dari ketua panitia dan atau penyelenggara
tender, untuk melakukan pemeriksaan terhadap panitia dan penggunaan barang yang
bersangkutan, serta menjatuhkan sanksi administratif pada mereka. Rekomendasi
KPPU merupakan dasar bagi para atasan ketua panitia tender untuk melakukan
pemeriksaan sehubungan dengan adanya indikasi pelanggaran terhadap Keputusan
Presiden Nomor 18 Tahun 2000, Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, dan
kelaziman pelaksanaan tender yang sehat. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
menetapkan bahwa pengadaan barang dan atau jasa pemerintah harus memenuhi
www.legalitas.org
www.legalitas.org
25
antara lain prinsip terbuka dan bersaing, serta adil dan tidak diskriminatif.
Berdasarkan prinsip terbuka dan bersaing, pengadaan barang dan atau jasa harus
terbuka bagi semua penyedia barang dan jasa yang memenuhi persyaratan dan
dilakukan melalui persaingan sehat, berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas
serta transparan.48
Sedangkan sanksi pidana dapat diterapkan kepada pelaku usaha maupun
bukan pelaku usaha yang melakukan persekongkolan tender. Namun demikian, hanya
sanksi pidana pokok dan sanksi pidana tambahan berupa penghentian kegiatan atau
tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain, yang dapat
dijatuhkan terhadap pelaku usaha maupun bukan pelaku usaha yang melakukan
persekongkolan tender.49 Sedangkan sanksi pidana tambahan berupa pencabutan izin
usaha dan larangan menduduki jabatan Direksi atau Komisaris sekurang-kurangnya
dua tahun dan selama-lamanya lima tahun, hanya dapat dijatuhkan terhadap pelaku
usaha yang melakukan persekongkolan tender.50
Kegiatan persekongkolan tender yang mengandung dua sifat pelanggaran
hukum membawa konsekuensi penjatuhan sanksi administratif oleh KPPU, tidak
menghapuskan sifat pidana persekongkolan tender. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa penjatuhan sanksi administrative dan sanksi pidana bersifat alternative bagi
pelaku usaha. Dengan perkataan lain, penjatuhan sanksi administratif dan sanksi
pidana dapat dilakukan terhadap setiap pelaku usaha yang terbukti melakukan
persekongkolan tender.
Hal yang sama terjadi pula di Jepang dalam penerapan sanksi berdasarkan the
AMA di Jepang, yang secara umum mengatur 3 jenis hukuman guna mencegah
pelanggaran terhadap the AMA. Pertama, adalah tindakan administrative, seperti
denda dan penghentian kegiatan atas kartel. Kedua adalah hukuman pidana, dan
ketiga adalah penggantian kerugian. Denda administratif dan hukuman pidana
48 Pasal 3 huruf c Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang dan atau Jasa Pemerintah.
49 Lihat Pasal 48 ayat (2) dan Pasal 49 huruf c UU Nomor 5 Tahun 1999.
50 Pasal 49 huruf a dan b UU Nomor 5 Tahun 1999.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
26
merupakan sarana yang utama untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap the
AMA. Kedua jenis sanksi tersebut seringkali diterapkan terhadap aktivitas yang
bersifat anti persaingan, seperti penetapan harga (price fixing), boikot (group
boycotting), dan bid rigging. Bahkan JFTC menjatuhkan denda dua kali lipat di tahun
1990, dari 1,5% menjadi 3% dan denda sebesar $US 7 juta.51
Namun demikian, the AMA menerapkan denda administrative dan hukuman
pidana sebagai sanksi utama untuk melawan kartel dan bid rigging.52 Denda
administratif diterapkan oleh JFTC untuk menghukum perusahaan-perusahaan yang
melakukan hambatan perdagangan secara tidak masuk akal, yang dapat
mempengaruhi harga atas produk dan jasa. Denda administratif dihitung dengan
melipat-gandakan jumlah/harga penjualan atas produk dan atau jasa selama masa
pelanggaran dengan fixed rate yang didasarkan pada jenis industri. Jumlah maksimal
denda tersebut tidak melebihi 7 milyar Yen (kira-kira $US 60 juta).53
Di samping denda administratif, hukuman pidana dapat dikenakan terhadap
pelaku usaha yang melanggar ketentuan tentang unreasonable restraints of trade.
Jenis hukuman ini mulai diberlakukan oleh JFTC pada tahun 1990 yang menerapkan
tanggung jawab kriminal terhadap pelaku usaha, terutama dalam kasus
persekongkolan tender atas kontrak-kontrak publik yang menjadi penyebab resesi
ekonomi dan korupsi di kalangan pemerintah.54 Para hakim memiliki kewenangan
untuk menentukan tingkatan pidana, salah satu contoh adalah kasus the Blinding
Seal.55 Hakim Pengadilan Tinggi Tokyo mempertimbangkan hal-hal yang
meringankan dan memberatkan dari perilaku yang terkait sebagai hal-hal yang
51 David L. Richter, “Legal Barriers to U. S. Firm Participation in the Japanese Construction
Industry”, University of Pennsylvania Journal of International Business Law, 1991.
52 Shigeki Kusunoki, “Shaping an Anti-Monopoly Law Sanction Regime Against Cartels or Bid
Collusion: a Perspective on Japan’s Choice”, University of Detroit Mercy Law Review, 2002, p.
401. Lihat pula Donald I. Baker, “The Use of Criminal Law Remedies to Deter and Punish
Cartels and Bid Rigging”, George Washington Law Review, 2001, p. 695.
53 Ibid., h. 403.
54 Salil Kumar Mehra, “Politics and Antitrust in Japan”, Virginia Journal of International Law,
2002, p. 315.
55 46-3 Kokeishu (High Court Criminal Report) 322 (Tokyo High Court, decided on Dec. 14, 1993).
www.legalitas.org
www.legalitas.org
27
dipertimbangkan dalam menentukan tingkat hukuman.56 JFTC memiliki kebijakan
yang sangat luas, karena mereka juga memiliki kewenangan untuk menyampaikan
gugatan atau tuntutan pelaku usaha yang bersangkutan.57
Salah satu alasan penjatuhan dua jenis hukuman terhadap aktivitas bid rigging
secara kumulatif disebabkan karena kasus tersebut mendominasi pelanggaran hukum
pidana di Jepang. Sebagai contoh, dari 6 kasus pidana, 5 di antaranya termasuk bid
rigging. Dari 37 kasus yang direkomendasikan oleh JFTC sejak tahun 1998, 31 di
antaranya adalah kasus bid rigging, atau dari 24 juta yen yang dikumpulkan dalam
penerapan denda administrative, 64% di antaranya berasal dari kasus bid rigging.58
E. Penutup
Persekongkolan penawaran tender merupakan tindakan di kalangan para
pelaku usaha yang mengakibatkan hambatan dalam proses persaingan yang sehat
serta menimbulkan kerugian secara material. Bahkan di beberapa negara, tindakan
tersebut diakui sebagai salah satu penyebab utama korupsi dan manipulasi dalam
kegiatan pembangunan, sehingga lembaga pegawas persaingan di beberapa negara di
samping memiliki otoritas menjatuhkan sanksi administratif juga sanksi pidana bagi
pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut secara kumulatif. Mengingat
dampak yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut sangat signifikan terhadap
pembangunan nasional, pemerintah berupaya membentuk peraturan hukum yang
bertujuan dilaksanakannya pengadaan barang dan/atau jasa dengan efektif dan
efisien, dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, dan adil, antara lain
melalui Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
56 Sebagai contoh, misalnya apakah perusahaan tersebut merupakan perusahaan terkemuka di
bidangnya, yang memiliki kewajiban untuk mematuhi pada the AMA, atau kewajiban untuk
menerapkan program kepatuhan atau melatih karyawannya secara ketat setelah ditemukan indikasi
pelanggaran terhadap the AMA. Ibid.
57 Business Use Stretch Film Case 46-2 Kokeishu (High Court Criminal Report) 108 (Tokyo High
Court, decided on May 21, 1993).
58 Yoshiro Mira and J. Mark Ramseyer, “Toward a Theory of Jurisdictional Competition: the Case of
the Japanese FTC”, Journal of Competition Law & Economics, June 2005, p. 264.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
28
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (dengan beberapa peraturan peubahannya).
Pengaturan pengadaan barang dan/atau jasa ini juga dilakukan secara terintegrasi
dengan peraturan hukum lainnya, seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal 22
sampai dengan 24 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang persekongkolan penawaran
tender. Dibentuknya pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam
tender berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999, akan menjadi dasar acuan bagi para
pelaku usaha, baik swasta maupun badan usaha milik negara, serta KPPU sendiri,
guna melakukan tindakan preventif atas terjadinya persekongkolan yang bersifat
horisontal maupun vertikal.
Di samping pembentukan aturan hukum yang bertujuan mencegah dilakukan
persekongkolan, keberadaan lembaga pengawas yang memiliki integritas kuat sangat
menentukan ditegakkannya peraturan tersebut. Salah satu lembaga pengawas tersebut
adalah KPPU, yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dan menjatuhkan sanksi
administratif bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan tentang larangan
persekongkolan penawaran tender. Pedoman atas larangan persekongkolan tender
yang dibentuk oleh KPPU dimaksud untuk memperjelas pengaturan tersebut,
sehingga baik pelaku usaha maupun panitia pelaksana tender dapat menggunakannya
sebagai petunjuk untuk menghindarkan diri dari persekongkolan di kalangan mereka.
Adanya keharusan bagi lembaga pengawas untuk membuktikan semua unsur
yang terdapat dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 akan mempersulit KPPU
dalam melakukan penyelidikan terhadap persekongkolan tender. Unsur yang
dirasakan paling memberatkan tugas KPPU adalah penilaian atas terjadinya
“persaingan usaha tidak sehat”, karena dalam hal ini mereka harus membuktikan
bahwa persekongkolan tersebut “dapat mengakibatkan” persaingan usaha tidak sehat
(pendekatan rule of reason). Unsur ini dapat dianggap sebagai proses pembuktian
yang berlebihan, sehingga kadangkala menjadi bumerang bagi keputusan KPPU
sendiri, karena kalimat “dapat mengakibatkan” merupakan kata-kata bersayap yang
memiliki beberapa makna. Di banyak negara, lembaga pengawas persaingan cukup
membuktikan terjadinya kesepakatan kolusif, karena hampir semua kesepakatan
www.legalitas.org
www.legalitas.org
29
kolusif selalu berakibat merugikan dan/atau meghambat persaingan usaha
(pendekatan per se illegal).
www.legalitas.org
www.legalitas.org
30
DAFTAR PUSTAKA
46-3 Kokeishu (High Court Criminal Report) 322 (Tokyo High Court, decided on
Dec. 14, 1993).
