Undangan Pernikahan

Salah seorang rekan saya di ICT Watch berencana akan menempuh hidup baru, atawa menikah, minggu depan. Melalui ponselnya, beberapa hari silam dia mengabarkan hal tersebut, sekaligus mengundang saya untuk menghadiri resepsinya. "Mana undangannya?" demikian tukas saya.

Lho, padahal dia menghubungi saya ketika itu adalah dalam rangka mengundang. Tetapi anehnya, saya tidak (mau) merasa telah diundang, jika belum menerima yang namanya surat undangan dalam bentuk fisik.

Padahal saya termasuk salah satu penganut faham paperless ataupun less paper dalam aktifitas sehari-hari. Kalau memang bisa menggunakan e-mail atau SMS, mengapa harus repot-repot menggunakan kertas? Apalagi untuk urusan-urusan komunikasi yang sepele. Sepele? Tidak juga. Saya banyak melakukan diskusi hal-hal yang jauh jika dikatakan sepele dengan menggunakan e-mail.

Penjajagan kerjasama misalnya, mayoritas saya lakukan menggunakan e-mail. Saling bertemu tatap-muka paling hanya untuk finalisasi, lobi-lobi dan ngopi-ngopi. Pun kepastian tempat dan waktunya, dikoordinasikan melalui SMS. Jadi, tak ada yang salah bukan berkomunikasi dengan e-mail dan SMS?

Tapi kok ya rasanya masih kurang sreg jika ada yang mengundang resepsi pernikahan menggunakan kedua sarana tersebut. Saya butuh yang tercetak di atas kertas! Maaf, untuk yang satu ini saya memang agak kolot dan konservatif.


Undangan

Sekedar berbagi cerita bahwa saya tidaklah kontra dengan TI untuk urusan pernikahan, waktu resepsi pernikahan saya beberapa tahun silam, saya sempat membuat situs khusus. Di situs yang masih online hingga kini tersebut, waktu itu saya lengkapi dengan fitur web cam yang menayangkan prosesi acara di pelaminan saat hari 'h' secara live. Terdapat pula informasi tempat dan lokasi resepsi, lengkap dengan petanya. Ada pula 'buku tamu' dan informasi-informasl iannya.

Tetapi situs tersebut tidak saya fungsikan sebagai undangan. Peran situs tersebut hanyalah sebagai 'perpanjangan tangan' atmosfer acara tersebut. Sehingga sahabat-sahabat saya yang berhalangan untuk hadir, dapat tetap 'hadir' dalam prosesi pernikahan saya, tanpa harus beranjak dari depan komputernya. Undangan? Tetap telah terkirim versi cetaknya.

Bicara lebih lanjut soal undangan pernikahan, salah satu sahabat lama saya di Bandung pernah melakukan hal yang menurut saya agak konyol. Lama tak bersua, suatu ketika saya mendengar kabar dari rekannya, bahwa dia telah menemukan pria idamannya, dan memutuskan akan menikah selang beberapa lama kemudian. Karena nomor ponsel sahabat saya tersebut sudah ganti, dan sialnya saya tidak punya nomor yang baru, ya sudah saya titip pesan saja ke rekannya tersebut.

"Tolong sampaikan ke dia , sombong sekali nikah nggak ngundang-ngundang", begitu pesan saya. Beberapa pekan berlalu. Saya juga sudah lupa dengan rencana pernikahan tersebut. Sampai pada suatu ketika, saya mendapat kabar lagi bahwa pernikahan tersebut sudah dilangsungkan beberapa hari silam. Lho kok saya akhirnya benar-benar tidak diundang?

Rupanya sahabat saya tersebut sebenarnya sudah mengundang saya, tetapi melalui Internet. Pasalnya, mungkin masih lebih baik jika melalui e-mail, tetapi rupanya dia mengundang saya menggunakan fasilitas send a message di Friendster! Padahal saya memeriksa account Friendster saya paling satu-dua minggu sekali. Alamak...

Mau tidak mau, hingga kini saya tetap menggunakan standar ganda untuk urusan komunikasi menggunakan teknologi informasi (TI), baik Internet ataupun ponsel. Bagi saya, ada hal-hal yang akan lebih baik jika dikomunikasikan tanpa menggunakan TI, khususnya untuk hal yang sakral semisal resepsi pernikahan tersebut.


Esensi

Bicara tentang sakralisme dan TI, pada awal 2004 silam saya pernah menulis kritikan terkait dengan ritual orang berkirim pesan selamat atas perayaan suatu hari besar keagamaan tertentu melalui SMS.

