SENGKETA PEMILU DAN MASA DEPAN DEMOKRASI

Perhelatan akbar pesta demokrasi nasional guna memilih calon anggota legislatif 2009 berlangsung penuh warna. Hiruk-pikuk pelaksanaan Pemilu Indonesia yang melibatkan ribuan calon anggota legislatif guna memperebutkan sekitar 18.960 kursi, kerap menghiasi pemberitaan utama di media massa. Hal demikian semakin bertambah panas manakala sistem Pemilu yang digunakan menisbatkan sebagai sistem Pemilu terumit di dunia. Walhasil, benih-benih potensi sengketa Pemilu menjamur hampir di sebagian besar daerah pemilihan, khususnya terkait dengan cara dan proses penghitungan suara. Pada dasarnya, ragam potensi sengketa Pemilu tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu pelanggaran administratif, pelanggaran pidana, dan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Untuk pelanggaran yang menyentuh ranah administratif menjadi kewenangan KPU, sedangkan terhadap pelanggaran pidana Pemilu masuk ke dalam ranah pengadilan umum. Sementara itu, PHPU menjadi domain khusus bagi Mahkamah Konstitusi untuk memutuskannya. Sejatinya, sesuai dengan Pasal 250 dan Pasal 257 UU Pemilu Legislatif, pelanggaran administratif harus terselesaikan maksimum 7 (tujuh) hari sejak diterimanya laporan dari Bawaslu/Panwaslu, sedangkan untuk pelanggaran pidana Pemilu harus sudah diputus paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional. Artinya, jika Pasal 201 mengharuskan adanya penetapan hasil suara Pemilu secara nasional paling lambat 30 hari setelah hari pemungutan suara, atau singkatnya pada 9 Mei 2009 nanti, maka seyogyanya pidana pelanggaran Pemilu sudah harus diputus tuntas pada tanggal 4 Mei yang lalu. Namun apa daya, hampir sebagian besar laporan dari kedua jenis pelanggaran tersebut ternyata tidak ditindaklajuti dengan baik, bahkan terkesan ditangani secara serampangan. Alih-alih mengakomodasi keberatan para peserta Pemilu, nyatanya tidak jarang dipilih jalan pendek nan mudah dengan sengaja melempar bola muntah atau memberikan “anjuran sesat” untuk mencari segala penyelesaian jenis sengketa ke hadapan meja merah Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, UU telah mengatur batasan tegas kewenangan penyelesaian antara jenis sengketa satu dengan lainnya. Pada titik inilah dapat disimpulkan bahwa ternyata jenjang dan pembagian ranah penyelesaian sengketa Pemilu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya, sebagaimana dikhawatirkan oleh banyak pihak, MK pada akhirnya diposisikan sebagai “Mahkamah Keranjang” untuk menerima beragam jenis sengketa Pemilu. Asumsi ini boleh jadi terbukti benar, tatkala sejumlah 60 konsultasi permohonan yang telah diterima MK hingga Selasa (5/4) kemarin, justru lebih banyak mengurai kasus-kasus pelanggaran administratif dan pidana. Pengujian Stamina Berkaca dari pengalaman Pemilu lima tahun yang lalu, MK memang tengah mempersiapkan mekanisme yang lebih efektif dan efisien untuk menangani sengketa Pemilu 2009. Pasalnya, berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi Pemilu, sengketa yang akan muncul diprediksi meningkat mencapai 250% hingga 400%. Apabila pada tahun 2004 MK meregistrasi 273 kasus dari 448 kasus yang diterima, maka pada tahun ini sengketa yang masuk berdasarkan Daerah Pemilihan (Dapil) dapat mencapai kisaran hingga 2.172 kasus, yang terdiri dari 77 kasus DPR, 217 kasus DPRD Provinsi, 1.843 DPRD Kabupaten, dan 33 kasus DPD, serta ditambah 2 kasus Parliamentary Threshold (PT). Sedangkan apabila permohonan dikerucutkan berdasarkan Partai Politik (44) dan Provinsi DPD (33), maka akan ditemukan 77 perkara permohonan yang dari setiap permohonannya tersebut sudah dipastikan membawa kasus yang beranak-pinak. Di sinilah letak ujian stamina terberat bagi MK untuk memutus seluruh sengketa yang akan