Baker, Donald I. “The Use of Criminal Law Remedies to Deter and Punish Cartels
and Bid Rigging.” George Washington Law Review, 2001.
Black, Henry Cambell. Black’s Law Dictionary (With Pronunciations). St. Paul
Minnesota: West Publishing, Co., 5th ed., 1979.
Business Use Stretch Film Case 46-2 Kokeishu (High Court Criminal Report) 108
(Tokyo High Court, decided on May 21, 1993).
Connolly, Robert E. “Do Schemes to Rig Bids and/or Fix Prices Constitute Fraud?”.
Practising Law Institute, 1992.
Daniel R. Karon, “Price Fixing, Market Allocation and Bid Rigging Conspiracies:
How Counsel Your Clients to Detect Violations and Inform You of Potential
Claims”, American Journal of Trial Advocacy, 2001.
Fry, James D. “Struggling to Teethe: Japan’s Antitrust Enforcement Regime”. Law
and Policy in International Business, 2001.
Gray, Jon R. “Open-Competitive Bidding in Japan’s Public Works Sector and
Foreign Contractor Access: Recent Reforms are Unlikely to Meet
Expectation”, Columbia Journal of Asian Law, 1996.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
31
Haberbush, Kara L. “Limiting the Government’s Exposure to Bid Rigging Schemes,
a Critical Look at the Sealed Bidding Regime”. Public Contract Law Journal,
2000.
Iyori, Hiroshi. “A Comparison of U.S.- Japan Antitrust Law: Looking at The
International Harmonization of Competition Law.” Pacific Rim Law & Policy
Journal, 1995. Judgment of Feb. 9, 1956 (Nihon Sekiyu K.K. v. K-osei
Torihiki I’inkai), Tokyo K-osai (High Court) 7 Gy-osh-u 2949.
Joshua, Julian. “Breaking Up the Hard Core: The Prospects for the Proposed Cartel
Offence”, Criminal Law Review, 2002.
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
Keputusan Presiden RI Nomor 61 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan
Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
Khemani, R. Shyam, et.al. A Framewok for the Design and Implementation of
Competition Law and Policy. Washington DC. And Paris: The World Bank
and Organization for Economic Co-operation and Development=OECD,
1999.
Kusunoki, Shigeki. “Shaping an Anti-Monopoly Law Sanction Regime Against
Cartels or Bid Collusion: a Perspective on Japan’s Choice.” University of
Detroit Mercy Law Review, 2002.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
32
Mehra, Salil Kumar. “Politics and Antitrust in Japan.” Virginia Journal of
International Law, 2002.
Mira, Yoshiro and J. Mark Ramseyer, “Toward a Theory of Jurisdictional
Competition: the Case of the Japanese FTC.” Journal of Competition Law &
Economics, June 2005.
Okatani, Naoki. “Regulations on Bid Rigging in Japan, The United States and
Europe”. Pacific Rim Law & Policy Journal, March, 1995.
Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender oleh KPPU,
2005.
Peraturan Presiden RI Nomor 32 Tahun 2005 tentang Perubahan Kedua atas
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden RI Nomor 70 Tahun 2005 tentang Perubahan Ketiga atas
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden RI Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
“Persekongkolan Tender Pemerintah Kian Parah”. Suara Karya, 17 Oktober 2001.
Putusan Nomor 01/KPPU-L/2000 tentang Persekongkolan Penawaran Tender
Pengadaan Pipa Casing dan Tubing.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
33
Putusan Nomor 7/KPPU-LI/2001 tentang Penawaran Tender Pengadaan Sapi Bakalan
Kereman.
Putusan Nomor 03/KPPU-I/2002 tentang Tender Penjualan Saham PT Indomobil
Sukses Indonesia, Tbk. (PT IMSI)
Putusan Perkara Nomor 06/KPPU-I/2005 tentang Persekongkolan Tender Proyek
Multi Years di Riau.
Putusan Perkara Nomor 04/KPPU/2002, JO. NO. 001/KPPU/ PDT.P/2002/PN.JKT
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 04K/KPPU/2005 tentang Penjualan VLCC
Richter, David L. “Legal Barriers to U.S. Firm Participation in the Japanese
Construction Industry.” University of Pennsylvania Journal of International
Business Law, 1991.
Sacker dan Lohse, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair
Business Competition. GTZ-Katalis Publishing, 2000.
Sakda Thanicul, Sakda. “Competition Law in Thailand: a Preliminary Analysis”,
Washington University Global Studies Law Review, 2002.
Sullivan, E.Thomas dan Jeffrey L. Harrison. Understanding Antitrust and Its
Economic Implications. New York: Matthew Bender & Co., 1994.
Takeshima, Kazuhiko (Chairman Fair Trade Commission of Japan). The Lessons
from Experience of Antimonopoly Act in Japan and the Future of Competition
Laws and Policies in East Asia. Disajikan dalam The 2nd East Asia
www.legalitas.org
www.legalitas.org
34
Conference on Competition Law and Policie (Toward Effective
Implementation of Competition Policies in East Asia), Bogor, 3-4 Mei 2005.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Tokigawa, Toshiaki. “The Prospect of Antitrust Law and Policy in the Twenty-First
Century: in Reference to the Japanese Antimonopoly Law and Japan Fair
Trade Commission”, Washington University Global Studies Law Review,
2002.
PENEGAKAN HUKUM DAN SANKSI
DALAM PERSEKONGKOLAN PENAWARAN TENDER
Oleh: A. M. Tri Anggraini
ABSTRAK
Persekongkolan tender merupakan kegiatan yang biasa dilakukan oleh para pelaku
usaha, dengan cara melakukan kesepakatan-kesepakatan, guna memenangkan tender.
Kegiatan tersebut tidak jarang mengakibatkan hambatan bagi pelaku usaha yang tidak
terlibat dalam kesepakatan, dan dampak yang lebih jauh dapat mengakibatkan
kerugian bagi pihak penyelenggara, karena terdapat ketidak-wajaran mengenai harga.
Tulisan ini mengungkap tentang mekanisme bekerjanya persekongkolan tender, serta
penegakan hukum dan sanksi dari aspek Hukum Persaingan Usaha. Proses
penyelidikan dan pembuktian terhadap persekongkolan tender berdasarkan Undangundang
Nomor 5 Tahun 1999 terlalu rumit, karena Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) harus menggunakan metode Rule of Reason. Penggunaan metode
tersebut memaksa KPPU harus membuktikan adanya dampak atas persekongkolan
tender, padahal setiap persekongkolan hampir selalu berdampak menghambat dan
atau merugikan pelaku usaha yang tidak terlibat. Melalui penelitian normatif dan
perbandingan hukum di beberapa negara di Asia, ditemukan suatu kesimpulan, bahwa
seharusnya tidak diperlukan pembuktian terhadap dampak persekongkolan. KPPU
cukup membuktikan adanya kesepakatan di kalangan pelaku usaha, yang biasanya
dilakukan secara lisan. Agar KPPU memiliki legalitas dalam penyelidikan, perlu
dilakukan amandemen terhadap ketentuan yang mengatur tentang persekongkolan
tender.
A. Pengantar
Istilah persekongkolan di semua kegiatan masyarakat hampir selalu berkonotasi
negatif. Pandangan ini disebabkan, bahwa pada hakekatnya persekongkolan atau
konspirasi bertentangan dengan keadilan, karena tidak memberikan kesempatan yang
sama kepada seluruh penawar untuk mendapatkan obyek barang dan/atau jasa yang
ditawarkan penyelenggara. Akibat adanya persekongkolan tender, penawar yang
mempunyai iktikad baik menjadi terhambat untuk masuk pasar, dan akibat lebih jauh
adalah terciptanya harga yang tidak kompetitif.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
2
Persekongkolan penawaran tender (bid rigging) termasuk salah satu perbuatan
yang dianggap merugikan negara, karena terdapat unsur manipulasi harga penawaran,
dan cenderung menguntungkan pihak yang terlibat dalam persekongkolan. Bahkan di
Jepang, persekongkolan penawaran tender dan kartel dianggap merupakan tindakan
yang secara serius memberikan pengaruh negatif bagi ekonomi nasional.1 Bid rigging
dalam industri konstruksi merupakan salah satu akar penyebab korupsi di kalangan
kaum politikus dan pejabat negara. Hal ini akan mengakibatkan kerugian, karena
masyarakat pembayar pajak harus membayar beban biaya konstruksi yang tinggi.2
Demikian pula di Indonesia, persekongkolan tender mengakibatkan kegiatan
pembangunan yang berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dikeluarkan secara tidak bertanggung jawab, dan pemenang tender yang
bersekongkol mendapatkan keuntungan jauh di atas harga normal, namun kerugian
tersebut dibebankan kepada masyarakat luas.3
Sehubungan dengan hal itu, pemerintah Indonesia saat ini berusaha
mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih, sebagai upaya mewujudkan sistem
pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, sehingga menimbulkan
kewibawaan di sektor lainnya terutama dalam hal penegakan hukum. Salah satu
upaya mewujudkan keinginan tersebut, pemerintah menetapkan Keputusan Presiden
Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah. Pembentukan peraturan ini bertujuan agar pengadaan barang/jasa instansi
Pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien, dengan prinsip persaingan
sehat, transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil dan layak bagi semua pihak
terkait, sehingga hasilnya dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi fisik,
keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan
1 Kazuhiko Takeshima (Chairman Fair Trade Commission of Japan), The Lessons from Experience of
Antimonopoly Act in Japan and the Future of Competition Laws and Policies in East Asia, disajikan
dalam The 2nd East Asia Conference on Competition Law and Policie (Toward Effective
Implementation of Competition Policies in East Asia), Bogor, 3-4 Mei 2005.
2 Naoki Okatani, “Regulations on Bid Rigging in Japan, The United States and Europe”, Pacific Rim
Law & Policy Journal, March, 1995, h. 251.