Waktu itu saya menulis bahwa ada sekian puluh juta fungsi hati (perasaan) manusia yang dialihkan ke jempol tangan untuk melakukan ritual komunikasi antar manusia. Tradisi mengirimkan kartu ucapan sudah mulai pupus, setidaknya bagi kebanyakan penghuni dan pekerja di kota metropolitan seperti Jakarta ini.

Ritual menulis nama dan alamat menggunakan pena, tergantikan dengan sekedar lirikan mata pada layar ponsel. Ritual menempelkan perangko menggunakan lem dan mengantarkan surat ke kantor pos, tergantikan oleh 'tarian' jempol pada tombol ponsel.

Tanpa disadari, sebenarnya kita telah mengurangi nilai dan esensi 'sentuhan manusia' dalam komunikasi yang menggunakan SMS tersebut. Kita tak lagi dikuatirkan dengan sampai tidaknya pesan, sepanjang di ponsel kita terbaca 'sent' ataupun 'delivered'. Pun, kita tidak terlalu peduli apakah pesan tersebut akan dibaca sampai habis, disimpan ataukah langsung dihapus oleh penerimanya. Langsung dihapus? Bisa saja, karena isi pesannya nyaris sama dengan sekian puluh atau sekian ratus pesan yang lain. Persis seperti template, hanya diubah nama pengirimnya saja, lalu di-forward kesana-kemari.


Itulah mengapa saya hingga kini masih percaya, bahwa tidak semua komunikasi antar-manusia yang esensinya bisa tergantikan dengan TI. Pun walau akhirnya nanti zaman akan membuktikan lain. Oh ya, beberapa hari lalu saya menerima (lagi) sebuah undangan pernikahan melalui SMS. Saya tidak habis pikir, menyampaikan suatu berita gembira (Insya Allah) seumur hidup sekali, kok mau-maunya dibatasi oleh 160 karakter saja.


Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat, mohon kiranya undangan pernikahan yang disampaikan bukan berupa SMS ataupun e-mail.... Salah seorang rekan saya di ICT Watch berencana akan menempuh hidup baru, atawa menikah, minggu depan. Melalui ponselnya, beberapa hari silam dia mengabarkan hal tersebut, sekaligus mengundang saya untuk menghadiri resepsinya. "Mana undangannya?" demikian tukas saya.

Lho, padahal dia menghubungi saya ketika itu adalah dalam rangka mengundang. Tetapi anehnya, saya tidak (mau) merasa telah diundang, jika belum menerima yang namanya surat undangan dalam bentuk fisik.

Padahal saya termasuk salah satu penganut faham paperless ataupun less paper dalam aktifitas sehari-hari. Kalau memang bisa menggunakan e-mail atau SMS, mengapa harus repot-repot menggunakan kertas? Apalagi untuk urusan-urusan komunikasi yang sepele. Sepele? Tidak juga. Saya banyak melakukan diskusi hal-hal yang jauh jika dikatakan sepele dengan menggunakan e-mail.

Penjajagan kerjasama misalnya, mayoritas saya lakukan menggunakan e-mail. Saling bertemu tatap-muka paling hanya untuk finalisasi, lobi-lobi dan ngopi-ngopi. Pun kepastian tempat dan waktunya, dikoordinasikan melalui SMS. Jadi, tak ada yang salah bukan berkomunikasi dengan e-mail dan SMS?

Tapi kok ya rasanya masih kurang sreg jika ada yang mengundang resepsi pernikahan menggunakan kedua sarana tersebut. Saya butuh yang tercetak di atas kertas! Maaf, untuk yang satu ini saya memang agak kolot dan konservatif.


Undangan

Sekedar berbagi cerita bahwa saya tidaklah kontra dengan TI untuk urusan pernikahan, waktu resepsi pernikahan saya beberapa tahun silam, saya sempat membuat situs khusus. Di situs yang masih online hingga kini tersebut, waktu itu saya lengkapi dengan fitur web cam yang menayangkan prosesi acara di pelaminan saat hari 'h' secara live. Terdapat pula informasi tempat dan lokasi resepsi, lengkap dengan petanya. Ada pula 'buku tamu' dan informasi-informasl iannya.

Tetapi situs tersebut tidak saya fungsikan sebagai undangan. Peran situs tersebut hanyalah sebagai 'perpanjangan tangan' atmosfer acara tersebut. Sehingga sahabat-sahabat saya yang berhalangan untuk hadir, dapat tetap 'hadir' dalam prosesi pernikahan saya, tanpa harus beranjak dari depan komputernya. Undangan? Tetap telah terkirim versi cetaknya.