masuk. Sebab berdasarkan Pasal 78 huruf b UU MK, waktu yang diberikan untuk menyelesaikannya sangatlah terbatas, yaitu tidak lebih dari 30 hari. Bahkan ada tuntutan untuk memangkas waktu penyelesaian menjadi hanya 21 hari, semata-mata demi persiapan pelaksanaan Pilpres yang lebih matang. Oleh karenanya, kini penghitungan waktu penyelesaian tidak dapat lagi menggunakan sekedar ukuran hari, namun harus diubah menjadi hitungan jam dan menit. Dalam keadaan normal, suatu perkara di MK umumnya diputuskan setelah melalui lima kali tahapan persidangan dan dua kali Rapat Permusawaratan Hakim (RPH). Sehingga untuk menyelesaikan sejumlah 77 perkara atau 2.172 kasus yang masuk, setidaknya dibutuhkan sebanyak 385 kali persidangan dan 154 kali RPH dalam kurun waktu hanya 720 jam yang kemudian harus dibagi secara rinci untuk Sidang Panel (260 jam), Rapat Panel Hakim (52 jam), Perancangan Putusan (130 jam), dan RPH (26 jam). Dengan kata lain, untuk setiap harinya MK harus mampu mengejar target rata-rata tidak kurang dari dua belas kali persidangan guna memeriksa puluhan kasus Pemilu di dalam setiap persidangannya. Apabila mencermati kondisi demikian, maka besar kemungkinan Jaya Suprana akan menghadiahi MK sebagai calon pemegang rekor persidangan terbanyak dan mencatatnya di dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Pertaruhan Demokrasi MK yang lahir dari rahim reformasi telah diberikan mandat konstitusi untuk mengawal proses demokrasi di Indonesia, khususnya yang terkait dengan hasil Pemilu. Inilah kali kedua dalam sejarah demokrasi Indonesia, para peserta Pemilu memperoleh akses untuk melakukan legal action guna mempertahankan hak konstitusional atas perolehan hasil suara yang diraihnya. Merujuk pada banyaknya kekurangan yang terjadi selama pelaksanaan Pemilu 2009, maka banyak pihak yang kemudian menaruh harapan pada persidangan MK agar proses Pemilu yang dianggap terciderai dapat dikembalikan pada esensi dan substansinya yang mulia. Di sinilah beban berat yang akan dipikul oleh MK, terlebih lagi dalam posisinya sebagai the last gatekeeper of democracy. Tak ayal dalam beberapa kesempatan, Hakim Konstitusi Maruarar mengumpamakan perhelatan PHPU mendatang sebagai “perang besar” (the big war), yakni perang untuk memurnikan noda-noda demokrasi dalam Pemilu. Pada harinya, pagelaran persidangan terbuka selama 30 hari non-stop di gedung MK adalah milik publik seutuhnya. Oleh karena itu, andil dan peran serta masyarakat luas sejatinya amat diperlukan untuk turut mencermati dan menilai secara berimbang terhadap proses pencarian nilai-nilai keadilan demokratis. Dengan demikian, lebih dari sekedar untuk menutup kesempatan bagi pihak ketiga melancarkan praktik suap dan jual-beli perkara, proses persidangan yang transparan dan akuntabel dapat dimanfaatkan sebagai cara untuk meningkatkan “civic and political education” bagi warga negara. Akhirnya, ribuan caleg dan masyarakat luas kini tinggal menunggu dikeluarkannya Penetapan KPU dalam beberapa hari ke depan. Ketika palu penetapan dijatuhkan di meja Pleno KPU, maka pada saat itulah perang besar mempertahankan kesucian demokrasi dimulai. Mampukah MK mengatasi penyelesaian ribuan kasus Pemilu dalam kurun waktu 30 hari? Optimisme memang harus tetap dipertahankan, tetapi persiapan matang dan ikhtiar maksimal adalah kebutuhan yang saat ini amat diperlukan. Jika di masa transisi ini bangsa Indonesia kembali berhasil menyelesaikan sengketa Pemilu tanpa adanya pertempuran fisik dan pertumpahan darah, maka jalan mewujudkan negara hukum yang demokratis di masa mendatang akan semakin terbuka lebar. * Anggota Tim Penanganan Perkara PHPU di Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini adalah pandangan pribadi. Perhelatan akbar pesta demokrasi nasional guna memilih calon