3 ”Persekongkolan Tender Pemerintah Kian Parah”, Suara Karya, 17 Oktober 2001.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
3
masyarakat.4 Pasal 10 Keputusan Presiden tersebut menyatakan, bahwa panitia
pengadaan wajib dibentuk untuk semua pengadaan dengan nilai di atas Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), artinya bahwa semua pengadaan proyek di atas
nilai tersebut harus dilakukan melalui penawaran umum. Ketentuan ini menyebabkan
banyaknya proyek-proyek yang harus dilakukan dengan cara melakukan penawaran
tender, sehingga makin besar pula kemungkinan terjadinya persekongkolan
penawaran tender.5
Mengingat dampak yang ditimbulkan dari tindakan persekongkolan tender
sangat signifikan bagi pembagunan ekonomi nasional dan iklim persaingan yang
sehat, pengaturan masalah penawaran tender tidak hanya diatur dalam Undangundang
tentang Pengadaan Barang dan/Jasa, tetapi juga diatur dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat. Larangan persekongkolan tender diatur dalam Hukum Persaingan
karena secara prinsipial terdapat empat (4) kategori kegiatan yang dilarang, yakni
penetapan harga, pembatasan atas produksi atau pasokan (limitation of production or
supply), pembagian wilayah pasar, dan persekongkolan tender (bid rigging).6
Pembahasan ini akan menitik-beratkan pada analisis yuridis persekongkolan
penawaran tender berdasarkan Hukum Persaingan Usaha, karena berdasarkan laporan
yang masuk ke KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), lebih dari separuh
laporan tersebut berkaitan erat dengan persekongkolan penawaran tender. Bahkan
tidak jarang perkara yang dihadapi oleh KPPU dapat dikategorikan sebagai kasus
korupsi yang melibatkan lembaga maupun oknum pemerintah yang mengakibatkan
kerugian negara triliunan rupiah.
4 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, bagian “Menimbang”. Lihat pula Pasal 3 tentang Prinsip Dasar Pengadaan Barang/Jasa.
5 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 telah mengalami empat kali perubahan melalui
Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2004, kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 32
Tahun 2005, dan kemudian dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005, serta perubahan
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006.
6 Julian Joshua, “Breaking Up the Hard Core: The Prospects for the Proposed Cartel Offence”,
Criminal Law Review, 2002, p. 942.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
4
B. Mekanisme Persekongkolan Penawaran Tender
Pengertian tender atau lelang diartikan sebagai serangkaian kegiatan untuk
menyediakan kebutuhan barang dan/atau jasa yang seimbang dan memenuhi syarat,
berdasarkan peraturan tertentu yang ditetapkan oleh pihak terkait. Oleh karena itu,
dalam hal ini dikatakan, bahwa tujuan utama pelaksanaan penawaran tender adalah
memberikan kesempatan yang seimbang bagi semua penawar, sehingga
menghasilkan harga yang paling murah dengan output yang maksimal. Meskipun
secara umum diakui, bahwa harga murah bukanlah semata-mata ukuran untuk
menentukan kemenangan dalam pengadaan barang dan/jasa, namun melalui
mekanisme penawaran tender sedapat mungkin dihindarkan kesempatan untuk
melakukan konspirasi di antara para pesaing, atau antara penawar dengan panitia
penyelenggara lelang.
Konspirasi atau persekongkolan dalam penawaran umum diartikan sebagai
bentuk perjanjian kerjasama di antara para penawar yang seharusnya bersaing,
dengan tujuan memenangkan peserta tender tertentu. Perjanjian ini dapat dilakukan
oleh satu atau lebih peserta lelang yang setuju untuk tidak mengajukan penawaran,
atau oleh para peserta lelang yang menyetujui satu peserta dengan harga yang lebih
rendah, dan kemudian melakukan penawaran dengan harga di atas harga perusahaan
yang direkayasa sebagai pemenang. Kesepakatan semacam ini bertentangan dengan
proses pelelangan yang wajar, karena penawaran umum dirancang untuk menciptakan
keadilan dan menjamin dihasilkannya harga yang murah dan paling efisien.7 Oleh
karena itu, persekongkolan dalam penawaran tender dianggap menghalangi
terciptanya persaingan yang sehat di kalangan para penawar yang beriktikad baik
untuk melakukan usaha di bidang bersangkutan. Berkaitan dengan hal ini, UNCTAD
menetapkan, bahwa “Tender kolusif pada dasarnya bersifat anti persaingan, karena
dianggap melanggar tujuan penawaran tender yang sesungguhnya, yaitu mendapatkan
7 R. Shyam Khemani et.al., A Framewok for the Design and Implementation of Competition Law and
Policy (Washington DC. And Paris: The World Bank and Organization for Economic Co-operation
and Development=OECD, 1999), h. 23.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
5
barang atau jasa dengan harga dan kondisi yang paling menguntungkan pihak
penyelenggara.”8
Dalam prakteknya terdapat beberapa mekanisme (metode) beroperasinya
persekongkolan penawaran tender, antara lain:
1. Tekanan terhadap penawaran (Bid Suppression), artinya bahwa satu atau lebih
penawar setuju untuk menahan diri untuk tidak mengikuti pelelangan, atau
menarik penawaran yang telah diajukan sebelumnya, agar penawar lain dapat
memenangkan pelelangan itu.9
2. Penawaran yang Saling Melengkapi (Complementary Bidding), yaitu
kesepakatan di antara para penawar di mana dua atau lebih penawar setuju
terhadap siapa yang akan memenangkan penawaran. Pemenang yang
dirancang kemudian mengatakan kepada penawar lain mengenai harga yang
direncanakan, sehingga mereka akan melakukan penawaran dengan harga
yang lebih tinggi. Sebaliknya, pemenang yang dirancang akan memerintahkan
penawar lain untuk menawar di tingkat harga yang ditentukan, sehingga harga
penawaran calon pemenang menjadi lebih rendah dari pada pesaing yang lain.
Tindakan tersebut menciptakan kesan seolah-olah terdapat persaingan
sesungguhnya di antara mereka, sehingga kontraktor yang dirancang berhasil
memenangkan tender.10
3. Perputaran Penawaran atau Arisan Tender (Bid Rotation), adalah pola
penawaran tender di mana satu dari penawar setuju untuk kembali sebagai
penawar yang paling rendah. Dalam hal ini, penawar tender lain (selain
pemenang yang sudah ditentukan sebelumnya), secara bersama-sama akan
menawar setinggi-tingginya, sebelum sampai pada gilirannya untuk
8 Sacker dan Lohse, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business
Competition (GTZ-Katalis Publishing, 2000), h. 313.
9 R. Shyam Khemani et.al., Loc. Cit.
10 Kara L. Haberbush, “Limiting the Government’s Exposure to Bid Rigging Schemes, a Critical Look
at the Sealed Bidding Regime”, Public Contract Law Journal, 2000, h. 99.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
6
memenangkan tender. Seringkali perputaran (arisan) ini menetapkan adanya
jaminan, bahwa mereka akan mendapat giliran untuk memenangkan tender.
Kadangkala dalam beberapa pola semacam ini, terdapat perjanjian untuk
mengantisipasi, bahwa penawar yang “kalah” dalam tender akan menjadi subkontraktor
bagi pihak yang dimenangkan.11
4. Pembagian Pasar (Market Division), adalah pola penawaran tender yang
terdiri dari beberapa cara untuk memenangkan tender melalui pembagian
pasar. Melalui metode ini, para penawar dapat merancang wilayah geografis
maupun pelanggan tertentu, sehingga jika terdapat kontrak di wilayah tertentu,
seluruh penawar sudah mengetahui penawar mana yang akan memenangkan
tender.12
Dalam semua pola penawaran tersebut di atas, pemenang tender, atau penawar
yang lebih murah, dapat mengamankan kesepakatannya melalui pembayaran
langsung terhadap para penawar lainnya. Pembayaran tersebut dapat berujud
pembayaran sejumlah uang atau melakukan perjanjian sub-kontraktor dengan
penawar yang kalah. Namun demikian, tindakan ini sangat beresiko, karena
bagaimanapun juga perjanjian tersebut adalah ilegal. Melalui aktivitas tersebut,
kontraktor dapat dianggap menghambat atau melarang sub-kontraktor menjual
jasanya secara langsung kepada pemerintah, di mana hal ini bertentangan dengan
hukum. Segala macam komisi yang terkandung di dalam transaksi antara kontraktor
dan sub-kontraktor dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Berbagai pola persekongkolan penawaran tender tersebut di atas akan lebih
mudah dilakukan dalam kegiatan usaha tertentu yang memiliki fasilitas kartel.
Pendapat ini didasarkan pada beberapa alasan, antara lain, pertama, struktur pasar
11 Ibid., h.100. Bandingkan dengan pandangan lain yang membagi pola bid rigging ke dalam jenisjenis
berikut: Bid Suppression, Complimentary Bidding, Bid Rotation, dan Subcontracting. Lihat
Daniel R. Karon, “Price Fixing, Market Allocation and Bid Rigging Conspiracies: How Counsel
Your Clients to Detect Violations and Inform You of Potential Claims”, American Journal of Trial
Advocacy, 2001, p. 249.
12 Ibid., h. 100.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
7
kartel menyediakan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan untuk berkomunikasi
satu sama lain. Dalam hal ini, terdapat pula kemudahan bagi perusahaan-perusahaan
untuk membuat perjanjian, misalnya di mana industri-industri memiliki fasilitas
melakukan pertemuan melalui asosiasi, dan memiliki sebuah forum yang dapat
dipakai untuk menutupi kegiatan pertemuan mereka. Pemerintah kadangkala
memberikan fasilitas tersebut melalui pertemuan pra lelang (prebid meetings).
Kedua, pasar bersifat sedemikian rupa sehingga perusahaan-perusahaan dapat
mendeteksi kegagalan dalam mematuhi suatu kesepakatan, karena ketidak-patuhan
dianggap sebagai penipuan. Cara yang paling sederhana bagi perusahaan untuk
mendeteksi adanya penipuan adalah dengan menghadiri pembukaan lelang. Sebagian
besar lelang umumnya bersifat terbuka bagi publik, sehingga para pihak yang
bersaing dapat mengetahui jika terdapat anggota konspirasi yang ternyata
memberikan penawaran harga lebih rendah dari pada harga yang telah disepakati
sebelumnya. Kemampuan untuk mendeteksi adanya penipuan itu cukup penting guna
mendeteksi keberhasilan suatu kartel. Segala hal yang memudahkan untuk
mendeteksi secara cepat adanya perusahaan yang menipu akan dapat meningkatkan
wibawa kartel.
Ketiga, kartel harus dapat menghukum perusahaan yang melakukan penipuan.
Sebagai contoh misalnya, sebuah perusahaan yang melakukan penipuan akan dipecat
keanggotaannya dalam kartel, sehingga para anggota kartel dapat melakukan
penawaran yang lebih rendah dari anggota yang dikeluarkan guna menghukum atau
membangkrutkan perusahaan yang melakukan penipuan tersebut. Cara lainnya
adalah, para anggota kartel dapat mempengaruhi para sub-kontraktor dan para
pemasok agar menolak untuk bertransaksi dengan perusahaan penipu, agar
perusahaan tersebut tidak mampu memenuhi kewajiban dalam perjanjian.
