UNJUK RASA LAPINDO


Unjuk Rasa Para Buruh
Oleh Zul Akrial

Pernahkah anda membaca atau mendengar berita tentang terjadinya unjuk rasa pengusaha terhadap buruh, atau dalam kehidupan kenegaraan, penguasa (pemerintah) berunjuk rasa kepada rakyatnya ? Saya pribadi belum pernah mendengar berita tentang hal tersebut. Yang sering dan lazim terjadi adalah sebaliknya, para buruhlah yang justru melakukan unjuk rasa terhadap majikan atau pengusaha. Bolehkah pengusaha berunjuk rasa kepada buruhnya ? Atau dalam bahasa akademis, adakah hak pengusaha untuk berunjuk rasa terhadap buruhnya ? Kalau memang ada peraturan perundang-undangan yang memberikan hak kepada pengusaha untuk berunjuk rasa, mengapa hak ini tidak pernah digunakan ? Nah inilah persoalannya.
Jika dilihat dari praktek penyelenggaraan unjuk rasa yang terjadi dalam kehidupan keseharian, maka kita dapat menyimpulkan, bahwa hak untuk berunjuk rasa itu “seolah-olah” hanya monopoli buruh. Artinya, hanya buruhlah yang dibolehkan untuk melakukan aksi unjuk rasa. Hak monopoli ini, jika kita cermati secara faktual memang ada benarnya walaupun secara normatif belum tentu benar.
Kalau keberadaan unjuk rasa ini secara yuridis diposisikan sebagai suatu “hak”, tentu saja hukumnya adalah sunat. Artinya, boleh digunakan dan boleh pula tidak digunakan. Kalau dilihat dari sudut pandang ini, maka boleh jadi pengusaha tidak berkeinginan mempergunakan haknya untuk berunjuk rasa. Dan sikap tidak mempergunakan hak seperti ini memang tidak dilarang. Berlainan halnya jika unjuk rasa ini diposisikan sebagai suatu kewajiban, maka setiap buruh harus melaksanakannya, jika tidak akan dikenakan sanksi terhadapnya. Dalam tataran syariat Islam, bilamana suatu perbuatan diposisikan/ditetapkan sebagai suatu kewajiban, maka konsekuensinya adalah, jika perbuatan itu tidak dilaksanakan, maka orang tersebut akan berdosa, dan sebaliknya apabila dikerjakan akan memperoleh pahala.
Menurut hemat penulis, kedua belah pihak ¾baik pihak buruh maupun pihak pengusaha¾ sama-sama mempunyai hak untuk menggelar aksi unjuk rasa. Tapi mengapa pengusaha tidak pernah menggunakan haknya untuk berunjuk rasa, hal ini bukanlah merupakan persoalan yang perlu untuk diperdebatkan. Sebagai suatu hak, tidak ada larangan untuk menggunakan hak tersebut, demikian pula halnya juga tidak ada larangan untuk tidak menggunakannya. Inilah konsekuensi dari suatu hak, boleh digunakan, pun juga boleh untuk tidak digunakan.
Persoalan yang menarik untuk dikedepankan adalah, mengapa pihak buruh yang justru sering menggunakan haknya untuk berunjuk rasa ?
Sebelum pembahasan lebih lanjut terhadap persoalan di atas, dipandang perlu terlebih dahulu dipaparkan makna unjuk rasa dalam kehidupan kenegaraan. Secara teoretis, unjuk rasa ¾yakni petisi, protes, demonstrasi dan lain-lain¾ merupakan bentuk partisipasi politik non-konvensional di samping partisipasi konvensional seperti memilih wakil rakyat dalam suatu pemilihan umum, ataupun memilih Presiden secara langsung seperti di Amerika Serikat dan Indonesia.
Di dalam suatu sistem politik yang demokrtais, baik partisipasi politik konvensional maupun non-konvensional, dianggap absah dan mempunyai derajat keberlakuan yang sama. Karena itu, kalau rakyat diperbolehkan atau malah dianjurkan untuk berpartisipasi terhadap pemilihan umum, maka sebagai konsekuensinya adalah, mereka juga tidak boleh dilarang melakukan unjuk rasa.
Keterbukaan Manajemen Keuangan
Tuntutan buruh yang paling sering dikedepankan dalam aksi unjuk rasa adalah berkaitan dengan masalah kesejahteraan: gaji yang kecil yang tidak sesuai dengan UMR (Upah Minimum Regional), uang lembur yang tidak memadai, uang transportasi yang dipotong, uang makan yang terlalu minim, THR (Tunjangan Hari Raya) yang terlambat diberikan, pengurusan Askes yang terlalu birokratis, dan seabrek persoalan lain yang kesemuanya bernuansa pada aspek kesejahteraan.