anggota legislatif 2009 berlangsung penuh warna. Hiruk-pikuk pelaksanaan Pemilu Indonesia yang melibatkan ribuan calon anggota legislatif guna memperebutkan sekitar 18.960 kursi, kerap menghiasi pemberitaan utama di media massa. Hal demikian semakin bertambah panas manakala sistem Pemilu yang digunakan menisbatkan sebagai sistem Pemilu terumit di dunia. Walhasil, benih-benih potensi sengketa Pemilu menjamur hampir di sebagian besar daerah pemilihan, khususnya terkait dengan cara dan proses penghitungan suara. Pada dasarnya, ragam potensi sengketa Pemilu tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu pelanggaran administratif, pelanggaran pidana, dan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Untuk pelanggaran yang menyentuh ranah administratif menjadi kewenangan KPU, sedangkan terhadap pelanggaran pidana Pemilu masuk ke dalam ranah pengadilan umum. Sementara itu, PHPU menjadi domain khusus bagi Mahkamah Konstitusi untuk memutuskannya. Sejatinya, sesuai dengan Pasal 250 dan Pasal 257 UU Pemilu Legislatif, pelanggaran administratif harus terselesaikan maksimum 7 (tujuh) hari sejak diterimanya laporan dari Bawaslu/Panwaslu, sedangkan untuk pelanggaran pidana Pemilu harus sudah diputus paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional. Artinya, jika Pasal 201 mengharuskan adanya penetapan hasil suara Pemilu secara nasional paling lambat 30 hari setelah hari pemungutan suara, atau singkatnya pada 9 Mei 2009 nanti, maka seyogyanya pidana pelanggaran Pemilu sudah harus diputus tuntas pada tanggal 4 Mei yang lalu. Namun apa daya, hampir sebagian besar laporan dari kedua jenis pelanggaran tersebut ternyata tidak ditindaklajuti dengan baik, bahkan terkesan ditangani secara serampangan. Alih-alih mengakomodasi keberatan para peserta Pemilu, nyatanya tidak jarang dipilih jalan pendek nan mudah dengan sengaja melempar bola muntah atau memberikan “anjuran sesat” untuk mencari segala penyelesaian jenis sengketa ke hadapan meja merah Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, UU telah mengatur batasan tegas kewenangan penyelesaian antara jenis sengketa satu dengan lainnya. Pada titik inilah dapat disimpulkan bahwa ternyata jenjang dan pembagian ranah penyelesaian sengketa Pemilu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya, sebagaimana dikhawatirkan oleh banyak pihak, MK pada akhirnya diposisikan sebagai “Mahkamah Keranjang” untuk menerima beragam jenis sengketa Pemilu. Asumsi ini boleh jadi terbukti benar, tatkala sejumlah 60 konsultasi permohonan yang telah diterima MK hingga Selasa (5/4) kemarin, justru lebih banyak mengurai kasus-kasus pelanggaran administratif dan pidana. Pengujian Stamina Berkaca dari pengalaman Pemilu lima tahun yang lalu, MK memang tengah mempersiapkan mekanisme yang lebih efektif dan efisien untuk menangani sengketa Pemilu 2009. Pasalnya, berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi Pemilu, sengketa yang akan muncul diprediksi meningkat mencapai 250% hingga 400%. Apabila pada tahun 2004 MK meregistrasi 273 kasus dari 448 kasus yang diterima, maka pada tahun ini sengketa yang masuk berdasarkan Daerah Pemilihan (Dapil) dapat mencapai kisaran hingga 2.172 kasus, yang terdiri dari 77 kasus DPR, 217 kasus DPRD Provinsi, 1.843 DPRD Kabupaten, dan 33 kasus DPD, serta ditambah 2 kasus Parliamentary Threshold (PT). Sedangkan apabila permohonan dikerucutkan berdasarkan Partai Politik (44) dan Provinsi DPD (33), maka akan ditemukan 77 perkara permohonan yang dari setiap permohonannya tersebut sudah dipastikan membawa kasus yang beranak-pinak. Di sinilah letak ujian stamina terberat bagi MK untuk memutus seluruh sengketa yang akan masuk. Sebab berdasarkan Pasal 78 huruf b UU MK, waktu yang diberikan untuk menyelesaikannya sangatlah terbatas, yaitu