Keempat, perjanjian lebih mudah untuk dilanggar jika kesepakatan tersebut
hanya menyangkut satu masalah tertentu, misalnya mengenai harga. Jika undangan
lelang mengandung berbagai macam faktor selain harga, maka kartel harus dapat
meyakinkan para anggotanya untuk menyepakati keseragaman faktor-faktor tersebut.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
8
Jika tidak, maka pemenang yang dirancang, yang menawar dengan harga terendah,
dapat dikalahkan penawar lain didasarkan atas faktor-faktor lain selain harga,
misalnya mutu atau kualitas barang dan/atau jasa yang ditawarkan.
Dari uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan peraturan yang menjamin
keterbukaan dan keadilan, artinya bahwa tender harus dilakukan secara umum,
persyaratan yang jelas dan tidak bersifat diskriminatif terhadap para penawar.
Berkaitan dengan hal ini, diperlukan juga kejujuran pihak penyelenggara dalam
melakukan pelelangan, sehingga tidak terjadi konspirasi antara panitia dan penawar.
Demikian pula perlu pencegahan ikut sertanya kartel dalam suatu penawaran, karena
hal ini berakibat pelelangan tidak akan berjalan secara wajar dan adil.
C. Pengaturan Persekongkolan Penawaran Tender di Beberapa Negara Asia
Uraian di atas menunjukkan, bahwa dampak persekongkolan tender
mengakibatkan kerugian yang signifikan, baik terhadap pelaku usaha pesaing maupun
kepada masyarakat secara luas. Oleh karena itu, hampir semua negara menganggap
perlu melarang tegas aktivitas tersebut. Bahkan, sudah sejak lama menganggap
perjanjian di antara para penawar untuk tidak bersaing sebagai tindakan curang
(fraudulent).13 Namun demikian, dalam perkembangannya tidak mudah bagi lembaga
pengawas persaingan maupun pengadilan untuk menetapkan aktivitas tertentu sebagai
persekongkolan tender (bid rigging).
Larangan persekongkolan tender diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1999.
Istilah persekongkolan atau konspirasi usaha diartikan sebagai “bentuk kerjasama
yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk
menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.”14
Pemahaman ini agak berbeda dengan pengertian persekongkolan tender dalam UU
Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 22 yang menyatakan, bahwa “pelaku usaha dilarang
13 Robert E. Connolly, “Do Schemes to Rig Bids and/or Fix Prices Constitute Fraud?”, Practising Law
Institute, 1992, p. 499.
14 Lihat Pasal 1 angka 8 UU Nomor 5 Tahun 1999.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
9
bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang
tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”
Perbedaan tersebut adalah, bahwa Pasal 22 mencantumkan adanya pihak lain selain
pelaku usaha dalam persekongkolan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 22 tersebut, dapat dikatakan bahwa ketentuan
tentang persekongkolan tender terdiri atas beberapa unsur, yakni unsur pelaku
usaha15, bersekongkol, adanya pihak lain, mengatur dan menentukan pemenang
tender, serta persaingan usaha tidak sehat. Istilah “pelaku usaha” diatur dalam Pasal 1
angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999.16 Adapun istilah “bersekongkol” diartikan sebagai
kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun
dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan peserta tender tertentu.17 Di
samping itu, unsur “bersekongkol” dapat pula berupa:
1. kerjasama antara dua pihak atau lebih;
2. secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian
dokumen dengan peserta lainnya;
3. membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan;
4. menciptakan persaingan semu;
5. menyetujui dan atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan;
6. tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya
mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka
memenangkan peserta tender tertentu;
15 Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, bahwa pelaku usaha adalah setiap orang
perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi.
16 Pasal 1 angka 4 UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, bahwa pelaku usaha adalah setiap orang
perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
17 Pedoman KPPU tehadap Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender, h. 8.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
10
7. pemberian kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender atau pihak
terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang
mengikuti tender, dengan cara melawan hukum.18
Kerjasama antara dua pihak atau lebih dengan diam-diam biasanya dilakukan
secara lisan, sehingga membutuhkan pengalaman dari lembaga pengawas persaingan
guna membuktikan adanya kesepakatan yang dilakukan secara diam-diam. Dalam
penawaran tender yang dikuasai oleh kartel akan semakin mempersulit upaya
penyelidikan ini, kecuali terdapat anggota yang “berkhianat” membongkar adanya
persekongkolan tersebut.
Adanya unsur “pihak lain” menunjukkan bahwa persekongkolan selalu
melibatkan lebih dari satu pelaku usaha. Pengertian pihak lain dalam hal ini meliputi
para pihak yang terlibat, baik secara horisontal maupun vertikal dalam proses
penawaran tender. Pola pertama adalah persekongkolan horisontal, yakni tindakan
kerjasama yang dilakukan oleh para penawar tender, misalnya mengupayakan agar
salah satu pihak ditentukan sebagai pemenang dengan cara bertukar informasi harga
serta menaikkan atau menurunkan harga penawaran. Dalam kerjasama semacam ini,
pihak yang kalah diperjanjikan akan mendapatkan sub kontraktor dari pihak yang
menang. Sebagai contoh persekongkolan horisontal adalah kasus yang melibatkan
beberapa perusahaan yang beroperasi di bidang pengadaan jasa konstruksi minyak
bumi. Perkara ini berawal dari penawaran tender pengadaan pipa casing dan tubing
yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dengan menetapkan persyaratan baru,
sehingga tidak semua peserta tender yang biasanya dapat ikut serta dalam penawaran
memenuhi persyaratan.19 Persyaratan tersebut antara lain mengharuskan para penawar
(bidders) memiliki semua items, yang terdiri dari high grade dan low grade, padahal
tidak semua penawar memiliki kedua fasilitas tersebut, sehingga penawar yang
18 Lihat Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender oleh KPPU, 2005, hal. 8.
19 Putusan Nomor 01/KPPU-L/2000 tentang Persekongkolan Penawaran Tender Pengadaan Pipa
Casing dan Tubing.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
11
memenuhi persyaratan hanya mengarah pada dua perusahaan besar, meskipun pada
akhirnya salah satu dari kedua perusahaan mengundurkan diri sebagai penawar.
Berkaitan dengan hal ini, perusahaan minyak bumi sebagai pelaksana tender (PTCPI)
mengemukakan alasan, bahwa persyaratan itu merupakan kebijakan untuk
melakukan efisiensi secara menyeluruh, guna menekan tingkat persediaan (inventory
level), biaya pengadaan (procurement cost), dan lamanya pengadaan (cycle time)
barang.
Proses penawaran tersebut tetap dilaksanakan, karena pihak yang tidak
memiliki fasilitas lengkap tetap dapat melakukan penawaran dengan persyaratan,
bahwa mereka harus mendapatkan supporting letter dari perusahaan yang memenuhi
persyaratan lengkap. Namun adanya persyaratan ini dimanfaatkan oleh mereka untuk
melakukan kerjasama, dengan cara melakukan pertemuan rahasia dengan agenda
saling bertukar informasi, yakni di satu sisi penawar harus menunjukkan harga
penawaran agar mendapatkan supporting letter dari penawar yang memiliki fasilitas
lengkap. Tindakan ini bertentangan dengan Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999, yakni ketentuan tentang persekongkolan, sehingga KPPU memerintahkan PTCPI
untuk menghentikan kegiatan tersebut.
Pola yang kedua adalah persekongkolan tender secara vertikal, artinya bahwa
kerjasama tersebut dilakukan antara penawar dengan panitia pelaksana tender. Dalam
hal ini, biasanya panitia memberikan berbagai kemudahan atas persyaratanpersyaratan
bagi seorang penawar, sehingga dia dapat memenangkan penawaran
tersebut. Kasus seperti ini pernah terjadi dalam perkara penawaran tender pengadaan
sapi bakalan kereman yang dilaksanakan Dinas Peternakan Pemerintah Propinsi Jawa
Timur. Perkara mengenai pengadaan sapi bakalan kereman impor yang melibatkan
Koperasi Pribumi Indonesia (KOPI), didasarkan pada Putusan Nomor 7/KPPULI/
2001 adalah bermula dari pengumuman tender secara terbuka di berbagai media
massa oleh panitia penyelenggara. Sejak awal pendaftaran sampai diputuskannya
pemenang tender, panitia telah mengisyaratkan bahwa proyek tersebut dimenangkan
oleh KOPI. Rekayasa tersebut terlihat dari beberapa cara, antara lain membolehkan
www.legalitas.org
www.legalitas.org
12
KOPI mengikuti pelelangan meskipun tidak memiliki Tanda Daftar Rekanan (TDR),
tidak memenuhi persyaratan administratif maupun syarat lainnya, seperti pengalaman
impor sapi dari Australia, dan keterlambatan kehadiran KOPI pada saat
berlangsungnya penawaran. Meskipun tidak memenuhi persyaratan tersebut, KOPI
bersama-sama dengan Pejabat Dinas Peternakan dan beberapa anggota DPRD
melakukan perjalanan ke Australia, untuk melakukan survey atas kondisi sapi yang
akan diimpor ke Indonesia. Pada akhirnya, panitia menunjuk KOPI sebagai pelaksana
dari proyek pengadaan sapi impor tersebut, meskipun koperasi tersebut tidak
memenuhi persyaratan RKS (Rencana Kerja dan Syarat-syarat) pada penawaran
lelang terdahulu, seperti pemilikan kandang berkapasitas 5000 ekor sapi, pengalaman
impor sapi dan sebagainya. Penunjukan ini dilakukan hanya berdasarkan rapat di
antara panitia lelang, Satuan Petugas (Satgas), dan Kepala Dinas Peternakan. Mereka
melakukan penunjukan langsung melalui Negosiasi Harga dan Teknis, yang isinya
antara lain mengesampingkan persyaratan administrasi maupun teknis. Semua fakta
yang disertai dengan bukti-bukti yang mendukung di atas mengarah pada terjadinya
persekongkolan yang didasarkan Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pola ketiga adalah persekongkolan horisontal dan vertikal, yakni
persekongkolan antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan
jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang
dan jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam
proses tender, misalnya tender fiktif yang melibatkan panitia, pemberi pekerjaan, dan
pelaku usaha yang melakukan penawaran secara tertutup. Sebagai contoh jenis tender
ini adalah Tender Proyek Multi Years di Riau.20 Dugaan bermula dari adanya
penawaran tender proyek multi years yang terdiri dari 9 paket pekerjaan, oleh
Pemerintah di Bidang Prasarana Jalan Propinsi Riau dengan dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2004. Panitia memfasilitasi bidder tertentu
20 Putusan Perkara Nomor 06/KPPU-I/2005 tentang Persekongkolan Tender Proyek Multi Years di
Riau.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
13
dengan cara mengundurkan waktu pengembalian dokumen penawaran, serta
memfasilitasi para bidder lainnya untuk melakukan kerja sama semu dengan cara
mengundurkan waktu pengembalian dokumen prakualifikasi. Atas beberapa kegiatan
yang dilakukan panitia tender, pejabat yang bersangkutan dengan beberapa bidder
dikenakan Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999.