Salahkah para buruh bilamana ia menuntut peningkatan kesejahteraan dengan cara berunjuk rasa itu ? Kalaulah perusahaan tempat si buruh itu bekerja menerapkan sistem open management, sehingga tercipta transparansi dalam masalah keuangan, penulis yakin bahwa aksi unjuk rasa dari para buruh untuk menuntut peningkatan kesejahteraan, tidak akan terjadi.
Menurut hemat penulis, para buruh mempunyai hak untuk mendapatkan infomasi tentang keadaan keuangan dari perusahaan tempat ia bekerja. Apabila para buruh diberikan data tentang keadaan keuangan ¾data yang dimaksud disini tentu saja data yang akurat bukan rekayasa yaitu berupa data dari hasil audit akuntan publik¾ maka tidak ada alasan bagi para buruh untuk menuntut kenaikan terhadap berbagai bentuk pos kesejahteraan. Dengan keterbukaan keuangan, maka pengusaha akan bisa berkata, “ini lho uang kita yang ada, anda boleh pilih, mau tetap bekerja atau mengundurkan diri. Sebagai manusia berakal, si buruh tentu akan tahu diri. Tidak mungkin para buruh akan mengajukan tuntutan di luar kemampuan keuangan perusahaan. Tapi ketidak-terbukaan soal keuangan inilah yang sering menimbulkan perasaan curiga dari para buruh.
Perlu diingat, bahwa setiap yang tertutup selalu akan mengundang rasa curiga dan rasa ingin tahu orang lain tentang apa yang ada atau yang terkandung dalam ketertutupan itu. Ada banyak cara yang dapat ditempuh untuk mengetahui isi dari sebuah ketertutupan itu, salah satunya adalah melalui aksi unjuk rasa dalam rangka mendobrak sistem ketertutupan, yang pada gilirannya nanti akan ketahuan kebohongan atau kejujuran dari suatu ketertutupan itu.
Realita menunjukan, bahwa pada banyak perusahaan, jika menyangkut masalah keuangan, maka yang diterapkan adalah sistem close management. Semakin tertutup informasi tentang keuangan suatu perusahaan, akan semakin memperbesar rasa curiga para buruh, dan akan semakin membuka peluang terjadinya aksi unjuk rasa.
Ada kecenderungan, bahwa bidang keuangan merupakan bidang yang tertutup dan merupakan rahasia perusahaan, sehingga para buruh dipandang tidak berhak untuk mendapatkan informasi tentang keadaan keuangan perusahaan tempat ia bekerja.
Ketidak-terbukaan soal keuangan dari pihak perusahaan inilah, menurut hemat penulis, yang sering menjadi pemicu terjadinya tindakan bisik-bisik di warung kopi yang dilakukan antar-sesama buruh, yang untuk selanjutnya berkembang dan mencapai klimaks pada satu perasaan senasib dan sepenanggungan diantara para buruh tersebut, lalu membuahkan aksi unjuk rasa.
Jika bertolak dari sudut pandang ketidak-terbukaan soal keuangan dari perusahaan ini, maka tindakan unjuk rasa yang digelar oleh buruh, sesungguhnya tidak dapat dan juga tidak boleh seratus persen kesalahan itu ditimpakan hanya kepada si buruh. Pihak perusahaan sebenarnya juga mempunyai andil sebagai pemicu terjadinya aksi unjuk rasa, karena pihak perusahaan sendiri juga tidak mau terbuka dalam masalah keuangan, dimana sebenarnya para buruh juga mempunyai hak atas informasi (data) tentang keuangan dari perusahaan tempat ia bekerja.
Latar belakang pemikiran bahwa para buruh sebenarnya juga mempunyai hak atas informasi tentang keadaan keuangan perusahaan tempat ia bekerja adalah, seperti diketahui, bahwa para buruh merupakan bagian dari komponen perusahaan yang terlibat langsung secara aktif ikut membesarkan dan memajukan perusahaan tempat ia bekerja, sehingga adalah wajar dan sangat beralasan kalau para buruh, tidak saja dilibatkan dalam hal pekerjaan an sich, tetapi juga mempunyai keterlibatan dalam masalah “hak” atas seluruh informasi dari perusahaan, termasuk di dalamnya hak atas informasi tentang keadaan keuangan perusahaan. Selamat berunjuk rasa semoga sukses.