tidak lebih dari 30 hari. Bahkan ada tuntutan untuk memangkas waktu penyelesaian menjadi hanya 21 hari, semata-mata demi persiapan pelaksanaan Pilpres yang lebih matang. Oleh karenanya, kini penghitungan waktu penyelesaian tidak dapat lagi menggunakan sekedar ukuran hari, namun harus diubah menjadi hitungan jam dan menit. Dalam keadaan normal, suatu perkara di MK umumnya diputuskan setelah melalui lima kali tahapan persidangan dan dua kali Rapat Permusawaratan Hakim (RPH). Sehingga untuk menyelesaikan sejumlah 77 perkara atau 2.172 kasus yang masuk, setidaknya dibutuhkan sebanyak 385 kali persidangan dan 154 kali RPH dalam kurun waktu hanya 720 jam yang kemudian harus dibagi secara rinci untuk Sidang Panel (260 jam), Rapat Panel Hakim (52 jam), Perancangan Putusan (130 jam), dan RPH (26 jam). Dengan kata lain, untuk setiap harinya MK harus mampu mengejar target rata-rata tidak kurang dari dua belas kali persidangan guna memeriksa puluhan kasus Pemilu di dalam setiap persidangannya. Apabila mencermati kondisi demikian, maka besar kemungkinan Jaya Suprana akan menghadiahi MK sebagai calon pemegang rekor persidangan terbanyak dan mencatatnya di dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Pertaruhan Demokrasi MK yang lahir dari rahim reformasi telah diberikan mandat konstitusi untuk mengawal proses demokrasi di Indonesia, khususnya yang terkait dengan hasil Pemilu. Inilah kali kedua dalam sejarah demokrasi Indonesia, para peserta Pemilu memperoleh akses untuk melakukan legal action guna mempertahankan hak konstitusional atas perolehan hasil suara yang diraihnya. Merujuk pada banyaknya kekurangan yang terjadi selama pelaksanaan Pemilu 2009, maka banyak pihak yang kemudian menaruh harapan pada persidangan MK agar proses Pemilu yang dianggap terciderai dapat dikembalikan pada esensi dan substansinya yang mulia. Di sinilah beban berat yang akan dipikul oleh MK, terlebih lagi dalam posisinya sebagai the last gatekeeper of democracy. Tak ayal dalam beberapa kesempatan, Hakim Konstitusi Maruarar mengumpamakan perhelatan PHPU mendatang sebagai “perang besar” (the big war), yakni perang untuk memurnikan noda-noda demokrasi dalam Pemilu. Pada harinya, pagelaran persidangan terbuka selama 30 hari non-stop di gedung MK adalah milik publik seutuhnya. Oleh karena itu, andil dan peran serta masyarakat luas sejatinya amat diperlukan untuk turut mencermati dan menilai secara berimbang terhadap proses pencarian nilai-nilai keadilan demokratis. Dengan demikian, lebih dari sekedar untuk menutup kesempatan bagi pihak ketiga melancarkan praktik suap dan jual-beli perkara, proses persidangan yang transparan dan akuntabel dapat dimanfaatkan sebagai cara untuk meningkatkan “civic and political education” bagi warga negara. Akhirnya, ribuan caleg dan masyarakat luas kini tinggal menunggu dikeluarkannya Penetapan KPU dalam beberapa hari ke depan. Ketika palu penetapan dijatuhkan di meja Pleno KPU, maka pada saat itulah perang besar mempertahankan kesucian demokrasi dimulai. Mampukah MK mengatasi penyelesaian ribuan kasus Pemilu dalam kurun waktu 30 hari? Optimisme memang harus tetap dipertahankan, tetapi persiapan matang dan ikhtiar maksimal adalah kebutuhan yang saat ini amat diperlukan. Jika di masa transisi ini bangsa Indonesia kembali berhasil menyelesaikan sengketa Pemilu tanpa adanya pertempuran fisik dan pertumpahan darah, maka jalan mewujudkan negara hukum yang demokratis di masa mendatang akan semakin terbuka lebar. * Anggota Tim Penanganan Perkara PHPU di Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini adalah pandangan pribadi.

3 komentar:

sengketa ?

woi nulis tuh pake enter!!!

gak bisa pake komputer ya lu?!

Post a Comment

Silahkan memberikan saran dan komentar terkait artikel tersebut :)