Mengingat dampak yang ditimbulkan atas adanya persekongkolan tender
sangat signifikan, beberapa negara menganggap perlu mengatur tindakan tersebut
dalam undang-undang. Sebagai contoh adalah Vietnam, yang mengatur tindakan
terlarang dalam The Competition Law No. 27 Tahun 2004. Larangan mengenai
persekongkolan tender diatur dalam Chapter II, Section 1, Article 8 (8) tentang
“Competition Restriction Agreement” yang menyatakan, “convining to enable one or
all of the parties of the agreement to win bids for supply of goods or provision of
services”. Demikian juga Thailand, mengatur larangan persekongkolan tender dalam
Thailand Competition Act, B. E. 2542 (1999), Chapter III tentang Anti Monopoly,
Section 27 (4) yang menyatakan:
“Any business operator shall not enter into an agreement with another
business operator to do any act amounting to monopoly, reduction of
competition or restriction of competition in the market of any particular
goods or any particular service in any of the following manners: fixing an
agreement or condition in a collusive manner in order to enable one party to
win bid or a tender for the sale of goods or services or to prevent the other
party from competing in a bid or tender for the sale of goods or services.”21
Adapun pengaturan bid rigging di Jepang terdapat dalam the Japanese
Antimonopoly Act (the AMA) Article 2 (6), yang mendefinisikan:
“unreasonable restraint of trade as used in this Act shall mean such business
activities, by which any enterpreuneur, by contract, agreement or any other
21 Sakda Thanicul, “Competition Law in Thailand: a Preliminary Analysis”, Washington University
Global Studies Law Review, 2002, p. 178.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
14
concerted actions, irrespective of its names, with other entrepreneurs,
mutually restrict or conduct their business activities in such a manner as to
fix, maintain, or increase prices, or to limit production, technology, products,
facilities, or customers or suppliers, thereby causing, contrary to the public
interest, a substantial restraint of competition in any particular field of
trade”.
Istilah concerted action diartikan sebagai implied agreements (perjanjian
terselubung) atau komunikasi yang saling menguntungkan di antara para pihak.
Maksud dari perjanjian terselubung (diam-diam) tersebut dapat dibuktikan dengan
bukti-bukti yang secara tidak langsung menunjukkan adanya perjanjian. Berkaitan
dengan hal ini, JFTC menemukan concerted action sebagai perjanjian penetapan
harga dalam tender minyak. Pengadilan Tinggi Tokyo menguatkan putusan JFTC,
yang menyatakan bahwa “it is obvious that we can reasonably find the same facts
regarding price fixing agreement as the FTC’s decision if we examine the evidence
listed in the FTC’s decision as a whole. Therefore, the fact finding of the defendant
does not conflict with reasonable inference.”22
Sebagai pelaksanaan Article 2.6 the AMA tersebut di atas, pada tahun 1984
Japanese Fair Trade Commission (JFTC) membentuk “Guidelines under
Antimonopoly Law for Activities of Trade Associations” (Construction Industry
Guidelines).23 Di samping itu, mengingat banyak kasus bid rigging yang melibatkan
asosiasi dagang, maka pada tanggal 5 Juli 1994 JFTC juga membentuk “Guidelines
concerning the Activities of Firms and Trade Associations with Regard to Public
Bids”. Pada tahun 1997 juga menerbitkan “Guidelines under the Antimonoply Law
22 Hiroshi Iyori, “A Comparison of U.S.- Japan Antitrust Law: Looking at The International
Harmonization of Competition Law”, Pacific Rim Law & Policy Journal, 1995, p.74. Lihat
Judgment of Feb. 9, 1956 (Nihon Sekiyu K.K. v. K-osei Torihiki I’inkai), Tokyo K-osai (High
Court) 7 Gy-osh-u 2949.
23 Jon R. Gray, “Open-Competitive Bidding in Japan’s Public Works Sector and Foreign Contractor
Access: Recent Reforms are Unlikely to Meet Expectation”, Columbia Journal of Asian Law,
1996, p. 453.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
15
for Activities of Trade Associations”. Maksud pengaturan ini adalah untuk mencegah
asosiasi-asosiasi dagang yang bertindak sebagai koordinator dalam persekongkolan
tender dan perilaku lain yang menghambat persaingan.
Didasarkan pada peraturan-peraturan pelaksanaan tersebut, maka JFTC
menempuh beberapa tindakan yang bertujuan mencegah berkembangnya
persekongkolan tender. Tindakan-tindakan tersebut antara lain, pertama,
mengeliminasi ukuran-ukuran pelanggaran hukum. Khususnya, mewajibkan para
pelanggar untuk membatalkan perjanjian penawaran yang dibuat oleh perusahaan dan
mengumumkannya di koran dan media lainnya. Sebagai tambahan, JFTC juga
memerintahkan untuk menghentikan kegiatan dan mewajibkan pihak pelanggar untuk
melaporkannya ke JFTC. Kedua, menetapkan denda administratif, dengan cara
mengenakan pajak tambahan atas produk dari penawar yang dimenangkan. Besarnya
biaya ini adalah 6% dari harga penawaran yang dimenangkan untuk perusahaan
besar, dan 3% untuk perusahaan menengah dan kecil. Ketiga, JFTC dapat
menetapkan denda pidana terhadap kegiatan yang melanggar Hukum Antimonopoli.
Guna merealisir hal ini, pada tanggal 20 Juni 1990 JFTC membentuk standart
penuntutan dalam “Guidelines of the Fair Trade Commission Concerning
Accusations of Violations of the Antimonoply Law”. Sebagai hukuman pidana,
tersangka dapat dikenakan denda maksimal sebesar YEN 5 juta atau hukuman penjara
maksimal tiga tahun. Di lain pihak, perusahaan yang terlibat bid rigging dapat
dikenakan hukuman sebesar dua kali lipat atau denda maksimal YEN 100 juta.24
Kondisi tersebut menunjukkan, bahwa pelanggaran terhadap persekongkolan tender
dapat dikenakan baik denda administrative maupun pidana.
Unsur bid rigging yang lain adalah “mengatur dan atau menentukan
pemenang tender”. Unsur ini diartikan sebagai suatu perbuatan para pihak yang
terlibat dalam proses tender secara bersekongkol, yang bertujuan untuk
menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya dan/atau untuk memenangkan
24 Naoki Okatani, Op. Cit., h. 254-255.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
16
peserta tender tertentu dengan berbagai cara. Pengaturan dan/atau penentuan
pemenang tender tersebut meliputi, antara lain menetapkan kriteria pemenang,
persyaratan teknik, keuangan, spesifikasi, proses tender, dan sebagainya. Pengaturan
dan penentuan pemenang tender dapat dilakukan secara horisontal maupun vertikal,
artinya baik dilakukan oleh para pelaku usaha atau panitia pelaksana.
Unsur yang terakhir dari ketentuan tentang persekongkolan adalah terjadinya
“persaingan usaha tidak sehat”.25 Unsur ini menunjukkan, bahwa persekongkolan
menggunakan pendekatan rule of reason, karena dapat dilihat dari kalimat
“…sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
Pendekatan rule of reason merupakan suatu pendekatan hukum yang digunakan
lembaga pengawas persaingan untuk mempertimbangkan faktor-faktor kompetitif dan
menetapkan layak atau tidaknya suatu hambatan perdagangan. Artinya untuk
mengetahui apakah hambatan tersebut bersifat mencampuri, mempengaruhi, atau
bahkan mengganggu proses persaingan.26
Pendekatan rule of reason dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang
harus diterapkan terhadap persekongkolan tender ini akan lebih menyulitkan pihak
KPPU dalam proses penyelikannya. Hal ini mengingat persekongkolan tender di
banyak negara umumnya adalah menggunakan pendekatan per se illegal, yakni
dengan cara membuktikan adanya kesepakatan kolusif maka pihak pengawas dapat
menjatuhkan denda atau sanksi administratif terhadap para pelaku usaha yang
melakukannya. Sebagai contoh, hukum antitrust Amerika Serikat menetapkan bahwa
kolaborasi di antara pesaing yang merupakan kesepakatan horisontal harus ditetapkan
sebagai per se illegal.27 Demikian pula ketika JFTC menetapkan “The Guidelines
Concerning Distribution Systems and Business Practices” di tahun 1991, menyatakan
25 Lihat Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
26 E. Thomas Sullivan dan Jeffrey L. Harrison, Understanding Antitrust and Its Economic
Implications (New York: Matthew Bender & Co., 1994), p. 85.
27 Toshiaki Tokigawa, “The Prospect of Antitrust Law and Policy in the Twenty-First Century: in
Reference to the Japanese Antimonopoly Law and Japan Fair Trade Commission”, Washington
University Global Studies Law Review, 2002, p. 279.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
17
bahwa jenis kolaborasi seperti kesepakatan kartel dan bid rigging adalah illegal.28
Bahkan, di negara-negara yang tidak memiliki undang-undang persaingan seringkali
mengatur tentang penawaran tender secara khusus. Kebanyakan negara
memperlakukan tender kolusif lebih ketat daripada perjanjian horisontal lainnya,
karena mengandung unsur kecurangan dan berakibat merugikan terhadap
pembelanjaan pemerintah dan anggaran negara.29
D. Prosedur Penegakan Hukum dalam Persekongkolan Tender
Pemeriksaan perkara persekongkolan tender oleh Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) diawali dari adanya laporan (dari masyarakat maupun
pelaku usaha lain)30 atau inisiatif31 lembaga ini. Laporan ini didasarkan adanya
indikasi terjadinya persekongkolan tender. Adanya indikasi tersebut merupakan dasar
dilakukannya pemeriksaan pendahuluan.32 Dalam tahap ini, Majelis Komisi dapat
memanggil pelapor dan/atau terlapor untuk dimintai keterangannya. Jika Majelis
memiliki dugaan kuat terjadinya persekongkolan tender, pemeriksaan dilanjutkan
pada pemeriksaan lanjutan.33 Sepanjang masa pemeriksaan lanjutan, Majelis Komisi
dapat memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi persekongkolan tender.34 Putusan
dibacakan dalam sidang terbuka yang terbuka untuk umum dan segera diberitahukan
kepada pelaku usaha.35 Apabila tidak terdapat keberatan, putusan Komisi telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan dapat dimintakan penetapan eksekusi
kepada Pengadilan Negeri.36
28 Ibid., h. 281.
29 Sacker and Lohse, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business
Competition, GTZ-Katalis Publishing, 2002, h. 313.