Unjuk Rasa Para Buruh
Oleh Zul Akrial

Pernahkah anda membaca atau mendengar berita tentang terjadinya unjuk rasa pengusaha terhadap buruh, atau dalam kehidupan kenegaraan, penguasa (pemerintah) berunjuk rasa kepada rakyatnya ? Saya pribadi belum pernah mendengar berita tentang hal tersebut. Yang sering dan lazim terjadi adalah sebaliknya, para buruhlah yang justru melakukan unjuk rasa terhadap majikan atau pengusaha. Bolehkah pengusaha berunjuk rasa kepada buruhnya ? Atau dalam bahasa akademis, adakah hak pengusaha untuk berunjuk rasa terhadap buruhnya ? Kalau memang ada peraturan perundang-undangan yang memberikan hak kepada pengusaha untuk berunjuk rasa, mengapa hak ini tidak pernah digunakan ? Nah inilah persoalannya.
Jika dilihat dari praktek penyelenggaraan unjuk rasa yang terjadi dalam kehidupan keseharian, maka kita dapat menyimpulkan, bahwa hak untuk berunjuk rasa itu “seolah-olah” hanya monopoli buruh. Artinya, hanya buruhlah yang dibolehkan untuk melakukan aksi unjuk rasa. Hak monopoli ini, jika kita cermati secara faktual memang ada benarnya walaupun secara normatif belum tentu benar.
Kalau keberadaan unjuk rasa ini secara yuridis diposisikan sebagai suatu “hak”, tentu saja hukumnya adalah sunat. Artinya, boleh digunakan dan boleh pula tidak digunakan. Kalau dilihat dari sudut pandang ini, maka boleh jadi pengusaha tidak berkeinginan mempergunakan haknya untuk berunjuk rasa. Dan sikap tidak mempergunakan hak seperti ini memang tidak dilarang. Berlainan halnya jika unjuk rasa ini diposisikan sebagai suatu kewajiban, maka setiap buruh harus melaksanakannya, jika tidak akan dikenakan sanksi terhadapnya. Dalam tataran syariat Islam, bilamana suatu perbuatan diposisikan/ditetapkan sebagai suatu kewajiban, maka konsekuensinya adalah, jika perbuatan itu tidak dilaksanakan, maka orang tersebut akan berdosa, dan sebaliknya apabila dikerjakan akan memperoleh pahala.
Menurut hemat penulis, kedua belah pihak ¾baik pihak buruh maupun pihak pengusaha¾ sama-sama mempunyai hak untuk menggelar aksi unjuk rasa. Tapi mengapa pengusaha tidak pernah menggunakan haknya untuk berunjuk rasa, hal ini bukanlah merupakan persoalan yang perlu untuk diperdebatkan. Sebagai suatu hak, tidak ada larangan untuk menggunakan hak tersebut, demikian pula halnya juga tidak ada larangan untuk tidak menggunakannya. Inilah konsekuensi dari suatu hak, boleh digunakan, pun juga boleh untuk tidak digunakan.
Persoalan yang menarik untuk dikedepankan adalah, mengapa pihak buruh yang justru sering menggunakan haknya untuk berunjuk rasa ?
Sebelum pembahasan lebih lanjut terhadap persoalan di atas, dipandang perlu terlebih dahulu dipaparkan makna unjuk rasa dalam kehidupan kenegaraan. Secara teoretis, unjuk rasa ¾yakni petisi, protes, demonstrasi dan lain-lain¾ merupakan bentuk partisipasi politik non-konvensional di samping partisipasi konvensional seperti memilih wakil rakyat dalam suatu pemilihan umum, ataupun memilih Presiden secara langsung seperti di Amerika Serikat dan Indonesia.
Di dalam suatu sistem politik yang demokrtais, baik partisipasi politik konvensional maupun non-konvensional, dianggap absah dan mempunyai derajat keberlakuan yang sama. Karena itu, kalau rakyat diperbolehkan atau malah dianjurkan untuk berpartisipasi terhadap pemilihan umum, maka sebagai konsekuensinya adalah, mereka juga tidak boleh dilarang melakukan unjuk rasa.
Keterbukaan Manajemen Keuangan
Tuntutan buruh yang paling sering dikedepankan dalam aksi unjuk rasa adalah berkaitan dengan masalah kesejahteraan: gaji yang kecil yang tidak sesuai dengan UMR (Upah Minimum Regional), uang lembur yang tidak memadai, uang transportasi yang dipotong, uang makan yang terlalu minim, THR (Tunjangan Hari Raya) yang terlambat diberikan, pengurusan Askes yang terlalu birokratis, dan seabrek persoalan lain yang kesemuanya bernuansa pada aspek kesejahteraan.