Bicara lebih lanjut soal undangan pernikahan, salah satu sahabat lama saya di Bandung pernah melakukan hal yang menurut saya agak konyol. Lama tak bersua, suatu ketika saya mendengar kabar dari rekannya, bahwa dia telah menemukan pria idamannya, dan memutuskan akan menikah selang beberapa lama kemudian. Karena nomor ponsel sahabat saya tersebut sudah ganti, dan sialnya saya tidak punya nomor yang baru, ya sudah saya titip pesan saja ke rekannya tersebut.

"Tolong sampaikan ke dia , sombong sekali nikah nggak ngundang-ngundang", begitu pesan saya. Beberapa pekan berlalu. Saya juga sudah lupa dengan rencana pernikahan tersebut. Sampai pada suatu ketika, saya mendapat kabar lagi bahwa pernikahan tersebut sudah dilangsungkan beberapa hari silam. Lho kok saya akhirnya benar-benar tidak diundang?

Rupanya sahabat saya tersebut sebenarnya sudah mengundang saya, tetapi melalui Internet. Pasalnya, mungkin masih lebih baik jika melalui e-mail, tetapi rupanya dia mengundang saya menggunakan fasilitas send a message di Friendster! Padahal saya memeriksa account Friendster saya paling satu-dua minggu sekali. Alamak...

Mau tidak mau, hingga kini saya tetap menggunakan standar ganda untuk urusan komunikasi menggunakan teknologi informasi (TI), baik Internet ataupun ponsel. Bagi saya, ada hal-hal yang akan lebih baik jika dikomunikasikan tanpa menggunakan TI, khususnya untuk hal yang sakral semisal resepsi pernikahan tersebut.


Esensi

Bicara tentang sakralisme dan TI, pada awal 2004 silam saya pernah menulis kritikan terkait dengan ritual orang berkirim pesan selamat atas perayaan suatu hari besar keagamaan tertentu melalui SMS.

Waktu itu saya menulis bahwa ada sekian puluh juta fungsi hati (perasaan) manusia yang dialihkan ke jempol tangan untuk melakukan ritual komunikasi antar manusia. Tradisi mengirimkan kartu ucapan sudah mulai pupus, setidaknya bagi kebanyakan penghuni dan pekerja di kota metropolitan seperti Jakarta ini.

Ritual menulis nama dan alamat menggunakan pena, tergantikan dengan sekedar lirikan mata pada layar ponsel. Ritual menempelkan perangko menggunakan lem dan mengantarkan surat ke kantor pos, tergantikan oleh 'tarian' jempol pada tombol ponsel.

Tanpa disadari, sebenarnya kita telah mengurangi nilai dan esensi 'sentuhan manusia' dalam komunikasi yang menggunakan SMS tersebut. Kita tak lagi dikuatirkan dengan sampai tidaknya pesan, sepanjang di ponsel kita terbaca 'sent' ataupun 'delivered'. Pun, kita tidak terlalu peduli apakah pesan tersebut akan dibaca sampai habis, disimpan ataukah langsung dihapus oleh penerimanya. Langsung dihapus? Bisa saja, karena isi pesannya nyaris sama dengan sekian puluh atau sekian ratus pesan yang lain. Persis seperti template, hanya diubah nama pengirimnya saja, lalu di-forward kesana-kemari.


Itulah mengapa saya hingga kini masih percaya, bahwa tidak semua komunikasi antar-manusia yang esensinya bisa tergantikan dengan TI. Pun walau akhirnya nanti zaman akan membuktikan lain. Oh ya, beberapa hari lalu saya menerima (lagi) sebuah undangan pernikahan melalui SMS. Saya tidak habis pikir, menyampaikan suatu berita gembira (Insya Allah) seumur hidup sekali, kok mau-maunya dibatasi oleh 160 karakter saja.


Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat, mohon kiranya undangan pernikahan yang disampaikan bukan berupa SMS ataupun e-mail....

1 komentar:

Salam kenal! ternyata ada juga yg bikin blog Alumni UMM ya. semanggat ya...., tetap creatif. saya mendukung niat baik anda menggumpulkan Alumni UMM yg tersebar dari sabang sampai merauke, dari timtim sampai unisoviet.heheh gak nyambung ya...! tobe continue

Post a Comment

Silahkan memberikan saran dan komentar terkait artikel tersebut :)