30 Pasal 38 UU Nomor 5 Tahun 1999.
31 Pasal 40 UU Nomor 5 Tahun 1999.
32 Pasal 39 UU Nomor 5 Tahun 1999.
33 Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU Nomor 5 Tahun 1999.
34 Pasal 43 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1999.
35 Pasal 43 ayat (4) UU Nomor 5 Tahun 1999.
36 Pasal 46 UU Nomor 5 Tahun 1999.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
18
Demikian halnya dengan lembaga pengawas persaingan usaha di Jepang yang
dipegang oleh JFTC, yakni suatu lembaga administratif independen dan bersifat quasi
yudisial. Meskipun tidak memiliki kekuasaan setingkat Menteri, namun JFTC
memiliki otoritas paling kuat dalam penegakan hukum anti monopoly di Jepang (the
AMA). Tugas lembaga tersebut meliputi penyelidikan terhadap adanya pelanggaran
yang dilaporkan masyarakat, menetapkan hukuman denda, sampai dengan
penghentian kegiatan yang dianggap melanggar the AMA.37
Putusan KPPU dapat dimintakan keberatan di Pengadilan Negeri. Prosedur
pengajuan keberatan ke Pengadilan Negeri dilakukan pelaku usaha selambatlambatnya
14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.38 Berdasarkan
putusan Pengadilan Negeri tersebut, pihak yang keberatan dapat mengajukan kasasi
kepada Mahkamah Agung.39 Demikian pula dengan penegakan hukum antimonopoly
di Jepang, putusan JFTC dapat dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi. Jika
putusan JFTC dianggap tidak konstitusional atau kurang bukti-bukti, maka
pengadilan dapat membatalkan putusan JFTC. Sampai saat ini, dari 34 putusan JFTC
yang dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi, 29 putusan dikuatkan oleh
Pengadilan Tinggi, 4 putusan dibatalkan dan dikembalikan ke JFTC, satu di
antaranya sampai ke Mahkamah Agung Jepang.40
Sampai saat ini di Indonesia terdapat tiga perkara persekongkolan tender ke
tingkat pengadilan, bahkan dua di antaranya telah diputuskan oleh Mahkamah Agung,
yakni penjualan saham PT Indomobil dan penjualan kapal VLCC milik PT Pertamina
(Persero). Perkara pertama, adalah berkaitan dengan penjualan saham PT Indomobil
Sukses Indonesia (PT IMSI). Perkara ini berawal dari inisiatif KPPU yang menilai
adanya kejanggalan dalam proses tender penjualan saham PT IMSI, antara lain, harga
yang dianggap terlalu rendah, jangka waktu pelaksanaan tender yang singkat, jumlah
37 James D. Fry, “Struggling to Teethe: Japan’s Antitrust Enforcement Regime”, Law and Policy in
International Business, 2001, p. 835.
38 Pasal 44 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1999.
39 Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1999.
40 James D. Fry, Op. Cit., h. 838.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
19
peserta tender amat terbatas, dan adanya pelanggaran prosedur pelelangan. Oleh
karena itu, berdasarkan Pasal 36 (b) dan Pasal 40 UU Nomor 5 Tahun 1999, KPPU
berwenang melakukan penelitian dan pemeriksaan tentang dugaan adanya kegiatan
usaha atau pelaku usaha, yang dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran Undangundang,
tanpa adanya laporan dari masyarakat.
Perkara ini melibatkan sepuluh pelaku usaha yang diduga melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999. Tindakan yang dilakukan
adalah bahwa mereka melakukan persekongkolan baik secara terang-terangan atau
diam-diam. Persekongkolan tersebut terlihat dengan cara menerima keikut-sertaan
tiga peserta tender yang merupakan anggota dalam konspirasi, meskipun mengetahui
bahwa ketiga peserta tersebut tidak memenuhi persyaratan prosedur penawaran tender
(Procedures for the Submission of Bid). Para pelaku usaha yang terlibat dalam
konspirasi juga dianggap secara bersama-sama melakukan pelanggaran, berupa
tindakan saling menyesuaikan dan atau membandingkan dokumen tender,
menciptakan persaingan semu, serta memfasilitasi tindakan untuk memenangkan
salah satu peserta sebagai pemenang tender. Dalam perkara ini, KPPU memutuskan
adanya pelanggaran atas Pasal 22 UU Anti monopoli dengan menjatuhkan sanksi
antara lain melarang beberapa pelaku usaha untuk mengikuti transaksi baru dalam
bentuk apapun dengan penyelenggara tender. Selain itu juga menghukum masingmasing
pelaku usaha untuk membayar denda dan atau sesuai tingkat
pelanggarannya.41
Di tingkat banding, Pengadilan Negeri Jakarta Barat membatalkan Putusan
KPPU melalui Putusan Nomor 001/KPPU/PDT.P/2002/ PN.Jkt.Bar. Adapun alasan
pengadilan adalah bahwa cakupan undang-undang anti monopoli hanya terbatas pada
tender untuk memborong pekerjaan, pengadaan barang atau penyediaan jasa. Oleh
karena itu, lazimnya dalam pengertian tender di sini adalah siapa yang dapat
41 Putusan Nomor 03/KPPU-I/2002 tentang Tender Penjualan Saham PT Indomobil Sukses
Indonesia, Tbk. (PT IMSI)
www.legalitas.org
www.legalitas.org
20
mengajukan harga penawaran terendah, maka akan ditunjuk sebagai pemenang.
Sedangkan perkara tersebut merupakan penjualan saham dan konversi obligasi
Indomobil, dan yang mengajukan penawaran tertinggi adalah salah satu peserta
tender, sehingga sudah selayaknya jika perusahaan tersebut ditunjuk sebagai
pemenang.
Di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung menguatkan Putusan Pengadilan Negeri
dengan alasan, bahwa Pengadilan Negeri tidak mempertimbangkan segi formal
Putusan KPPU Nomor 03/KPPU-I/2002.42 Adapun segi formal Putusan KPPU adalah
penggunaan irah-irah (kepala putusan) “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Hal ini mengingat, bahwa berdasarkan Pasal 30 UU Nomor 5 Tahun
1999, KPPU bukan badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UU
Nomor 14 Tahun 1970, dan KPPU juga tidak memiliki kewenangan secara khusus
dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 serta peraturan lainnya untuk memuat
irah-irah tersebut. Oleh karena itu, KPPU dianggap melampaui kewenangannya,
sehingga Putusan tersebut mengandung cacat hukum, dan karenanya harus
dinyatakan batal demi hukum.
Perkara kedua, adalah perkara Thames Jaya, adalah persekongkolan antara
panitia tender jasa pengamanan dengan salah satu penawar. Adanya konspirasi di
antara panitia dan peserta terlihat dengan tidak dipenuhinya asas keterbukaan, antara
lain tidak ada pengumunan tentang pemenang tender, dan tidak terdapat bukti
pendaftaran mengikuti pra-kualifikasi oleh penawar tertentu, namun penawar tersebut
dinyatakan sebagai pemenang. Atas tindakan tersebut, KPPU Putusan Perkara Nomor
05/KKPU-I/2004, menyatakan bahwa mereka melakukan pelanggaran terhadap Pasal
22 UU Nomor 5 Tahun 1999, menghukum yang bersangkutan untuk menghentikan
kegiatan penyediaan jasa pengamanan, serta membayar denda kepada panitia sebesar
satu milyar rupiah. Di tingkat banding, Pengadilan Negeri dalam putusannya Nomor
03/Pdt.KPPU/2004/PN Jak.Sel. menguatkan kembali Putusan KPPU dengan menolak
42 Putusan Perkara Nomor 04/KPPU/2002, JO. NO. 001/KPPU/ PDT.P/2002/PN.JKT
www.legalitas.org
www.legalitas.org
21
semua permohonan pelaku usaha. Pelaku usaha keberatan atas Putusan Pengadilan
Negeri dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang sampai sekarang masih
dalam proses pemeriksaan.
Perkara ketiga merupakan perkara yang akhir-akhir ini menjadi bahan
perbincangan di kalangan para pengamat bisnis adalah penjualan kapal tanker PT
Pertamina. Perkara bermula dari penjualan dua unit kapal Tanker Very Large Crude
Carrier (VLCC) milik Pertamina yang mengandung indikasi persekongkolan untuk
mengatur pemenang tender. Proses penawaran berawal dari penunjukan Goldman
Sachs (Singapura), Pte. sebagai penasihat keuangan oleh Pertamina, tanpa melalui
proses tender terbuka, yang sekaligus juga merupakan salah satu pemegang saham di
Frontline, Ltd. Dalam proses selanjutnya, Pertamina menyatakan Frontline, Ltd.
sebagai pemenang tender, meskipun perusahaan tersebut menawar dengan harga lebih
rendah daripada Essar yang merupakan penawar tertinggi, tetapi tidak mempunyai
komitmen untuk membayar uang muka sebesar 20%.
Penunjukan secara langsung Goldman Sachs sebagai penasihat keuangan dan
pengatur dalam divestasi VLCC oleh Pertamina merupakan perlakuan istimewa yang
diberikan kepada satu pelaku usaha. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 19 huruf d yang menyatakan, bahwa “melakukan praktek
diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu”. Di samping itu, dalam pemeriksaan
juga terbukti bahwa terdapat persekongkolan antara Pertamina dengan pelaku usaha
yang terlibat dalam penawaran tender, yakni Frontline, Ltd., Goldman Sachs, dan
Equinox. Persekongkolan tersebut dilakukan dengan cara terang-terangan maupun
diam-diam melalui tindakan penyesuaian dan atau membandingkan dokumen tender
sebelum penyerahan, atau dengan menciptakan persaingan semu dan menyetujui dan
memfasilitasi melakukan suatu tindakan meskipun sepatutnya mengetahui bahwa
tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta
tender tertentu.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, KPPU memutuskan, antara
lain, bahwa Pertamina terbukti melanggar Pasal 19 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1999
www.legalitas.org
www.legalitas.org
22
dalam hal penunjukan langsung Goldman Sachs (Singapore), Pte. sebagai penasihat
keuangan dan pengatur tender. Kedua perusahaan tersebut juga dinyatakan terbukti
melanggar Pasal 19 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam hal menerima
penawaran ketiga dari Frontline, Ltd. Adapun Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999
diterapkan pada PT Pertamina, Goldman Sachs (Singapore) Pte., Frontline, Ltd dan
Equinox.