Salahkah para buruh bilamana ia menuntut peningkatan kesejahteraan dengan cara berunjuk rasa itu ? Kalaulah perusahaan tempat si buruh itu bekerja menerapkan sistem open management, sehingga tercipta transparansi dalam masalah keuangan, penulis yakin bahwa aksi unjuk rasa dari para buruh untuk menuntut peningkatan kesejahteraan, tidak akan terjadi.
Menurut hemat penulis, para buruh mempunyai hak untuk mendapatkan infomasi tentang keadaan keuangan dari perusahaan tempat ia bekerja. Apabila para buruh diberikan data tentang keadaan keuangan ¾data yang dimaksud disini tentu saja data yang akurat bukan rekayasa yaitu berupa data dari hasil audit akuntan publik¾ maka tidak ada alasan bagi para buruh untuk menuntut kenaikan terhadap berbagai bentuk pos kesejahteraan. Dengan keterbukaan keuangan, maka pengusaha akan bisa berkata, “ini lho uang kita yang ada, anda boleh pilih, mau tetap bekerja atau mengundurkan diri. Sebagai manusia berakal, si buruh tentu akan tahu diri. Tidak mungkin para buruh akan mengajukan tuntutan di luar kemampuan keuangan perusahaan. Tapi ketidak-terbukaan soal keuangan inilah yang sering menimbulkan perasaan curiga dari para buruh.
Perlu diingat, bahwa setiap yang tertutup selalu akan mengundang rasa curiga dan rasa ingin tahu orang lain tentang apa yang ada atau yang terkandung dalam ketertutupan itu. Ada banyak cara yang dapat ditempuh untuk mengetahui isi dari sebuah ketertutupan itu, salah satunya adalah melalui aksi unjuk rasa dalam rangka mendobrak sistem ketertutupan, yang pada gilirannya nanti akan ketahuan kebohongan atau kejujuran dari suatu ketertutupan itu.
Realita menunjukan, bahwa pada banyak perusahaan, jika menyangkut masalah keuangan, maka yang diterapkan adalah sistem close management. Semakin tertutup informasi tentang keuangan suatu perusahaan, akan semakin memperbesar rasa curiga para buruh, dan akan semakin membuka peluang terjadinya aksi unjuk rasa.
Ada kecenderungan, bahwa bidang keuangan merupakan bidang yang tertutup dan merupakan rahasia perusahaan, sehingga para buruh dipandang tidak berhak untuk mendapatkan informasi tentang keadaan keuangan perusahaan tempat ia bekerja.
Ketidak-terbukaan soal keuangan dari pihak perusahaan inilah, menurut hemat penulis, yang sering menjadi pemicu terjadinya tindakan bisik-bisik di warung kopi yang dilakukan antar-sesama buruh, yang untuk selanjutnya berkembang dan mencapai klimaks pada satu perasaan senasib dan sepenanggungan diantara para buruh tersebut, lalu membuahkan aksi unjuk rasa.
Jika bertolak dari sudut pandang ketidak-terbukaan soal keuangan dari perusahaan ini, maka tindakan unjuk rasa yang digelar oleh buruh, sesungguhnya tidak dapat dan juga tidak boleh seratus persen kesalahan itu ditimpakan hanya kepada si buruh. Pihak perusahaan sebenarnya juga mempunyai andil sebagai pemicu terjadinya aksi unjuk rasa, karena pihak perusahaan sendiri juga tidak mau terbuka dalam masalah keuangan, dimana sebenarnya para buruh juga mempunyai hak atas informasi (data) tentang keuangan dari perusahaan tempat ia bekerja.
Latar belakang pemikiran bahwa para buruh sebenarnya juga mempunyai hak atas informasi tentang keadaan keuangan perusahaan tempat ia bekerja adalah, seperti diketahui, bahwa para buruh merupakan bagian dari komponen perusahaan yang terlibat langsung secara aktif ikut membesarkan dan memajukan perusahaan tempat ia bekerja, sehingga adalah wajar dan sangat beralasan kalau para buruh, tidak saja dilibatkan dalam hal pekerjaan an sich, tetapi juga mempunyai keterlibatan dalam masalah “hak” atas seluruh informasi dari perusahaan, termasuk di dalamnya hak atas informasi tentang keadaan keuangan perusahaan. Selamat berunjuk rasa semoga sukses.

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan memberikan saran dan komentar terkait artikel tersebut :)