Dalam Putusan Nomor 04/KPPU/2005/PN.JKT.PST, Pengadilan menyatakan,
antara lain, bahwa Pertamina pada akhirnya menunjuk Frontline, Ltd. sebagai
pemenang tender karena Essar tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan
oleh Pertamina sebagai pemenang tender, khususnya mengenai kewajiban
pembayaran uang muka sebesar 20%. Berdasarkan fakta, terungkap Essar menduduki
posisi pertama dengan penawaran US$ 183 juta, sedangkan Frontline Ltd. pada
peringkat kedua dengan penawaran US$ 175 juta. Adapun OSG menduduki peringkat
ketiga dengan penawaran US$ 162 juta. Adapun Goldman Sachs (Singapore), Pte.
tidak berkedudukan sebagai pelaku usaha, melainkan hanya sebagai penasihat
keuangan dan pengatur tender, sehingga tidak dapat dikenakan Pasal 19 huruf d UU
Nomor 5 Tahun 1999 yang bekerja sama dengan Pertamina memilih pemenang
tender.
Di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung Indonesia melalui Putusan Nomor
04K/KPPU/2005 menguatkan Putusan KPPU dan membatalkan Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Adapun alasan Mahkamah Agung menguatkan Putusan KPPU
antara lain adalah, bahwa PT Pertamina telah menunjuk langsung Goldman Sachs,
Pte. sebagai financial advisor dan arranger adalah bertentangan dengan SK 077
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pertamina/KPS/JOB/T.A.C
Bab IV huruf a angka 3 dan Keppres Nomor 18 Tahun 2000 jo. Keppres Nomor 80
Tahun 2003. Alasan lain yang menjadi pertimbangan Mahkamah Agung dalam
menguatkan Putusan KPPU adalah, bahwa PT Pertamina dan Goldman Sachs, Pte
tidak dibenarkan untuk menerima penawaran optional dari Frontline dengan harga
baru yang melebihi pemenang pertama, serta tidak memberi kesempatan kepada
www.legalitas.org
www.legalitas.org
23
bidder-bidder lain pesaingnya, seperti Essar dan OSG untuk memberikan penawaran
baru. Tindakan-tindakan tersebut merupakan pelanggaran atas Pasal 22 dan 19 huruf
d UU Nomor 5 Tahun 1999.
E. Sanksi dalam Hukum Anti Monopoli
Pelanggaran terhadap Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 dapat dikenakan
sanksi administrative maupun hukuman pidana. Sanksi administrative diatur
berdasarkan Pasal 47, sedangkan hukuman pidana pokok didasarkan Pasal 48, dan
pidana tambahan dalam Pasal 49.
Berdasarkan Pasal 47, KPPU memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi
administrative terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 22, berupa:
1. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha
tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.43
2. Penetapan pembayaran ganti rugi.44
3. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,- dan setinggitingginya
Rp.25.000.000.000,-.45
Pelanggaran terhadap Pasal 22 juga dapat dikenakan hukuman pidana pokok
berdasarkan Pasal 48 UU Nomor 5 Tahun 1999, berupa:
1. Pidana denda serendah-rendahnya Rp. 5.000.000.000,- dan setinggi-tingginya
Rp.25.000.000.000,-, atau pidana kurungan pengganti denda selama 5 bulan.46
2. Pidana denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,- dan setinggi-tingginya
Rp. 5.000.000.000,- atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3
bulan47, dalam hal pelaku usaha dan/atau menolak menyerahkan alat bukti
43 Pasal 47 ayat (2) butir c UU Nomor 5 Tahun 1999.
44 Pasal 47 ayat (2) butir f UU Nomor 5 Tahun 1999.
45 Pasal 47 ayat (2) butir g UU Nomor 5 Tahun 1999.
46 Pasal 48 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1999.
47 Pasal 48 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1999.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
24
yang diperlukan dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan atau menolak
diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam
penyelidikan dan/atau pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan
dan/atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan (2).
Di samping pidana pokok, pelanggaran terhadap Pasal 22 juga dapat dijatuhi
pidana tambahan sesuai yang diatur dalam Pasal 49 UU Nomor 5 Tahun 1999 sebagai
berikut:
1. pencabutan izin usaha, atau
2. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 tahun dan selama-lamanya 5 tahun, atau
3. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian pada pihak lain.
KPPU memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administrative
terhadap pelaku usaha, namun tidak memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi
administrative kepada pihak lain yang bukan pelaku usaha. Pihak lain yang bukan
pelaku usaha adalah penyelenggara tender dari instransi pemerintah, yang
kegiatannya berkaitan dengan kepentingan negara dan atau masyarakat umum dan
bukan untuk mencari keuntungan ekonomi. Dalam hal ini, KPPU hanya dapat
memberikan rekomendasi kepada atasan dari ketua panitia dan atau penyelenggara
tender, untuk melakukan pemeriksaan terhadap panitia dan penggunaan barang yang
bersangkutan, serta menjatuhkan sanksi administratif pada mereka. Rekomendasi
KPPU merupakan dasar bagi para atasan ketua panitia tender untuk melakukan
pemeriksaan sehubungan dengan adanya indikasi pelanggaran terhadap Keputusan
Presiden Nomor 18 Tahun 2000, Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, dan
kelaziman pelaksanaan tender yang sehat. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
menetapkan bahwa pengadaan barang dan atau jasa pemerintah harus memenuhi
www.legalitas.org
www.legalitas.org
25
antara lain prinsip terbuka dan bersaing, serta adil dan tidak diskriminatif.
Berdasarkan prinsip terbuka dan bersaing, pengadaan barang dan atau jasa harus
terbuka bagi semua penyedia barang dan jasa yang memenuhi persyaratan dan
dilakukan melalui persaingan sehat, berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas
serta transparan.48
Sedangkan sanksi pidana dapat diterapkan kepada pelaku usaha maupun
bukan pelaku usaha yang melakukan persekongkolan tender. Namun demikian, hanya
sanksi pidana pokok dan sanksi pidana tambahan berupa penghentian kegiatan atau
tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain, yang dapat
dijatuhkan terhadap pelaku usaha maupun bukan pelaku usaha yang melakukan
persekongkolan tender.49 Sedangkan sanksi pidana tambahan berupa pencabutan izin
usaha dan larangan menduduki jabatan Direksi atau Komisaris sekurang-kurangnya
dua tahun dan selama-lamanya lima tahun, hanya dapat dijatuhkan terhadap pelaku
usaha yang melakukan persekongkolan tender.50
Kegiatan persekongkolan tender yang mengandung dua sifat pelanggaran
hukum membawa konsekuensi penjatuhan sanksi administratif oleh KPPU, tidak
menghapuskan sifat pidana persekongkolan tender. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa penjatuhan sanksi administrative dan sanksi pidana bersifat alternative bagi
pelaku usaha. Dengan perkataan lain, penjatuhan sanksi administratif dan sanksi
pidana dapat dilakukan terhadap setiap pelaku usaha yang terbukti melakukan
persekongkolan tender.
Hal yang sama terjadi pula di Jepang dalam penerapan sanksi berdasarkan the
AMA di Jepang, yang secara umum mengatur 3 jenis hukuman guna mencegah
pelanggaran terhadap the AMA. Pertama, adalah tindakan administrative, seperti
denda dan penghentian kegiatan atas kartel. Kedua adalah hukuman pidana, dan
ketiga adalah penggantian kerugian. Denda administratif dan hukuman pidana
48 Pasal 3 huruf c Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang dan atau Jasa Pemerintah.
49 Lihat Pasal 48 ayat (2) dan Pasal 49 huruf c UU Nomor 5 Tahun 1999.
50 Pasal 49 huruf a dan b UU Nomor 5 Tahun 1999.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
26
merupakan sarana yang utama untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap the
AMA. Kedua jenis sanksi tersebut seringkali diterapkan terhadap aktivitas yang
bersifat anti persaingan, seperti penetapan harga (price fixing), boikot (group
boycotting), dan bid rigging. Bahkan JFTC menjatuhkan denda dua kali lipat di tahun
1990, dari 1,5% menjadi 3% dan denda sebesar $US 7 juta.51
Namun demikian, the AMA menerapkan denda administrative dan hukuman
pidana sebagai sanksi utama untuk melawan kartel dan bid rigging.52 Denda
administratif diterapkan oleh JFTC untuk menghukum perusahaan-perusahaan yang
melakukan hambatan perdagangan secara tidak masuk akal, yang dapat
mempengaruhi harga atas produk dan jasa. Denda administratif dihitung dengan
melipat-gandakan jumlah/harga penjualan atas produk dan atau jasa selama masa
pelanggaran dengan fixed rate yang didasarkan pada jenis industri. Jumlah maksimal
denda tersebut tidak melebihi 7 milyar Yen (kira-kira $US 60 juta).53
Di samping denda administratif, hukuman pidana dapat dikenakan terhadap
pelaku usaha yang melanggar ketentuan tentang unreasonable restraints of trade.
Jenis hukuman ini mulai diberlakukan oleh JFTC pada tahun 1990 yang menerapkan
tanggung jawab kriminal terhadap pelaku usaha, terutama dalam kasus
persekongkolan tender atas kontrak-kontrak publik yang menjadi penyebab resesi
ekonomi dan korupsi di kalangan pemerintah.54 Para hakim memiliki kewenangan
untuk menentukan tingkatan pidana, salah satu contoh adalah kasus the Blinding
Seal.55 Hakim Pengadilan Tinggi Tokyo mempertimbangkan hal-hal yang
meringankan dan memberatkan dari perilaku yang terkait sebagai hal-hal yang
51 David L. Richter, “Legal Barriers to U. S. Firm Participation in the Japanese Construction
Industry”, University of Pennsylvania Journal of International Business Law, 1991.
52 Shigeki Kusunoki, “Shaping an Anti-Monopoly Law Sanction Regime Against Cartels or Bid
Collusion: a Perspective on Japan’s Choice”, University of Detroit Mercy Law Review, 2002, p.
401. Lihat pula Donald I. Baker, “The Use of Criminal Law Remedies to Deter and Punish
Cartels and Bid Rigging”, George Washington Law Review, 2001, p. 695.
53 Ibid., h. 403.
54 Salil Kumar Mehra, “Politics and Antitrust in Japan”, Virginia Journal of International Law,
2002, p. 315.
55 46-3 Kokeishu (High Court Criminal Report) 322 (Tokyo High Court, decided on Dec. 14, 1993).
www.legalitas.org
www.legalitas.org
27
dipertimbangkan dalam menentukan tingkat hukuman.56 JFTC memiliki kebijakan
yang sangat luas, karena mereka juga memiliki kewenangan untuk menyampaikan
gugatan atau tuntutan pelaku usaha yang bersangkutan.57
Salah satu alasan penjatuhan dua jenis hukuman terhadap aktivitas bid rigging
secara kumulatif disebabkan karena kasus tersebut mendominasi pelanggaran hukum
pidana di Jepang. Sebagai contoh, dari 6 kasus pidana, 5 di antaranya termasuk bid
rigging. Dari 37 kasus yang direkomendasikan oleh JFTC sejak tahun 1998, 31 di
antaranya adalah kasus bid rigging, atau dari 24 juta yen yang dikumpulkan dalam
penerapan denda administrative, 64% di antaranya berasal dari kasus bid rigging.58
E. Penutup
Persekongkolan penawaran tender merupakan tindakan di kalangan para
pelaku usaha yang mengakibatkan hambatan dalam proses persaingan yang sehat
serta menimbulkan kerugian secara material. Bahkan di beberapa negara, tindakan
tersebut diakui sebagai salah satu penyebab utama korupsi dan manipulasi dalam
kegiatan pembangunan, sehingga lembaga pegawas persaingan di beberapa negara di
samping memiliki otoritas menjatuhkan sanksi administratif juga sanksi pidana bagi
pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut secara kumulatif. Mengingat
dampak yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut sangat signifikan terhadap
pembangunan nasional, pemerintah berupaya membentuk peraturan hukum yang
bertujuan dilaksanakannya pengadaan barang dan/atau jasa dengan efektif dan
efisien, dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, dan adil, antara lain
melalui Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
56 Sebagai contoh, misalnya apakah perusahaan tersebut merupakan perusahaan terkemuka di
bidangnya, yang memiliki kewajiban untuk mematuhi pada the AMA, atau kewajiban untuk
menerapkan program kepatuhan atau melatih karyawannya secara ketat setelah ditemukan indikasi
pelanggaran terhadap the AMA. Ibid.
57 Business Use Stretch Film Case 46-2 Kokeishu (High Court Criminal Report) 108 (Tokyo High
Court, decided on May 21, 1993).
58 Yoshiro Mira and J. Mark Ramseyer, “Toward a Theory of Jurisdictional Competition: the Case of
the Japanese FTC”, Journal of Competition Law & Economics, June 2005, p. 264.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
28
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (dengan beberapa peraturan peubahannya).
Pengaturan pengadaan barang dan/atau jasa ini juga dilakukan secara terintegrasi
dengan peraturan hukum lainnya, seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal 22
sampai dengan 24 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang persekongkolan penawaran
tender. Dibentuknya pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam
tender berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999, akan menjadi dasar acuan bagi para
pelaku usaha, baik swasta maupun badan usaha milik negara, serta KPPU sendiri,
guna melakukan tindakan preventif atas terjadinya persekongkolan yang bersifat
horisontal maupun vertikal.
Di samping pembentukan aturan hukum yang bertujuan mencegah dilakukan
persekongkolan, keberadaan lembaga pengawas yang memiliki integritas kuat sangat
menentukan ditegakkannya peraturan tersebut. Salah satu lembaga pengawas tersebut
adalah KPPU, yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dan menjatuhkan sanksi
administratif bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan tentang larangan
persekongkolan penawaran tender. Pedoman atas larangan persekongkolan tender
yang dibentuk oleh KPPU dimaksud untuk memperjelas pengaturan tersebut,
sehingga baik pelaku usaha maupun panitia pelaksana tender dapat menggunakannya
sebagai petunjuk untuk menghindarkan diri dari persekongkolan di kalangan mereka.
Adanya keharusan bagi lembaga pengawas untuk membuktikan semua unsur
yang terdapat dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 akan mempersulit KPPU
dalam melakukan penyelidikan terhadap persekongkolan tender. Unsur yang
dirasakan paling memberatkan tugas KPPU adalah penilaian atas terjadinya
“persaingan usaha tidak sehat”, karena dalam hal ini mereka harus membuktikan
bahwa persekongkolan tersebut “dapat mengakibatkan” persaingan usaha tidak sehat
(pendekatan rule of reason). Unsur ini dapat dianggap sebagai proses pembuktian
yang berlebihan, sehingga kadangkala menjadi bumerang bagi keputusan KPPU
sendiri, karena kalimat “dapat mengakibatkan” merupakan kata-kata bersayap yang
memiliki beberapa makna. Di banyak negara, lembaga pengawas persaingan cukup
membuktikan terjadinya kesepakatan kolusif, karena hampir semua kesepakatan
www.legalitas.org
www.legalitas.org
29
kolusif selalu berakibat merugikan dan/atau meghambat persaingan usaha
(pendekatan per se illegal).
www.legalitas.org
www.legalitas.org
30
DAFTAR PUSTAKA
46-3 Kokeishu (High Court Criminal Report) 322 (Tokyo High Court, decided on
Dec. 14, 1993).
Baker, Donald I. “The Use of Criminal Law Remedies to Deter and Punish Cartels
and Bid Rigging.” George Washington Law Review, 2001.
Black, Henry Cambell. Black’s Law Dictionary (With Pronunciations). St. Paul
Minnesota: West Publishing, Co., 5th ed., 1979.
Business Use Stretch Film Case 46-2 Kokeishu (High Court Criminal Report) 108
(Tokyo High Court, decided on May 21, 1993).
Connolly, Robert E. “Do Schemes to Rig Bids and/or Fix Prices Constitute Fraud?”.
Practising Law Institute, 1992.
Daniel R. Karon, “Price Fixing, Market Allocation and Bid Rigging Conspiracies:
How Counsel Your Clients to Detect Violations and Inform You of Potential
Claims”, American Journal of Trial Advocacy, 2001.
Fry, James D. “Struggling to Teethe: Japan’s Antitrust Enforcement Regime”. Law
and Policy in International Business, 2001.
Gray, Jon R. “Open-Competitive Bidding in Japan’s Public Works Sector and
Foreign Contractor Access: Recent Reforms are Unlikely to Meet
Expectation”, Columbia Journal of Asian Law, 1996.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
31
Haberbush, Kara L. “Limiting the Government’s Exposure to Bid Rigging Schemes,
a Critical Look at the Sealed Bidding Regime”. Public Contract Law Journal,
2000.
Iyori, Hiroshi. “A Comparison of U.S.- Japan Antitrust Law: Looking at The
International Harmonization of Competition Law.” Pacific Rim Law & Policy
Journal, 1995. Judgment of Feb. 9, 1956 (Nihon Sekiyu K.K. v. K-osei
Torihiki I’inkai), Tokyo K-osai (High Court) 7 Gy-osh-u 2949.
Joshua, Julian. “Breaking Up the Hard Core: The Prospects for the Proposed Cartel
Offence”, Criminal Law Review, 2002.
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
Keputusan Presiden RI Nomor 61 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan
Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
Khemani, R. Shyam, et.al. A Framewok for the Design and Implementation of
Competition Law and Policy. Washington DC. And Paris: The World Bank
and Organization for Economic Co-operation and Development=OECD,
1999.
Kusunoki, Shigeki. “Shaping an Anti-Monopoly Law Sanction Regime Against
Cartels or Bid Collusion: a Perspective on Japan’s Choice.” University of
Detroit Mercy Law Review, 2002.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
32
Mehra, Salil Kumar. “Politics and Antitrust in Japan.” Virginia Journal of
International Law, 2002.
Mira, Yoshiro and J. Mark Ramseyer, “Toward a Theory of Jurisdictional
Competition: the Case of the Japanese FTC.” Journal of Competition Law &
Economics, June 2005.
Okatani, Naoki. “Regulations on Bid Rigging in Japan, The United States and
Europe”. Pacific Rim Law & Policy Journal, March, 1995.
Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender oleh KPPU,
2005.
Peraturan Presiden RI Nomor 32 Tahun 2005 tentang Perubahan Kedua atas
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden RI Nomor 70 Tahun 2005 tentang Perubahan Ketiga atas
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden RI Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
“Persekongkolan Tender Pemerintah Kian Parah”. Suara Karya, 17 Oktober 2001.
Putusan Nomor 01/KPPU-L/2000 tentang Persekongkolan Penawaran Tender
Pengadaan Pipa Casing dan Tubing.
www.legalitas.org
www.legalitas.org
33
Putusan Nomor 7/KPPU-LI/2001 tentang Penawaran Tender Pengadaan Sapi Bakalan
Kereman.
Putusan Nomor 03/KPPU-I/2002 tentang Tender Penjualan Saham PT Indomobil
Sukses Indonesia, Tbk. (PT IMSI)
Putusan Perkara Nomor 06/KPPU-I/2005 tentang Persekongkolan Tender Proyek
Multi Years di Riau.
Putusan Perkara Nomor 04/KPPU/2002, JO. NO. 001/KPPU/ PDT.P/2002/PN.JKT
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 04K/KPPU/2005 tentang Penjualan VLCC
Richter, David L. “Legal Barriers to U.S. Firm Participation in the Japanese
Construction Industry.” University of Pennsylvania Journal of International
Business Law, 1991.
Sacker dan Lohse, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair
Business Competition. GTZ-Katalis Publishing, 2000.
Sakda Thanicul, Sakda. “Competition Law in Thailand: a Preliminary Analysis”,
Washington University Global Studies Law Review, 2002.
Sullivan, E.Thomas dan Jeffrey L. Harrison. Understanding Antitrust and Its
Economic Implications. New York: Matthew Bender & Co., 1994.
Takeshima, Kazuhiko (Chairman Fair Trade Commission of Japan). The Lessons
from Experience of Antimonopoly Act in Japan and the Future of Competition
Laws and Policies in East Asia. Disajikan dalam The 2nd East Asia
www.legalitas.org
www.legalitas.org
34
Conference on Competition Law and Policie (Toward Effective
Implementation of Competition Policies in East Asia), Bogor, 3-4 Mei 2005.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Tokigawa, Toshiaki. “The Prospect of Antitrust Law and Policy in the Twenty-First
Century: in Reference to the Japanese Antimonopoly Law and Japan Fair
Trade Commission”, Washington University Global Studies Law Review,
2002.
mana alumi wisuda 1996 fak hukum kok gak ada,,,,by kana